Dunia Terbalik dan Panas di Bulan Agustus yang Hectic

"Sadari sungguh-sungguh bahwa Saat Sekarang merupakan satu-satunya milik Anda. Jadikan Saat Sekarang sebagai fokus utama kehidupan Anda... Apa yang Anda rasakan sebagai berharga bukanlah waktu, tetapi satu titik di luar waktu, yaitu Saat Sekarang. Itu yang memang sangat berharga. Semakin Anda terfokus pada waktu—masa lalu atau masa depan—semakin Anda kehilangan Saat Sekarang, yaitu hal yang paling berharga... Hidup adalah Sekarang. Tidak pernah ada masa lalu dan masa depan ketika kehidupan Anda tidak berada pada Saat Sekarang...."

Kutipan kalimat tersebut saya ambil dari buku The Power of Now, karya Eckhart Tolle. Buku itu mengajarkan pada kita untuk selalu berfokus pada saat ini, bukan pada masa lalu yang tidak bisa diubah, maupun masa depan yang belum tentu terjadi. Intinya bagus, kecuali banyak isinya yang menurut saya tidak logis, hanya bersifat teoritis, dan sepertinya hanya bisa diterapkan oleh manusia level "dewa" atau malah bajingan yang tak peduli pada apapun atau siapapun. Lain cerita kalau Anda memang suka tulisan yang mind-blowing (menurut saya, bukan dalam artian yang baik) dan kontroversial.

Saya suka idenya, berfokus hanya pada saat ini, menikmati momen yang ada tanpa perlu khawatir dan insecure pada masa lalu maupun masa depan. Tapi sekali lagi, kita hanya manusia yang akal dan pola pikir kita terbentuk dari pengalaman dan pembelajaran tanpa akhir. Kita hanya manusia yang kerap bermain atau dipermainkan oleh pikiran kita. Kita ini manusia yang kreatif, seringkali berkhayal, berimajinasi, menyusun rencana. Kita makhluk yang serba terbatas (kalau masih ada yang gak percaya, silakan gigit kepala sendiri, atau menguap sambil menarik nafas; bisa gak?). Kecerdasan kita terbatas, energi kita terbatas, kesabaran kita terbatas. Karenanya kita sempurna.

Omong-omong tentang menikmati saat ini, pastinya saya tidak mampu menjalankan secara utuh ajaran yang ada di buku tersebut (karenanya saya bilang bukunya penuh omong kosong). Sebagai manusia—apalagi seorang Ayah, pastinya menginginkan yang terbaik, bukan hanya untuk pribadi, tapi juga untuk keluarga. Saya ingin jadi yang terbaik di pekerjaan saya, saya ingin jadi ayah terbaik, suami terbaik, pribadi terbaik, dan terbaik lainnya. Saya menolak jadi rata-rata karena rata-rata berarti terburuk dari yang terbaik dan terbaik dari yang terburuk, alias biasa aja. Untuk menjadi yang terbaik, saya harus menyusun rencana, saya juga harus banyak belajar. Intinya, saya banyak sekali berpikir. Tapi siapa yang menyangka jika tuntutan untuk menjadi terbaik ternyata banyak muncul di bulan Agustus?

Juli dan Agustus tahun ini pastinya jadi bulan hectic buat saya. Omong-omong, just in case Anda belum tahu apa itu hectic, kira-kira artinya begini:

characterized by intense agitation, excitement, confused and rapid movement, etc.

pendek kata, hectic itu super sibuk, bikin bingung, dan pastinya bisa bikin insecure banget.

Di sisi karir, setiap akhir semester pasti identik dengan kesibukan. Ada laporan yang ditunggu deadline, dan banyak administrasi kepegawaian yang juga mesti segera diselesaikan. Semua mesti cepat selesai, semua mesti sempurna. Belum lagi saya diusulkan sebagai pegawai bertalenta untuk naik jabatan. Dari kehidupan pribadi, ada kursus yang juga harus segera diselesaikan jika ingin lulus, sedangkan dari sisi keluarga, pasti ada saja masalah dan tuntutan. Eh, belum lagi kenapa ini anabul—kucing peliharaan—kok malah kena penyakit pula?

Sejak awal Juli, saya diharuskan menyusun laporan semesteran di unit kerja saya yang effort-nya luar biasa. Hampir setiap hari saya lembur pulang malam (hasilnya laporan setebal hampir 500 halaman). Ditambah lagi dengan pengusulan saya sebagai pegawai bertalenta yang terjadwal untuk mengikuti kegiatan belajar dan brainstorming hampir setiap malam. Jangan lupakan juga kursus daring yang saya ikuti secara sukarela dari International Monetary Fund (IMF) tentang Financial Market Analysis (FMA) alias analisis pasar modal yang ternyata materinya banyak banget dan harus selesai akhir Agustus, juga kursus yang bersifat wajib dari kantor. Belum lagi kerjaan tetek bengek (saya coret kata pertama karena cuma kata kedua yang gak enak) lain yang sebenarnya gak penting amat buat saya, tapi mesti dilakukan demi unit kerja atau organisasi. Lalu penunjukan saya sebagai petugas pembaca teks Pancasila untuk upacara peringatan Hari Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia yang mengharuskan saya berlatih baris-berbaris di bawah terik matahari yang akhirnya membuat wajah saya belang. Jadi, sudah bisa dibayangkan, belum? Di kantor, sepanjang hari saya dipaksa multitasking, sesuatu yang bukan jadi spesialisasi saya dan jujur saja, gak sesuai dengan metode kerja saya. Sedikit mengerjakan laporan, saya beralih mengikuti kursus, lalu mengerjakan laporan lagi, lalu pekerjaan lain, latihan berbaris, kursus, laporan, dan malamnya mengikuti kegiatan belajar bersama rekan-rekan pegawai bertalenta yang lain.

Baca juga: T.I.P.S. J.K., Prinsip Bekerja yang Berhasil Mengantarkan Saya Meraih Penghargaan Pegawai Berprestasi


Dunia Terbalik

Minggu (6/8) malam, saya sedang bersantai di kamar yang gelap sambil membaca artikel berita ekonomi dan investasi melalui smartphone sebelum istri saya memanggil untuk mengajak makan malam bareng. Ketika saya beranjak dari kasur hendak menuju ke meja makan, tiba-tiba saya dilanda pusing hebat dan sekeliling saya seperti berputar. Tubuh saya terhuyung dan terjatuh ke lantai, kepala saya pusing luar biasa. Saya tahu ini apa, saya sudah beberapa kali mengalaminya di masa yang sangat jarang. Penyakit vertigo saya kambuh.

Buat Anda yang belum tahu, saya memperoleh vertigo akibat dari kecelakaan aneh yang terjadi sekitar tahun 2002 silam, saat saya masih berstatus pegawai magang (on the job training) di Kantor Pusat Kementerian Keuangan (kala itu masih bernama Departemen Keuangan) di Jakarta. Aneh, karena penyebab kecelakaan itu berasal dari air mendidih yang sedang dipanaskan di dalam teko listrik oleh teman satu indekos saya. Detail ceritanya tak perlu saya sampaikan di tulisan ini. Intinya, akibat kecelakaan itu, separuh wajah sebelah kiri saya mengalami luka bakar lumayan serius, termasuk menimbulkan gangguan di telinga kiri saya, lengan kanan, dada dan perut terbakar, yang mengharuskan saya absen bekerja selama sekitar dua bulan dan menjalani terapi di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Hampir tak ada bekas dari kecelakaan itu, kecuali beberapa parut atau bekas luka di lengan kanan, dada hingga perut kanan, punggung telapak tangan sebelah kiri, hingga beberapa parut halus di wajah sebelah kiri yang ternyata merusak jaringan folikel. Untungnya, jika tidak diperhatikan benar-benar, bekas lukanya tak kentara. Karena di dalam telinga juga terdapat sistem keseimbangan bernama vestibular, maka kerusakan pada sistem ini akan mengganggu keseimbangan tubuh kita. Itu alasan saya sering pusing dan beberapa kali di saat yang jarang, mengalami vertigo. Kenapa jarang? Karena selama masa penugasan saya di beberapa kota, biasanya saya hanya mengalami sekali vertigo. Sekali waktu bertugas di Banda Aceh (2013-2017), sekali saat di Surabaya (2018-2022), dan yang paling cepat saat ini bertugas di Bandung (saya baru dipindahtugaskan di Kota Bandung pertengahan September tahun lalu).

