Bersama Membangun Lingkungan Kerja yang Nyaman dan Suportif
"Mas, ada saran untuk topik orasi para kandidat best employee?" sebuah chat pribadi masuk ke aplikasi pengiriman pesan pribadi, dari salah satu rekan kerja saya sesama Pejabat Pengawas.
"Isu terkini saja. Misalnya, terkait pinjol di kalangan ASN—Aparatur Sipil Negara. Atau tema yang bisa jadi wishlist-nya para generasi Z. Misalnya, lingkungan kerja yang nyaman dan suportif itu yang seperti apa bagi mereka. Jadi kita bisa ambil pelajaran juga," balas saya.
Singkat cerita, usulan saya terkait lingkungan kerja yang nyaman dan suportif bagi generasi-Z ternyata diterima oleh para pimpinan.
Beberapa hari kemudian, tiga orang kandidat pegawai teladan—termasuk kategori generasi Z seperti mayoritas staf di kantor—menyampaikan orasi dan pemikirannya mengenai makna dari lingkungan kerja yang nyaman dan suportif bagi mereka—yang tentunya menjadi representasi bagi para pegawai lain. Tentu saja, setiap pegawai menyampaikan dengan narasi yang berbeda, namun dari ketiganya, saya mendapatkan inspirasi dan pembelajaran luar biasa. Setidaknya ada empat faktor yang yang membuat lingkungan kerja menjadi nyaman dan suportif:
1. Atasan (dan Rekan Kerja) yang "Memanusiakan" Pegawai
Selama lebih dari dua dekade saya bekerja di Kementerian Keuangan, saya telah bekerja dengan banyak orang dengan berbagai tipe kepribadian. Tak semuanya ramah, beberapa tak mampu menerapkan empati dan memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Beberapa di antara mereka malah bertingkah bossy dengan memberikan instruksi semena-mena dan cenderung merendahkan orang lain. Mereka menuntut hasil kerja terbaik tanpa memberikan kemampuan terbaiknya untuk memimpin. Mereka seakan tak peduli dengan kondisi dan perasaan orang lain.
Namun ada beberapa atasan yang saya kenal ternyata mereka memiliki kemampuan memimpin yang sederhana, lebih membumi, toleran, dan empati. Para pemimpin inspiratif ini justru jarang membicarakan pekerjaan, dan lebih banyak mengajak berbincang terkait kehidupan pribadi tanpa terlalu ingin banyak tahu. Mereka memberikan kepercayaan penuh kepada pengikutnya terkait pekerjaan.
"Gimana kabar keluarga di rumah? Masih suka main bola? Dulu gimana ceritanya kok jadi doyan menulis?"
Pemimpin tipe kedua ini sangat peduli dengan kondisi pegawai dan keluarganya, tanpa mengesampingkan pentingnya mencapai target kinerja terbaik. Ia memberikan ruang kreasi sebesar mungkin, membuat pegawainya nyaman dan tenang agar mereka tetap bisa memberikan kinerja terbaiknya di kantor. Namun mereka tetap terbuka dengan berbagai kritik dan masukan karena mereka sadar bahwa kepemimpinan—seperti halnya menjadi orang tua—adalah sebuah proses pembelajaran abadi. Artinya, ada pembelajaran dua arah yang terjadi di sini. Pemimpin dan bawahan saling melengkapi, mereka tanpa henti memperbaiki diri. Mereka berkembang bersama. Dan karena mereka adalah pemelajar abadi, maka tak ada pihak yang saling menjatuhkan atau menyalahkan. Dalam lingkungan kerja yang ideal seperti ini, selalu ada kepercayaan.
Dalam bukunya berjudul "Start With Why", Simon Sinek menuliskan tentang kepercayaan yang dijunjung tinggi dalam sebuah organisasi:
Mungkin tampak sedikit ironis bahwa perusahaan yang memiliki layanan pelanggan terbaik malah lebih berfokus pada pegawainya dibandingkan pelanggannya. Kepercayaan di antara pihak manajemen dan pegawailah, dan bukan dogma, yang menghasilkan layanan pelanggan yang hebat.... Melapangkan jalan bagi orang lain agar mereka dapat percaya diri melakukan hal-hal yang lebih besar dan lebih baik.... Bahwa untuk memunculkan yang terbaik dari pegawainya, pemimpin yang baik perlu menciptakan lingkungan di mana mereka merasa bahwa perusahaan peduli pada mereka.... Jika pegawai diperlakukan dengan benar, mereka akan memperlakukan dunia luar dengan benar, dan dunia luar akan menggunakan lagi produk perusahaan.
Saya sepenuhnya setuju. Sejak awal saya mendukung konsep servant leadership, di mana seorang pemimpin harusnya melayani dan mengembangkan pengikutnya, bukan malah mematikan potensi mereka. Inilah salah satu alasan pada saat penyusunan Statement of Purpose sebagai salah satu proses manajemen talenta menjadi Pejabat Pengawas, saya menuliskan:
Didasari dari pengalaman bekerja lebih dari 20 tahun di Kementerian Keuangan, melalui interaksi dan komunikasi yang humanis, apresiatif, dan persuasif, saya ingin menginspirasi rekan-rekan—dan bawahan—untuk dapat juga berkontribusi memberikan karya terbaiknya dan terus berkembang hingga mencapai potensi maksimalnya.
Ini adalah janji dan komitmen saya untuk selalu berusaha menempatkan pengikut saya pada tempat terbaiknya, tempat mereka bisa menggali potensinya lebih dalam. Tempat di mana mereka seharusnya merasa nyaman bekerja dan setiap hari merupakan kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru; bebas dalam bereksplorasi dan berkreasi. Karena saya percaya kepada para pengikut saya. Saya percaya mereka mampu menjadi calon pemimpin berikutnya di masa depan. Inilah alasan saya selalu memberikan kepercayaan penuh dan menguji mereka—salah satunya melalui serangkaian pertanyaan. Saya ingin mereka mencapai potensi maksimalnya tanpa melupakan sisi kemanusiaan yang memiliki keterbatasan dan nurani. Karena saya mengizinkan mereka berkembang, maka saya juga harus memahami mereka juga rentan terhadap tekanan... dan itu tak apa, itu hal yang wajar. Saya paham karena saya pernah berada di posisi yang sama dengan mereka.
Tulisan terkait: Takdirmu Tidak Akan Melewatkanmu
2. Sarana dan Prasarana yang Representatif
Bicara sarana dan prasarana, pikiran kita pasti tertuju pada perpustakaan, gimnasium, studio musik, Wi-Fi, pendingin ruangan, dan berbagai fasilitas lain di kantor... sebutkan apa saja, semakin lengkap semakin baik. Semakin canggih, semakin digemari.
Namun bicara sarana dan prasarana, kita juga perlu memikirkan kembali layout ruang kantor yang representatif, bukan hanya untuk satu atau dua orang pegawai, namun mengakomodasi berbagai macam kepribadian. Di dunia modern, di mana kolaborasi dipandang sebagai sebuah metode terbaik untuk menghasilkan kinerja dan keputusan yang tepat bagi organisasi (meskipun saya tidak sepenuhnya sepakat), menjadi jelas bahwa mereka yang banyak berbicara akan dianggap sebagai sosok yang cerdas dan mungkin juga pemimpin ideal. Tim kerja dibentuk, berbagai rapat dijadwalkan, keputusan diambil berdasarkan pada pilihan terbanyak atau yang diutarakan oleh pribadi yang dominan—seringnya mereka yang menduduki jabatan tertinggi.
Kantor menjadi ruang terbuka tanpa sekat—open space, tak ada lagi privasi atau ruang berpikir tenang bagi para pemikir yang jarang berbicara dan berinteraksi. Distraksi dalam bentuk lalu-lalang orang, musik yang diputar dengan volume kencang, dan orang-orang berbicara dari satu meja ke meja lain dengan suara cukup lantang. Berbicara seadanya dianggap lebih baik ketimbang hanya diam. Padahal mitigasi dan keputusan terbaik sering kali datang dari para introver yang kerap terisolasi di antara begitu banyak distorsi dan disrupsi dari pusaran peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Dalam bukunya berjudul "Deep Work", Cal Newport menulis bahwa menentukan lokasi yang hanya digunakan untuk kesungguhan kerja—misalnya, ruang konferensi atau perpustakaan sunyi—dapat membuat efek positifnya menjadi lebih besar. (Jika Anda bekerja di ruang kantor terbuka, kebutuhan menarik diri untuk kesungguhan kerja menjadi sangat penting).
Seakan mengonfirmasi apa yang telah ditulis oleh Newport, Susan Cain dalam bukunya "Quiet", turut menuliskan bahwa kesendirian merupakan unsur penting untuk kreativitas, oleh karenanya penting untuk memberi privasi dan otonomi kepada para pegawai. Selain itu, para inovator terbaik ternyata berasal dari perusahaan-perusahaan yang memberi karyawan mereka paling banyak dalam hal privasi, ruang pribadi, dan kendali atas lingkungan fisik serta kebebasan dari interupsi.
