Sebuah Cerita Perjuangan Istri Untuk Melahirkan (bagian 2)

"Istri saya terbaring di sana, ia menangis terisak menahan sakit dan dinginnya suhu ruang bedah. Wajahnya pucat dan berkali-kali ia muntah. Bibirnya yang kering dan pecah-pecah gemetar menahan dingin dan sakit, air mata menetes di pipinya."

Jumat, 29 September 2017, menjadi satu hari tambahan yang sangat berkesan dan bersejarah dalam hidup saya. Di tanggal itu, saya resmi menjadi ayah dari dua orang anak. Hidup saya makin lengkap karena kali ini saya mendapatkan seorang putra yang kami berikan nama Davian Hardi Putra Friezcen.

Davian Hardi Putra Friezcen
Tak seperti saat kelahiran si Kakak—Clarissa—yang sifatnya darurat, kali ini kami merencanakannya sematang mungkin, apalagi dokter obgin (obstetri-ginekologi) yang memeriksa kehamilan istri sudah langsung memutuskan untuk bedah caesar dikarenakan lapisan dinding rahim yang terlalu tipis akibat dari bedah caesar saat melahirkan anak pertama, membuatnya sangat riskan untuk melahirkan secara normal. Selama kehamilan, kami menggunakan jasa dua orang dokter obgin, yaitu dr. Yusra Septivera, Sp.OG, yang memeriksa selama di Banda Aceh, dan dr. Edward Muljadi, Sp.OG, yang membantu proses kehamilan istri dan kelahiran putra saya di Medan.

Dikarenakan sudah diputuskan bahwa proses melahirkan akan melalui prosedur bedah, jadi dr. Edward sudah mengizinkan kami untuk memilih tanggal kelahiran. Saat itu saya memilih tanggal 25 September 2017, bertepatan dengan ulang tahun ibu saya. Namun ternyata, disebabkan berbagai hal, akhirnya saya dan istri harus berkompromi lagi, sampai akhirnya kami sepakat memilih tanggal 29 September 2017 di Rumah Sakit (RS) Martha Friska Multatuli, Kota Medan.

Kamis, 28 September 2017, pagi hari kami sudah tiba di RS untuk menjalani prosedur jelang bedah caesar. Kami mendaftar menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan. Kemudian istri diarahkan menuju ruang pemeriksaan di lantai 1 untuk menjalani prosedur cek darah, dan sebagainya. Saya tidak menyaksikan langsung karena khawatir mengganggu pasien lain yang diperiksa di ruang yang sama, apalagi harus menjaga putri saya yang energik. Prosedur pemeriksaan ini cukup lama, saya dan Clarissa sampai bosan menunggu.

Setelah selesai, kami diarahkan menuju ruang persalinan di lantai 2. Ruang persalinan ini terletak di sebelah ruang praktik dokter obgin, berupa lorong, di mana terdapat sebuah ruang bayi yang luas di bagian paling depan, dan kamar-kamar pasien (untuk proses melahirkan normal), serta kamar menyusui di sepanjang lorong. Kami menempati salah satu kamar. Perawat pendamping yang bertugas pun memastikan kesiapan kami, termasuk memberitahu apa yang harus dilakukan dan barang apa saja yang perlu dibawa selama proses persalinan. Baiknya, kami tidak terlalu repot karena sebagian besar sudah kami persiapkan sebelumnya. Saya dan istri pun bermalam di sana. Sepanjang malam kami memikirkan Clarissa yang harus melalui malam itu di rumah kakek-neneknya, tanpa kedua orang tuanya.

Keesokan hari, sekitar pukul 07.30 WIB, istri dibawa ke ruang bedah. Saya pun tak tahu prosedur apa yang dijalaninya karena tidak diperbolehkan masuk. Namun, saya melihat dr. Edward masuk ke ruang bedah sekitar pukul 9. Sekitar sejam kemudian, perawat membawa bayi Davian ke ruang bayi dan meminta saya mengikutinya. Saya sedikit resah karena istri dan dr. Edward belum keluar dari ruang bedah. Di ruang bayi, perawat memberitahukan kepada saya perihal kondisi bayi Davian yang sehat, termasuk menyuntiknya dengan Vitamin K (anti pendarahan). Setelahnya saya diminta menandatangani berkas-berkas administrasi. Sebelum saya dipersilakan keluar oleh perawat bayi, saya melihat bayi Davian dimasukkan dalam inkubator.

Menjelang tengah hari saya melihat dr. Edward keluar dari ruang pemulihan pascaoperasi, saya segera menghampiri dan menjabat tangannya sambil berterima kasih. Dokter Edward mengatakan operasi berjalan lancar dan tak ada kendala apapun. Kemudian ia bergegas pergi. Tak lama saya pun diizinkan untuk melihat istri di ruang pemulihan.


Istri saya terbaring di sana, ia menangis terisak menahan sakit dan dinginnya suhu ruang bedah. Wajahnya pucat dan berkali-kali ia muntah. Bibirnya yang kering dan pecah-pecah gemetar menahan dingin dan sakit, air mata menetes di pipinya. Perawat mengatakan itu reaksi obat yang diberikan dan akibat dari dinginnya ruangan. Suhu ruang bedah memang sengaja disetel rendah karena demi menjaga ruangan tetap higienis. Tak hanya itu, kebetulan sebelum menjalani prosedur bedah, beberapa hari sebelumnya istri sempat terserang demam dan stres. Saya pun mencoba menenangkannya sebelum dibawa ke kamar perawatan pasien di lantai 3. 