Dari pengalaman saat vertigo menyerang, saya kesulitan untuk berdiri (saat masih di Banda Aceh, bahkan untuk duduk saja saya kesulitan). Secara visual, saya tidak bisa membedakan atas dan bawah meskipun secara logika kita tahu tak bisa melawan gravitasi. Namun, dunia seperti berputar dan terbalik. Bagaimana mungkin lemari bisa berada di langit-langit atau menempel di dinding? Dalam kasus yang agak parah seperti saat di Banda Aceh, bahkan saat memejamkan mata, efek berputar ini malah semakin parah. Mual sudah pasti. Rasanya seperti naik roller coaster, hanya saja kepala kita tak pernah berada di bagian atas seperti seharusnya.

Jadi, singkat cerita. Keesokan hari saya memeriksakan diri ke dokter dan harus absen bekerja selama dua hari. Seperti biasa, dengan pengobatan teratur, istirahat yang cukup, dan sedikit sentuhan dari istri, saya bisa berfungsi penuh dan bekerja kembali di kantor.


Dunia Menjadi Panas

Multitasking. Sistem kerja ini tidak cocok untuk saya. Apalagi multitasking yang disertai deadline. Selepas sembuh dari vertigo, saya kembali harus berkutat dengan pekerjaan dan kursus yang harus segera diselesaikan. Ditambah lagi dengan pembelajaran mandiri yang harus saya lakukan sebagai pegawai talenta untuk menghadapi ujian kenaikan tingkat dan asesmen menjadi pejabat pengawas.

Laporan semesteran hampir setebal 500 halaman sudah selesai. Selanjutnya di sela-sela waktu bekerja, saya harus mengikuti kursus dari IMF dan kursus wajib yang harus segera saya selesaikan karena deadline di akhir Agustus. Saya sukarela mengikuti kursus FMA karena sesuai dengan passion saya di bidang manajemen keuangan dan investasi. Awalnya saya kira kursus ini lebih membahas dasar-dasar dan teori tentang saham, obligasi, dan instrumen pasar modal lainnya. Ternyata saya salah besar. Kursus ini benar-benar berisi metode analisis tentang bagaimana menetapkan harga instrumen pasar modal, bagaimana mengukur imbal hasil dan membandingkannya antar instrumen, mempelajari struktur suku bunga, termasuk bagaimana menyusun portofolio investasi yang optimal meski terdiversifikasi dari beberapa instrumen. Intinya, cabang matematika seperti aljabar, algoritma, dan rasio sangat kental. Saya juga wajib mempelajari berbagai formula penghitungan pada program Microsoft Excel. Parahnya lagi, kursus ini berakhir akhir Agustus 2023. Karena baru mendaftarkan diri di bulan Juli, artinya saya hanya punya waktu kurang dari sebulan untuk menyelesaikannya.


Modul Kursus Financial Market Analysis
Contoh materi kursus Financial Market Analysis

Financial Market Analysis - Excel
Contoh aktivitas penghitungan Excel kursus Financial Market Analysis


Baca juga: Pengalaman Mengikuti Online Course Public Financial Management oleh International Monetary Fund (IMF)

Seperti saya tuliskan sebelumnya, sambil mengikuti kursus, saya juga mempersiapkan diri mengikuti rangkaian kegiatan tes dan asesmen pegawai bertalenta menjadi pejabat pengawas dengan mengikuti kegiatan belajar bersama rekan-rekan dan belajar mandiri. Kemampuan otak saya benar-benar diperas. Singkat kata, saya dinyatakan lulus tes ujian kenaikan tingkat yang merupakan tes pertama. Selanjutnya saya diharuskan mengikuti serangkaian kegiatan assessment center. Salah satunya menyusun Critical Incident berupa cerita kejadian yang dikaitkan dengan kompetensi manajerial tertentu. Milik saya, hasilnya berupa rangkaian tulisan setebal 21 halaman yang saya susun hanya dalam waktu sekitar dua hari.


Critical Incident Arisandy Joan Hardiputra
Critical Incident saya

Asesmen saya dilaksanakan tanggal 22 Agustus 2023. Dari pagi hingga sore hari saya harus mengikuti dan menyelesaikan tes berupa serangkaian tes in-tray, presentasi, mengisi lembar kerja individu, mengikuti leaderless group discussion, self assessment, roleplay, dan wawancara.