Lebih lanjut, ia menulis:
Kantor-kantor dengan tatanan terbuka ternyata menurunkan produktivitas dan melemahkan memori. Ini terkait dengan angka keluar-masuk karyawan yang tinggi. Tatanan ini membuat orang tidak nyaman, marah, tidak termotivasi, dan merasa tidak aman. Karyawan di kantor tatanan terbuka lebih mungkin menderita tekanan darah tinggi, tingkat stres tinggi, dan terserang flu; mereka lebih sering bersilang pendapat dengan teman; mereka takut rekan kerja menguping pembicaraan telepon dan mengintip layar komputer mereka. Mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk berbincang hal pribadi atau rahasia dengan teman kerja. Mereka sering terganggu oleh bunyi berisik dan kebisingan yang tidak dapat dikendalikan, yang pada gilirannya menaikkan denyut jantung; produksi kortisol menjadi berlebihan, hormon 'stres' dalam situasi 'lawan atau lari'; dan membuat orang enggan bergaul, lekas marah, agresif, dan lambat menolong orang lain.
Saat masih hari-hari awal bertugas sebagai staf di unit kerja sebelumnya—yang juga menerapkan layout kantor open space—saya masih dalam proses beradaptasi dan belajar ketentuan serta mekanisme tugas-tugas baru saya. Seperti biasa, saya lebih fokus belajar apabila suasana di sekitar tenang dan tidak berisik, jadi saya belajar sambil mendengarkan musik yang tenang melalui headset. Saya melakukan hal ini dari hari ke hari agar cepat memahami tugas-tugas baru. Ternyata kemudian saya dipanggil oleh atasan dan ditegur karena ada rekan kerja senior yang tidak berkenan dengan sikap saya yang dianggapnya tidak sopan dan kurang bersosialisasi. Pembelaan saya waktu itu adalah, "penilaian orang lain kepada saya tidak bisa saya kontrol. Yang saya bisa kontrol adalah sikap dan kemauan saya agar dapat segera bekerja dan memberikan kontribusi secepat mungkin." Singkat cerita, saya pun mampu memberikan kontribusi terbaik saya, dan menginisiasi inovasi yang mengubah mekanisme kerja yang dipertahankan selama ini—yang sudah usang—menjadi sebuah metode kerja baru yang lebih modern, menghemat waktu, dan kolaboratif tanpa melalui rapat atau diskusi yang berbelit-belit.
Lalu apa solusi terkait masalah tata ruang ini? Saran saya seharusnya ruang kerja dan meja kerja pegawai dibuat sedemikian rupa dengan mekanisme sekat yang bisa dibongkar-pasang. Para pegawai ekstrover dapat melepas sekat, sedangkan pegawai intover dapat memasang sekat, kapanpun mereka menginginkan atau membutuhkannya.
Ingat, sepertiga populasi kita adalah introver. Tentunya kita tak ingin kehilangan potensi dari para pemikir besar ini hanya karena para pimpinan organisasi tutup mata dan tak mampu memahami kebutuhan para introver akan privasi, ketenangan, dan kebebasan dalam berkreasi. Asal tahu saja, generasi Z saat ini didominasi oleh introver.
3. Sistem Kerja yang Memberikan Keleluasaan
Menurut saya, tak ada yang lebih buruk dari sistem yang didesain untuk mengekang kebebasan pegawai. Presensi berdasarkan letak lokasi (geotagging); larangan bekerja dari rumah; rumitnya birokrasi untuk mendapatkan cuti dan/atau izin tidak masuk kantor; pengawasan dan penilaian terhadap partisipasi pegawai dalam memberikan respons dalam bentuk like pada media sosial organisasi (sepele, memang); termasuk memasukkan besarnya penggunaan anggaran sebagai salah satu indikator kinerja. Selain buruk, menurut saya semua ini sangat konyol karena diciptakan untuk sekadar memenuhi ego para pimpinan dan cenderung mengarah pada penghamburan anggaran hanya agar tidak mendapatkan pengurangan alokasi di masa mendatang—yang memicu pemborosan berulang, bagai lingkaran setan.
Sistem kerja seharusnya memihak penuh pada para pegawainya. Para ujung tombak ini seharusnya mendapatkan ketenangan dalam melakukan tugasnya dan tidak merasakan adanya unsur paksaan. Ketidakpercayaan membawa pada kedengkian. Pikiran yang tak tenang hanya akan menghasilkan kinerja yang biasa saja. Bahkan dalam beberapa kasus, pegawai yang menyimpan dendam pada akhirnya akan berbalik merugikan organisasi... dengan sengaja. Pernah juga saya jumpai pegawai yang sengaja memanipulasi pekerjaannya hanya supaya atasannya mendapatkan penilaian buruk. Tak ada yang lebih berbahaya dari tipe pegawai terakhir ini.
Kabar baiknya, kita tak perlu mengidentifikasi pegawai seperti ini jika dari awal kita mampu memitigasi dan menciptakan sistem kerja yang baik dan mengayomi semua pegawai. Bagi saya, tak masalah para pengikut saya bekerja di mana saja selama mereka mampu menyelesaikan pekerjaannya dan bertanggung jawab Di sinilah profesionalisme dan integritas mereka diuji.
4. Mindset Pribadi
Tak ada yang lebih bisa membantu dan memotivasi diri kita selain kita sendiri. Faktor atasan dan lingkungan fisik serta sistem tempat kita bekerja berada di luar diri kita, bukan berada dalam jangkauan kendali kita. Hal-hal seperti ini seharusnya tak perlu kita hiraukan dan menjadi beban pikiran (overthinking). Semakin kita menganggap bahwa kita mampu mengatur semua hal di luar diri kita sendiri, maka potensi untuk merasa kecewa, tidak tenang (insecure), dan merasa cemas (anxiety) semakin meningkat.
Tulisan terkait: Dunia Terbalik dan Panas di Bulan Agustus yang Hectic
Terlepas dari seperti apa karakter atasan kita dan bagaimana bentuk lingkungan fisik tempat kita bekerja, serta sistem kerja seperti apa yang diterapkan di sana, seharusnya kita lebih memfokuskan pada apa yang menjadi kekuatan kita di dalam diri. Buat lingkungan kerja kita senyaman mungkin, jaga hubungan baik dengan atasan dan rekan-rekan kerja. Yang paling penting, sadari bahwa pekerjaan Anda saat ini merupakan bentuk tanggung jawab moral pada diri Anda sendiri, keluarga, dan juga orang lain.
Jika merasa lelah, jenuh, atau mulai muncul tanda-tanda burnout, jangan ragu untuk mengambil jeda, beristirahat sejenak, dan lakukan aktivitas di luar pekerjaan yang memberikan kesenangan dan ketenangan. Anda bisa menggunakan teknik Pomodoro—lakukan kerja mendalam dengan fokus/konsentrasi tinggi kemudian dilanjutkan dengan mengambil jeda di antaranya (interval). Jangan segan menyampaikan kepada atasan jika menemui kesulitan atau sekadar ingin mengambil jeda sejenak. Sampaikan juga komitmen Anda pada atasan jika mengambil jeda tidak akan mengakibatkan keterlambatan penyelesaian pekerjaan, dan justru bisa meningkatkan kualitas kinerja. Dengan begini, atasan akan tahu bahwa Anda masih tetap bisa diandalkan.
Kita bekerja bukan untuk mendapatkan penghasilan semata, namun juga sebagai bentuk ekspresi diri dan pembuktian bahwa kita bisa berkontribusi dan memberikan nilai. Kinerja kita adalah portofolio bagaimana kita menilai diri kita sendiri di masa lalu, saat ini, dan masa depan. Pekerjaan kita adalah identitas kita. Kinerja kita adalah nama baik kita. Kinerja kita adalah gambaran bagaimana kita membayar kepercayaan keluarga.
Keluarga saya melepas keberangkatan saya setiap pagi dari rumah ke kantor dengan senyum dan doa karena mereka percaya bahwa pekerjaan saya membawa berkah, nilai, dan menjamin bahwa setiap saat anak-anak saya akan tetap tersenyum karena mereka bebas bermain dan tetap bisa memimpikan liburan keluarga yang selalu menjadi agenda rutin kami. Tugas saya adalah mempertahankan senyuman itu tetap merekah.
Pada akhirnya, membangun lingkungan kerja yang nyaman membutuhkan sinergi dari seluruh pihak dalam organisasi, termasuk diri sendiri. Namun tak disangkal bahwa para pemimpin memiliki andil dan peran yang lebih besar dalam mewujudkannya. Jadi, mari bersama-sama terus belajar dan berusaha menjadi pemimpin yang lebih bijaksana, apresiatif dan humanis. Bukan semata demi orang lain, namun juga demi pengembangan diri pribadi menjadi senantiasa lebih baik dari waktu ke waktu.
Sedangkan bagi rekan-rekan staf, tak perlu overthinking atau insecure. Ingatlah bahwa kalian juga pemimpin. Jika belum memiliki bawahan, bisa jadi kalian adalah pemimpin dalam keluarga, atau minimal pemimpin bagi diri sendiri. Tetap berusaha menciptakan karya terbaik kalian dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Terus berikan usaha dan kemampuan maksimal. Tak ada yang sempurna di dunia ini, namun selalu berusahalah mencapai kesempurnaan. Dorong diri kalian terus maju menggapai impian. Sadari bahwa hanya langit yang menjadi batasnya. Bangun branding diri yang positif, jaga selalu orang-orang yang selalu ada untuk kalian. Tak pernah ada kesia-siaan dalam kesungguhan dan kebaikan. Yakinlah pada akhirnya kerja keras yang disertai dengan ketulusan akan mendatangkan kebaikan pada kalian di masa mendatang. Tuhan tak pernah tidur, Kawan!
Tulisan terkait: T.I.P.S. J.K.T., Prinsip Bekerja yang Berhasil Mengantarkan Saya Meraih Penghargaan Pegawai Berprestasi
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.