Spontanitas: Melepaskan Topeng Diri dan Menjadi Diri Sendiri

"Prestasi terbesar dalam kehidupan adalah saat Anda tetap menjadi diri Anda sendiri ketika dunia mencoba mengubah Anda."


Seringkali kita dengar nasihat dari rekan, keluarga, teman, para ahli, atau tukang sok pintar, dan tukang omong kosong lainnya tentang menjadi diri sendiri. Nasihat dan saran yang bagus, namun pastinya sangat sulit untuk diterapkan. Pada nyatanya mencoba mengenali diri kita sendiri adalah proses alamiah yang berlangsung cukup panjang dan berdasarkan riset spontan yang terjadi selama bertahun-tahun. Seperti saya tuliskan, 'spontan', jadi sebenarnya proses yang disengaja untuk mencoba menjadi diri kita sendiri adalah sebuah omong kosong. Semakin kita berusaha menjadi diri sendiri, justru akan membuat kita semakin menjadi pribadi lain atau mencoba meniru pribadi orang lain yang kita jadikan tolok ukur/panutan/sosok ideal. Dengan kata lain, kita akan tersesat dan terbebani dengan gambaran sosok ideal dan semakin tidak mengenali kepribadian sejati. Diri kita sebenarnya adalah apa yang secara spontan kita lakukan atau kita ucapkan. Bagaimanapun bentuk spontanitas itu terjadi -suka atau tidak, terlepas dari baik dan buruknya- itulah jati diri kita sebenarnya, itulah yang harus kita syukuri, dan itulah yang harus kita lestarikan.

Media massa sekarang banyak memberitakan berita politik yang -Anda sadari atau tidak- berisi opini, bukan merupakan sebuah fakta konkrit. Lelakon media berusaha menciptakan opini publik, menggiring pola pikir massa, atau malah sebaliknya : berusaha memberikan materi yang diinginkan masyarakat, alih-alih memberikan fakta. Dua saluran televisi swasta gencar memberitakan betapa buruk dan korupnya sistem pemerintahan saat ini, termasuk aparat dan birokrat yang korup. Usut punya usut, dua stasiun televisi ini ternyata dikuasai oleh pentolan partai yang notebene merupakan oposisi partai pemerintah (baca: presiden). Hei, blog ini hanya opini, saya hanya mencoba membuka mata hati Anda, bukannya mencoba mencuci pikiran Anda. Dan jika Anda mempercayai dan menyetujui isi berita-berita politik itu,... ya, Anda juga budak media. Jangan salah, saya bukan pro-pemerintah. Sejujurnya, saya juga membenci tikus-tikus birokrat. Saya hanya pria biasa yang mencoba mengikuti naluri, kata hati, tanpa melupakan logika secara spontan. Media massa sekarang tak ubahnya sarana mainstream yang memberikan apa yang diinginkan masyarakat, alih-alih memberikan fakta. Jika masyarakat menginginkan sebuah klimaks atau konfrontasi, maka dengan mudahnya media akan memberikannya. Reward-nya: Media akan laris manis, rating akan meningkat dengan cepat. Sepertinya media sekarang mengacuhkan etika jurnalistik dan mengesampingkan nurani. Media hanya berorientasi pada profit maksimum. Pada akhirnya, semua kembali pada kita menyikapinya. Jadilah pemirsa yang cerdas!

Sebaliknya, saya berharap kepada rekan-rekan jurnalis untuk menjadi diri sendiri dan memberitakan fakta yang ada, termasuk kepada rekan-rekan sesama blogger. Setiap blogger memiliki karakteristik dan cirinya sendiri dalam menyusun kalimat menjadi sebuah cerita. Pada akhirnya, hanya blogger dengan ciri khas unik yang berasal dari dirinya sendiri adalah blogger yang mampu bertahan dan memiliki pembaca langganan. Jadilah blogger yang menulis secara spontan tentang apa yang Anda inginkan dan Anda harapkan melalui pemikiran Anda -bisa mengubah dunia, bukan sekedar blogger yang terbebani dengan tuntutan selalu update dan berusaha mendapatkan income dari iklan dan trafficAh, ini sih bukan blogger, tapi 'sapi perah'. Saya sendiri beberapa kali disarankan oleh rekan-rekan sesama blogger untuk mengganti layout blog dengan warna background yang lebih terang dan eye-catching. Tapi saya pribadi lebih menyukai layout yang gelap dan minimalis. Warna gelap menggambarkan 'sisi lain' diri saya. Bukan menjadi masalah serius jika traffic blog saya tak begitu ramai, namun kepuasan yang saya rasakan karena saya mampu menyelesaikan sebuah blog atau syukur-syukur jika ada pembaca yang kemudian terinspirasi. Saya adalah tipe pria yang lebih menghargai proses, bukannya hasil. Beberapa kali saya berkeinginan untuk mengirimkan sebuah artikel ke media, namun lagi-lagi, image media massa seperti yang saya tuliskan di atas dan campur tangan dari alter ego saya membuat rencana saya hanya sebatas angan-angan. Artikel opini yang telah melalui riset panjang akhirnya harus puas dengan hanya muncul di laman blog pribadi saya karena 'saya' tak sanggup menahan godaan untuk menulis makian atau sarkastik. Hei, tulisan-tulisan itu secara spontan muncul begitu saja. Namun demikian, saya tetap mengirimkan artikel yang berisi laporan kegiatan atau fakta, dan seringkali memang dimuat.

Beberapa waktu lalu, seorang idiot nan pengecut mengkritisi salah satu blog saya yang berjudul: Berusaha Melanjutkan Hidup Pasca Mutasi ke Kota Banda Aceh. Dia bilang blog saya itu menggambarkan betapa sombong dan tidak bersyukurnya saya karena dimutasikan ke Kota Banda Aceh setelah sebelumnya menghabiskan waktu hampir se-dekade di Kota Medan. Saya sengaja menyebutkan pengecut karena dia 'menyerang' saya dari belakang, tanpa saya ketahui. Dia membagikan blog saya kepada gerombolannya (sesama pengecut) di laman media sosial sambil memberikan opini negatif tentang diri saya. Alhasil, komentar negatif banyak bermunculan tentang diri saya yang berasal darinya dan gerombalan pecundang lain. Lucunya, rekan-rekan saya malah memberikan dukungan tak henti-hentinya kepada saya (bukan karena saya 'diserang' tapi karena kondisi yang menimpa saya yang saya tuliskan di isi/materi blog). Jadi, sebuah opini dalam satu blog bisa menimbulkan pro dan kontra. Baik reaksi negatif ataupun positif, tergantung dari pola pikir dan kepribadian masing-masing individu. Dalam hal ini, si pecundang memberikan reaksi negatifnya, berarti setelah membaca blog saya tersebut, secara spontan otaknya hanya menyaring informasi yang berkesan negatif. Saya biasa menyebutnya dengan 'otak kotor', bukan karena cabul, lebih buruk lagi... dia memandang dan menilai segala sesuatu dari sudut pandang negatif dan kontradiktif. Pada akhirnya, dia berusaha menciptakan opini publik (dalam hal ini, rekan-rekan sesama pengecut) dan menggiring cara berfikir mereka. Hasilnya? Sukses. Satu komentar negatif muncul di blog saya tersebut dengan nama atau identitas yang tidak disebutkan (kan saya sudah bilang pengecut!). Walaupun begitu, belakangan saya mengetahui identitas si pengecut dari rekan-rekan kerja saya.

Sebaliknya, rekan-rekan saya memberikan dukungan karena mereka merasa bersimpati. Tentunya rasa simpati ini bukan muncul begitu saja atau semata-mata karena saya dimutasikan ke Kota Banda Aceh. Tentunya mereka mengetahui latar belakang saya dan mengenal saya. Mereka juga mengetahui dengan pasti kenapa saya mengeluh dan terkesan merasa tidak bersyukur. Hei Bung, semua hal logis memberlakukan hukum sebab-akibat, tak ada asap kalau tak ada api, tak ada bayi tanpa ada seks. Bagaimanapun penilaian seseorang, relevansinya bergantung pada kondisi saat itu. Dalam hal ini, kondisi saat saya menulis blog dan kondisi saat mereka membacanya. Dan, semua terjadi secara spontan. Itulah diri kita. Jadi, untuk para pengecut dan pecundang yang telah 'menyerang' saya, saya salut karena Anda menjadi diri Anda sendiri dalam menilai saya, walaupun Anda berusaha menjadi idealis untuk geng Anda. Ingat, berusaha menjadi idealis adalah salah satu bentuk kepura-puraan dan kemunafikan. Bagi saya, sarkasme masih lebih baik ketimbang hipokrasi. Malah, hipokrasi adalah penyangkalan terberat terhadap nurani dan logika.

Contoh lain hipokrasi dalam kehidupan, seperti saat rumah kita akan didatangi oleh seorang tamu atau kerabat yang dianggap mempunyai nilai lebih. Lihat dan ingatlah saat diri kita sibuk merapikan dan membersihkan rumah hanya untuk dicap baik dan mendapat penilaian bagus. Tak jauh beda dengan di kantor tempat saya bekerja, semua sibuk membersihkan dan merapikan kantor hanya untuk menyambut atasan yang datang atau inspeksi. Padahal, si atasan juga masa bodoh. Atasan yang baik adalah mereka yang memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan karyawan. Jika karyawan senang, maka otomatis pekerjaan akan lancar. Hey, f*ck the files... just care your employees 'cause they're humans, not a f*cking toy! Wah, apakah saya baru saja menuliskan makian? Itu spontan.

Berapa umur Anda? Masih ingatkah Anda saat mencoba mendekati dan berkenalan dengan pasangan? Anda pasti berusaha menciptakan sebuah impresi positif di mata wanita/pria incaran. Impresi positif sangat diperlukan untuk membuka sebuah hubungan baru, meski hanya sebatas komunikasi. Tapi sayangnya, impresi positif yang diciptakan bukan berasal dari diri Anda sendiri. Impresi adalah impresi, bukan spontanitas. Impresi adalah upaya pencitraan dan manipulasi. Impresi yang berlebihan juga bisa menjadi hipokrasi. Tidak selamanya impresi itu buruk, namun pokok bahasan blog ini adalah spontanitas, dan percayalah... tak semua orang menyukai impresi. Bagi beberapa orang istimewa, mereka menyukai Anda apa adanya, Anda yang spontan. Dan orang-orang ini biasanya merupakan pasangan yang baik dan berfikiran luas dan terbuka. Jeez, what am I trying to be? A smart a$s. Bagaimanapun, saya berterimakasih pada pasangan yang telah bersabar dengan spontanitas saya. However, you can't replace an angel with reckless.

"Ketika Anda mencintai seseorang, jujurlah pada diri sendiri. Jangan biarkan dia mencintai seseorang yang bukan diri Anda."

Berusaha menjadi diri sendiri itu sama dengan jika seseorang mengatakan pada kita: jangan memikirkan seks jika ingin fokus ke aktivitas. Faktanya, semakin kita disuruh tidak memikirkan sesuatu, justru sesuatu yang berusaha kita enyahkan akan terus-menerus terbayang di otak kita. Otak jadi 'kotor' mikir seks melulu. Atau saat kita ketakutan di tempat yang gelap dan seram menurut kita, eh rekan yang kurang ajar malah mengatakan, "Gak usah mikirn hantu, nanti malah seram!" Yang ada malah bayangan-bayangan hantu muncul di otak kita. Okelah kalau hantunya cewek body-nya kayak bintang iklan pemanis diet, lha kalau yang nongol Mak Lampir atau Kalong Wewe yang hiperseks pula?! Semakin kita berusaha menemukan karakter dan jati diri, semakin kita justru tidak mengenali diri kita sesungguhnya. Seperti yang saya tuliskan di atas, justru kita akan menciptakan sosok ideal menurut pemikiran kita. Percayalah, terlalu banyak berimajinasi bisa menyebabkan neurosis!

Jadi siapa sebenarnya diri Anda? Bagaimana sifat Anda sebenarnya? Apa yang pertama kali muncul di pikiran Anda untuk menilai sesuatu hal atau apa yang Anda ucapkan pertama kali untuk setiap hal, itulah Anda. Untuk mengenali diri Anda, perhatikan dan ingatlah bagaimana Anda berfikir atau berbicara secara spontan. Baik atau burukkah Anda? Jika menurut Anda buruk atau jahat, Anda sebenarnya hanya perlu belajar untuk mengendalikan diri. Bukan melalui penyangkalan atau aksi hipokrasi, namun Anda hanya perlu menemukan lingkungan yang sesuai dengan spontanitas Anda. Terkadang, seseorang bisa mempunyai bermacam-macam spontanitas, tergantung pada situasi dan lingkungan. Dan secara spontan juga, pola pikir Anda akan berubah seiring jalannya waktu. Jangan pernah menyesali atau mengutuk diri Anda karena setiap manusia memiliki keunikannya tersendiri. Jangan pernah merasa Anda memiliki kekurangan, namun yakinkan diri bahwa Anda memiliki keunikan (bukan kelebihan). Jangan pernah mengubah diri Anda sendiri karena Anda hanya akan melarikan diri sementara dan justru memendam perasaan dan emosi negatif yang Anda rasakan. Perubahan spontan akan terjadi melalui proses dan seleksi alam dan kehidupan.

Satu hal yang penting, seburuk apapun pemikiran dan penilaian orang lain tentang diri Anda, ingatlah bahwa mereka juga manusia yang juga memiliki dosa. Bagi saya, mereka itu cuma sampah. Saya tidak pernah menggubris orang lain yang menilai negatif diri saya, apalagi jika saya juga tidak mengenal mereka. Satu hal yang saya pelajari dalam kehidupan: Anda tidak akan pernah berhasil memberikan penilaian kepada seseorang yang belum Anda kenal, kecuali jika mereka memberikan penilaian negatif lebih dulu kepada Anda karena itu berarti mereka memang orang picik. Jika mereka memandang saya dengan buruk, sesungguhnya mereka tak lebih dari sekedar sampah atau kotoran bagi saya. Bagaimanapun buruknya penilaian 'para sampah', tetaplah lakukan yang terbaik untuk orang-orang terdekat Anda karena merekalah yang berarti dalam kehidupan Anda, merekalah yang akan menentukan nasib Anda. Bukan atasan atau pejabat yang saya maksudkan, tapi keluarga, pasangan, dan sahabat-sahabat Anda. Sesungguhnya bagi saya, orang yang sukses dalam kehidupan ada dua golongan: Pertama, mereka yang berhasil membina hubungan baik dan harmonis dengan keluarga, pasangan, dan sahabat-sahabatnya. Dan kedua, mereka yang bermanfaat atau membantu orang kecil yang tertindas. Jadi, ada di golongan yang manakah Anda?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Ada Cerita Dibalik Secangkir Kopi Lintong dan Bolu Labu di Omerta Koffie