Kamis (24/8), malam hari saya merasakan sakit di perut disertai diare, demam lumayan tinggi, disertai sakit kepala. Saya sempat menggigil saat tidur malam. Keesokan hari, saya bekerja di kantor seperti biasa, namun dengan kondisi badan yang kurang fit. Saya bekerja sambil berusaha mengejar kursus FMA dan kursus dari kantor. Malam hari, demam saya kembali meninggi disertai menggigil dan sakit perut. Dinginnya udara di Kota Bandung, terutama saat malam hari, sukses membuat seluruh badan saya gemetaran.

Hari Minggu, saya memeriksakan diri, dan dokter mendiagnosis saya demam tifoid alias tifus. Itu alasan kenapa perut saya sakit dan demam tinggi di malam hari, karena usus saya membengkak dipenuhi bakteri Salmonella Typhi yang berkembang biak saat sore hingga malam hari. Saya kembali harus absen bekerja, kali ini selama lima hari. Selama seminggu saya hanya beristirahat di rumah, dilarang berkegiatan, apalagi berolahraga selama setidaknya 10 hari. Dengan kebiasaan saya yang rutin berolah raga setiap hari, waktu absen selama itu sudah cukup membuat saya merasa "lembek".

Dokter saya menjelaskan bakteri salmonella kemungkinan masuk melalui makanan dan/atau minuman yang saya konsumsi kurang higienis. Kemudian sistem imun atau kekebalan tubuh saya menurun karena saat itu saya sedang disibukkan dengan berbagai pekerjaan dan kegiatan, ditambah dengan stres. Hasilnya, bakteri salmonella leluasa berkembang biak di dalam sistem pencernaan saya.


Menikmati Saat Sekarang

Kembali ke konsep menikmati Saat Sekarang di awal tulisan, saya juga berusaha sepenuhnya berfokus pada Saat Sekarang. Saya menyusun rencana, saya belajar. Saat melakukan sesuatu, saya melakukannya dengan fokus dan mengesampingkan hal-hal lain. Saya berhasil menyelesaikan kursus IMF, saya menyelesaikan asesmen. Sebagaimana prinsip hidup yang selalu saya junjung, "Do the best and God will take the rest", yang penting saya sudah melakukan usaha maksimal dan memberikan kemampuan terbaik saya, selanjutnya serahkan saja kepada Tuhan. Terlepas apapun hasilnya nanti, namun saya optimis meskipun saya tidak terlalu ambil pusing. Kalaupun ada jawaban yang kurang maksimal, saya yakin itu bukan karena saya kurang kompeten, melainkan daya pikir saya saat itu yang kurang maksimal akibat keterbatasan waktu yang disediakan.

"Yakin saja, karena jika sudah ditakdirkan, maka tak akan terlewatkan." (istri saya)

Meskipun harus multitasking, namun saya berusaha fokus pada apa yang saat itu saya kerjakan. Saat menyusun laporan, saya tidak memusingkan kursus saya, dan sebaliknya. Saat harus belajar untuk asesmen pun, saya melupakan kursus dan laporan yang harus saya selesaikan. Intinya saya ingin benar-benar hadir dan berkonsentrasi di tiap momen. Namun jujur saja, kegiatan yang hampir tiada henti seperti itu benar-benar melelahkan, menguras tenaga, pikiran, dan emosi saya.

Saya bukan manusia level dewa—atau bajingan, tergantung bagaimana Anda memandangnya—seperti Eckhart Tolle. Saya masih menyusun banyak rencana dan seringkali memikirkan masa depan yang belum tentu terjadi. Saya juga terkadang masih merasa insecure dan diliputi kekhawatiran, khususnya terkait masa depan keluarga saya. Saya juga belajar dari pengalaman, saya mencoba berdamai dengan masa lalu saya, khususnya saat-saat di mana kehidupan saya berada di bawah. Bagaimanapun, rangkaian pengalaman saya di masa lalulah yang membentuk karakter dan kepribadian diri saya saat ini, dan pemikiran serta tindakan saya saat inilah yang membentuk nasib saya di masa depan. Namun saya selalu optimis. Saya percaya jika kita mengusahakan dan meyakini sesuatu, maka semesta akan mendukung. Saya selalu berusaha menikmati hidup dan tidak mencemaskan hal-hal di luar kontrol saya. Hanya saja mungkin saya terlalu memaksakan diri di bulan Agustus yang memang hectic.

Akhirnya, terima kasih sudah menyediakan Saat Sekarang untuk membaca tulisan saya di sela berbagai kesibukan Anda. Semoga Anda juga menikmati saat membaca tulisan ini, dan bisa mengambil hikmah darinya, apapun itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga