Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Manusia itu banyak kekurangannya, dan tak ada satupun yang sempurna. Tidak asing dengan kalimat itu kan?! Entah kenapa, belakangan ini kalimat itu sering muncul di benak saya. Tidak sampai mengganggu, cukup untuk dijadikan bahan renungan saja. Setiap orang memiliki kekurangannya masing-masing, meskipun terkadang karena adanya perasaan terlalu kagum/terlalu cinta/terlalu sayang/fanatik/terlalu percaya, kekurangan orang seringkali tidak nampak di mata kita atau kita sendiri yang membutakan diri akibat terlalu banyak menggunakan hati ketimbang logika. Bagaimanapun, yang namanya "Terlalu" alias berlebihan memang tak baik, bukan?! Jika sudah "Terlalu" kemudian ternyata sosok yang kita banggakan/kita cintai/kita kagumi/kita percayai tidak sesuai dengan bayangan atau impian kita, maka muncullah yang namanya penyesalan.

Penyesalan itu sesuatu yang wajar sebagai manusia yang tak sempurna. Baru menjadi masalah saat penyesalan itu seringkali muncul. Terkadang sampai mengganggu kualitas hidup kita, mengganggu interaksi kita dengan orang-orang terdekat, dan pada titik nadir bahkan membahayakan diri kita sendiri—mengganggu mental. Ngomongin tentang gangguan mental, saya paham betul rasanya; pun demikian dengan orang-orang terdekat yang sejak lama setia mendampingi saya. Percaya deh, rasanya "merusak" banget! Bagian terburuknya, hidup dalam penyesalan dan drama bukan hanya merusak diri, tetapi juga menyeret orang-orang terdekat kita. Itu karena dahulu—semasa muda—saya terlalu mendramatisasi banyak hal dan dalam beberapa hal terlalu menggantungkan kebahagiaan diri pada orang lain. Ah, seandainya saja dahulu saya tidak overthinking dengan segala tetek bengek yang terbukti tidak terlalu bermanfaat di masa kini!

Hidup dalam penyesalan pastinya penuh penderitaan. Terkadang kebahagiaan yang didapat pun hanya sekadar pelarian—sifatnya hanya temporer dan cenderung merupakan kebahagiaan semu. Artinya, kebahagiaan semacam ini cepat berlalu dan tidak mampu memblokir rasa penyesalan yang ujung-ujungnya timbul kembali. Saya punya kenalan yang seperti ini. Setiap saat hidupnya hanya mengeluh saja. Jika pun sedang berbahagia, selepasnya, ia pasti terjerumus lagi dalam penderitaan. Sepertinya tak ada yang cukup pantas disyukuri di hidupnya.

Kita terkadang berpikir, penyesalan terasa menyesakkan karena ia berhubungan dengan seseorang atau sesuatu. Padahal tidak begitu. Penyesalan ada karena kita terikat dengan waktu—sebuah masa yang tak akan pernah kembali. Jika kita bicara tentang waktu, maka ada probabilitas 'kemungkinan'. Dan dalam sebuah probabilitas, selalu ada risiko dan kesempatan. Kehilangan kesempatan inilah yang seringkali menciptakan penyesalan. Kesempatan mendatangkan harapan. Dan kehilangan harapan bisa sangat menyakitkan. 

Seharusnya semakin dewasa usia manusia, berbanding lurus dengan kedewasaan pikir dan mentalnya. Nyatanya tidak selalu begitu. Kedewasaan pikir manusia tidak diukur dari usianya. Hanya saja, biasanya semakin dewasa manusia, seharusnya ia semakin matang, mampu menyusun daftar prioritas dalam hidupnya, termasuk harus mampu mandiri dan menyingkirkan egonya.

Karakter kita kini adalah akumulasi dari berbagai tempaan pengalaman di masa lalu, baik atau buruk. Pada akhirnya karakter diri kita ditentukan oleh mindset atau pemikiran kita. Jika seseorang memiliki mindset "gagal" maka yakinlah hidupnya akan dipenuhi penyesalan dan penderitaan. Tipikal orang begini biasanya ia gampang mengeluh dan hidup dalam mimpi. Sebaliknya, jika kita memiliki mindset yang positif, kita akan menyadari bahwa hidup ini penuh dengan keindahan dan keberkahan. Kita akan menyadari ternyata banyak sekali hal dalam kehidupan yang layak untuk disyukuri: Kesehatan, keluarga, kecukupan finansial, dan sebagainya.

Friezcen Family

Viktor E. Frankl dalam bukunya berjudul "Man's Search for Meaning", menuliskan bahwa tidak terpenuhinya semua keinginan membuat manusia mencari pemuasan di dalam mimpi-mimpi. Tidak penting apakah mimpi tersebut mendatangkan kebaikan atau tidak, orang yang bermimpi harus bangun dari mimpinya dan menghadapi realitas kehidupan. Ia juga menuliskan bahwa hidup menyimpan makna tersembunyi dalam setiap keadaan, bahkan yang paling memilukan sekalipun. Harus ada makna dalam setiap penderitaan karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, meskipun penderitaan itu merupakan nasib dan dalam bentuk kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tak sempurna .... Inspirasi yang luar biasa dari seseorang yang pernah menjalani penderitaan bertubi-tubi dan siksaan di luar batas-batas kemanusiaan selama tiga tahun sebagai tawanan di kamp konsentrasi Nazi semasa perang dunia II.

"Kita tidak perlu berharap sesuatu dari hidup. Sebaliknya, biarkan hidup mengharapkan sesuatu dari diri kita." -Viktor E. Frankl-

Sejatinya, sebuah kesalahan bukanlah kegagalan jika kita mampu mengambil hikmah dan pembelajaran dari pengalaman mengecewakan tersebut. Ya, kesalahan itu wajar. Manusia itu tempatnya salah. Meskipun kalau berkali-kali terulang di hal yang sama mungkin kita memang—meminjam salah satu judul lagu ADA Band—"Manusia Bodoh". Tak ada kebenaran jika tak ada kesalahan. Orang-orang yang sukses belajar dari kesalahannya, mereka melakukan lebih baik di kesempatan berikutnya. Kesalahan diperlukan agar kita bisa berkembang.


"Seandainya dahulu saya ..." tidak menjadi lebih penting dari "Mulai saat ini saya akan ...."

Saya pribadi melakukan banyak sekali kesalahan, khususnya di masa lampau. Masa muda yang emosional, kontroversial, dan terlalu banyak bersenang-senang tanpa memikirkan masa depan. Tapi itu masa lalu. Apakah saya pernah menyesalinya? Beberapa kali di waktu yang sangat jarang, terkadang saya memang memikirkan bagaimana saya menjalani kehidupan di masa lalu. Beberapa hal masih membekas, namun tak pernah ada yang sampai membuat terpuruk. Seandainya dahulu saya tak malas-malasan saat kuliah; seandainya saya dahulu tak menghamburkan uang untuk sesuatu yang tak esensial dan tak substantif; seandainya dahulu saya tak menjadi pegawai pembangkang dan naif; dan beberapa seandainya lainnya.

Baca juga: Selamat Hari Jadi Kota Medan ke-430: Sekelumit Cerita Lama Tentang Kenakalan

Bagaimanapun masa muda saya yang penuh drama dan kontroversi itulah yang turut membentuk jati diri saya saat ini. Saya menjadi lebih kuat karena saya pernah "tersesat". Saya tak mudah insecure karena saya kini kebal terhadap sindiran dan cibiran orang lain. Keuntungan mengambil pelajaran dari kesembronoan di masa lalu adalah saat ini saya seperti memiliki rambu waspada di dalam kepala yang setiap saat tombolnya akan tertekan otomatis setiap kali ada ajakan atau dorongan untuk mengulangi "kesalahan", membuat saya bisa mengantisipasi modus atau motif tertentu. Artinya, saya sudah cukup merasakan kecerobohan sampai di titik saya tidak ingin mengulanginya lagi.

Saya suka menilai segala hal dari berbagai macam perspektif. Saya percaya apapun kesalahan saya, akan ada orang lain yang diuntungkan—yang mana itu tidak selalu berarti buruk. Saya juga meyakini apapun kekhilafan yang saya perbuat, akan ada hikmah atau sisi baik yang muncul. Karena segala hal di hidup ini harus berpasangan agar dunia seimbang. Saat melakukan kesalahan dan mulai merasakan penyesalan, saya segera memprogram pikiran dan mencari sisi baik dari apapun kesalahan yang sudah saya lakukan. Selalu ada waktu untuk meminta maaf, meminta tolong, dan mengucapkan terima kasih, terlepas bagaimanapun reaksi orang lain karena saya tidak bisa mengendalikan pikiran dan tindakan mereka. Saya orang yang gampang move on, saya tidak mau terbelenggu di masa lalu. Saya mencoba terus berlalu, terus membuat rencana dalam hidup, dan terus bertumbuh. Move on, membuat rencana, dan mulai berkarya untuk hidup yang lebih baik di masa kini maupun di masa depan jauh lebih bijaksana ketimbang terus menyesali keputusan di masa lalu.

Jadi, apakah saya sama sekali tak punya penyesalan? Wow, bukan seperti itu. Saya juga manusia yang penuh dengan kekurangan. Jika harus menyebut penyesalan terbesar, saya punya dua hal: Saya menyesal karena seharusnya saya bisa menjadi sosok ayah yang lebih baik bagi kedua anak saya, dan saya juga menyesal tidak memulai berinvestasi di pasar modal lebih dini. Kedua hal itu sampai saat ini—dan mungkin sampai kapan pun—masih sering membuat saya termenung dan terus belajar menerima kenyataan. Seperti kalimat berikut yang dituliskan oleh Morgan Housel dalam buku "The Psychology of Money": Penyesalan lebih menyakitkan bila Anda meninggalkan satu rencana terdahulu dan merasa seperti harus berlari ke arah lain dua kali lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan.

Ya, penyesalan adalah soal waktu yang telah hilang.


Arisandy Joan Hardiputra, Clarissa, Davian Friezcen




Komentar

  1. "Sejatinya, sebuah kesalahan bukanlah kegagalan jika kita mampu mengambil hikmah dan pembelajaran dari pengalaman mengecewakan tersebut."

    I couldn't agree more.

    Salah satu penyesalan saya adalah tidak mengenal gaya hidup minimalism sejak awal. Saya pikir saya akan menjadi orang yang lebih fokus menaruh perhatian pada hal-hal yang penting bagi saya. Tapi penyesalan itu bagaimana pun juga malah justru menjadi motivasi untuk saya, memperkenalkan minimalism kepada orang-orang terdekat, dan salah satunya melalui blog pribadi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo gak ada penyesalan, kan bukan manusia namanya. Selamat berjuang dan mengedukasi sesama.

      Hapus
  2. Well said 💞

    BalasHapus

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

Takdirmu Tidak Akan Melewatkanmu

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention