Perspektif Saya Tentang Pernikahan: Sebuah Renungan Tengah Malam
Sebenarnya saya menulis blog ini karena terbangun dari tidur malam dan susah untuk memaksakan kedua mata ini agar terpejam kembali. Kata orang, inspirasi bisa datang darimanapun dan setiap saat. Well, mungkin ada benarnya juga. Bagi seorang blogger seperti saya, sebuah inspirasi harus segera dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Seperti sebuah pepatah lain yang sangat populer di kalangan blogger, penulis, maupun jurnalis: Tuliskan segera apa yang Anda pikirkan, tapi pikirkan dahulu apa yang akan Anda tuliskan. Mungkin maknanya seperti bertindak cepat namun penuh perhitungan, bukan asal-asalan.
Di malam seperti ini, saat saya (mungkin juga Anda) terjaga di malam hari dan susah untuk tidur kembali, terkadang membuat pikiran kita melayang tak tentu arahnya. Seperti saat sedang menulis blog ini, entah kenapa untuk yang kesekian kalinya -walaupun tidak sering- saya merasakan kehampaan dalam hidup ini. Tiba-tiba saya jadi berfikir, bagaimana jadinya bila suatu hari nanti, ketika saya terbangun di suatu malam seperti saat ini, di samping saya sudah ada seorang bidadari cantik yang terlelap (atau mungkin ikut terbangun)? Atau tiba-tiba ada seorang putri atau pangeran kecil sedang tidur di antara saya dan bidadari cantik tersebut?
Ya, dari sini Anda pasti sudah mengetahui kemana arah tulisan saya: Pernikahan. Terdengar indah atau malah klise bagi Anda? Malah terdengar sedikit menakutkan bagi saya (dan tentunya banyak pria lain di luar sana). Tapi jangan salah, saya bukan paranoid dengan pernikahan, hanya saja saya belum merasa siap untuk menuju ke tahap itu. Bagi saya, pernikahan bukanlah sebuah tujuan, tetapi hanya salah satu metode untuk mencapai tujuan hidup itu sendiri. Banyak kalangan selebritis dan bahkan beberapa rekan saya yang pernikahannya kandas atau sedang berada di ambang perceraian karena mungkin mereka merasa menikah adalah tujuan hidupnya. Setelah menikah, tak tahu lagi harus gimana. Pernikahan itu harusnya menjadi sebuah ritual sakral yang hanya dilangsungkan sekali seumur hidup, kecuali ada hal-hal di luar kehendak manusia yang mengharuskan sebuah pernikahan harus berakhir secara hukum. Walaupun saya sedikit 'alergi' dengan kata menikah, tetapi saya sangat menentang konsep poligami (menikah dengan lebih dari satu istri). Walaupun secara agama Islam, hal seperti itu diperbolehkan. Tapi negara ini adalah negara hukum, bukan negara agama. Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara jelas mengatur bahwa pada asasnya seorang warga negara hanya boleh menikah/kawin sekali saja, kecuali ada sejumlah syarat tertentu -termasuk putusan pengadilan- yang memperbolehkan poligami. Faktanya, banyak masyarakat kita yang berpoligami tanpa ada persetujuan dari istri dan pihak-pihak yang bersangkutan (pasal 3 ayat 2). Ini artinya, agama pun masih bisa dimanipulasi. Jika masih ingin poligami, silahkan pindah saja ke Arab Saudi! Saya juga sangat mendukung terbitnya undang-undang yang melarang poligami. Saya tak percaya bahwa seorang pria (dalam hal ini: suami) bisa berlaku adil kepada semua istrinya, sekalipun si suami adalah seorang pemuka atau tokoh agama. Bagi saya, keadilan dalam poligami itu omong kosong. Poligami mengandung unsur Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lebih sarat ketimbang monogami. Perlu diingat bahwa KDRT bukan hanya berarti kekerasan secara fisik, melainkan kekerasan secara psikis atau mental. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengartikan KDRT sebagai Perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Lebih banyak pihak yang tersakiti dalam sebuah poligami, bukan hanya istri pertama atau 'istri tua', tapi juga kaum wanita itu sendiri (istri muda), termasuk mungkin orang-orang terdekatnya seperti keluarga, teman, dan lainnya. Pada akhirnya, sebuah poligami hanya menimbulkan beban psikis bagi para pihak yang merasa dirugikan. Nah, jika saya menentang poligami, apalagi poliandri. Aduh, gak terbayang betapa menjijikkannya jika saya harus berbagi penis dalam satu vagina.