Karena alasan kesehatan, maka kali ini kami tidak membawa serta bayi Davian ke kamar perawatan. Saya ingin fokus menjaga istri. Lagipula, dengan adanya Clarissa di kamar, fokus untuk merawat bayi Davian bisa terpecah. Apalagi Clarissa sangat rewel melihat ibunya terbaring lemah dengan infus dan kateter terpasang. Tak hanya itu, putri kami juga menolak pulang ke rumah mertua karena ingin menginap di RS. Akhirnya kami memutuskan untuk memesan sebuah kamar di Hotel Medan Ville yang kebetulan lokasinya berada di Komplek Multatuli Indah, lokasi yang sama dengan RS Martha Friska Multatuli.

Clarissa Astrid Sofia Friezcen & Arisandy Joan Hardiputra
Kiri: Ekspresi Clarissa saat menunggu Bunda di RS.
Kanan: Clarissa tertidur lelap di hotel.
Pengorbanan Clarissa yang kini menjadi seorang kakak saat kelahiran adiknya memang luar biasa besarnya. Di usianya yang masih tiga tahun, putri kami harus kehilangan perhatian prioritas dari kedua orang tuanya. Selama beberapa hari ia harus dipisahkan dengan orang tuanya. Jika biasanya kami membatasi waktunya bermain gawai, kali ini kami bebaskan namun tetap membatasi materi tontonan. Semua hanya agar ia merasa sedikit senang dan menggantikan waktu yang terbuang tanpa perhatian orang tuanya. Selama tiga tahun ia selalu menghabiskan waktu bermain, istirahat, dan bermanja-manja dengan orang tuanya. Saat ini, kebahagiaannya seolah terenggut. Wajahnya tak lagi menunjukkan keceriaan, semangat bermainnya hilang, dan energinya yang seolah tak terbatas seperti hilang diserap kehampaan. Seolah ia merasa dipinggirkan. Sebuah pelanggaran berat terhadap hak-haknya sebagai balita. Di malam kedua, saya pun menemaninya tidur di hotel. Ia tertidur lelap di pelukan saya, meskipun saya hanya bisa menemaninya sebentar karena harus kembali mendampingi istri di RS. Si Kakak pun tidur bersama dengan kakek-neneknya.

Minggu, 1 Oktober 2017, istri dan Davian diperbolehkan pulang meski harus kembali seminggu kemudian untuk memeriksakan kondisi jahitan pascabedah. Istri juga tetap rutin mengkonsumsi obat sesuai dosis yang dianjurkan.

Clarissa Astrid Sofia Friezcen & Davian Hardi Putra FriezcenHingga tulisan ini dibuat, kondisi istri dan bayi Davian sehat. Clarissa juga dengan sabar dan penuh pengertian menyayangi adiknya. Bahkan saat waktu tidur malam tiba, Clarissa juga mengalah pada bayi Davian. Ia rela menunggu bunda selesai memberi ASI kemudian baru minta jatah dibelai-belai hingga tertidur. Clarissa juga tak pernah merasa terganggu saat Davian rewel di larut malam atau dini hari.


Ucapan Terima Kasih dan Apresiasi

Kehadiran Davian melengkapi hidup saya dan keluarga. Karena itu, saya ingin menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak di bawah ini yang telah berperan langsung maupun tidak langsung dalam memberikan dukungan, doa, semangat, dan motivasi pada saya, istri, dan tentunya juga si Kakak untuk selalu sabar, tegar, kuat, dan semangat menyambut kehadiran Davian hingga mendidiknya menjadi pria dewasa seutuhnya:
  1. Istri saya. Sekali lagi ia menunjukkan kekuatannya sebagai seorang ibu yang rela berjuang mempertaruhkan nyawa demi buah hatinya;
  2. Putri saya, Clarissa Astrid Sofia Friezcen. Maaf perhatian Ayah sedikit terbagi, tapi kasih sayang Ayah-Bunda tak berkurang sedikitpun untuk Kakak Cla;
  3. Kedua orang tua, Saudara-saudara dan keluarga di Jawa Timur;
  4. Keluarga besar Paruhum Hasibuan dan Rosmalina Batubara (mertua) di Kota Medan;
  5. Keluarga Pran Wira Hasibuan dan Wira;
  6. Tondi Hasibuan (adik ipar);
  7. Rekan-rekan dan kolega saya di KPPN Banda Aceh;
  8. Teman-teman dan sahabat di luar lingkungan kantor;
  9. Dokter Yusra Septivera, Sp.OG di Banda Aceh;
  10. Dokter Edward Muljadi, Sp.OG di Kota Medan yang telah menjalankan prosedur bedah caesar istri saya untuk melahirkan Davian;
  11. Semua staf perawat di RS Martha Friska Multatuli. Baik perawat pasien maupun perawat bayi. Semuanya sigap dan ramah;
  12. Semua pihak yang belum saya tuliskan di atas namun turut memberikan dukungan dan doanya kepada kami. Sekali lagi, terima kasih.
Davian Hardi Putra Friezcen


Tulisan Terkait:




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Ada Cerita Dibalik Secangkir Kopi Lintong dan Bolu Labu di Omerta Koffie