Phobia dengan pernikahan bukan berarti saya tidak mencintai pasangan. Malahan, saya sudah memantapkan diri untuk menikah dengan Peri Kecil saya. Aneh bukan, saya ingin menikahi pasangan tapi sekaligus menghindari pernikahan itu sendiri. Sekali lagi, bagi seorang pria yang jalan pikirannya rumit seperti saya, menikah bukanlah suatu tujuan hidup saya bersama pasangan. Tujuan saya sih sebenarnya simple: Hidup bersama, tak terpisahkan, dan saling mencintai selamanya. Naif, mungkin bagi orang-orang yang munafik. Hidup bersama tanpa ikatan pernikahan? Why not?! Ekstrim ya? Kalau bukan ekstrim dan kontroversial, enggak gue banget donk?!
Saya punya satu pertanyaan sederhana: Apakah sebuah pernikahan bisa menjamin kedua pasangan akan bisa hidup bersama, tak terpisahkan, dan saling mencintai selamanya? Omong kosong jika Anda menjawab YA! Bahkan jika Anda berkilah dengan jawaban: Setidaknya ada usaha, Anda juga tidak bisa menjamin sebuah pernikahan akan mampu melanggengkan cinta kedua pasangan. Pernikahan memang adalah sebuah ikatan/komitmen, tapi sesungguhnya, seperti semua ikatan yang lain, bisa saja terlepas atau terurai. Pernikahan hanya menjamin sebuah legalitas atas hukum dan status, namun belum tentu menjamin sebuah cinta akan terus berlanjut.
Kembali ke diri saya, satu hal yang masih menjadi masalah di negara ini -yang katanya sih menganut adat ke-timur-an (ini juga perlu dikaji karena sepertinya di era millenium terbukti banyak ajaran para orang tua yang maknanya sudah bergeser dan gak update), pernikahan adalah hal yang diwajibkan secara hukum dan moral agar dapat hidup bersama pasangan. Di negara ke-timur-an, konsep pemikiran saya pasti dianggap sebagai sebuah kontroversi dan tidak etis. Apalagi jika pola pikir 'ke-timur-an' itu sudah menjangkiti pasangan saya sebelumnya (mantan). Ya, tidak terhitung sudah berapa kali doi menanyakan, "Mas, kapan kita married?" Otomatis tak terhitung pula berapa kali saya harus ngeles/menghindar, dan akibatnya tak terhitung juga berapa kali saya harus meringis terkena cubitan atau pukulan di bahu akibat menghindar atau pura-pura tak mendengar, atau sibuk mencari-cari kegiatan dan alasan. Akhirnya saya jawab saja seenak hati, "Ya, sabar ya, masih nabung." Atau, "Nanti setelah wisuda." Selama pasangan saya mengulang pertanyaan yang sama, selama itu juga doi akan mendengar jawaban yang sama pula. Dan itu berarti pola pikir doi masih menjadikan sebuah pernikahan sebagai sebuah tujuan atau jaminan terhadap komitmen yang telah kami bina. Tipikal pria seperti saya ini, melawan di depan, tapi manut di belakang. Saya memang mencari-cari alasan setiap kali terjebak dalam pertanyaan (atau mungkin lebih tepat disebut tuntutan), tapi sebenarnya dalam hati dan otak saya yang rumit ini, rencana menuju ke tahap pernikahan sudah ada. Namanya juga pria, ego dan gengsi lebih sering menang melawan nurani.
Mindset/pola pikir kami berdua tak pernah berubah, dan komitmen pun terputus. Kami berpisah setelah lebih-kurang empat tahun bersama. Apakah saya menyesal? Dari sisi 'pernikahan' tentunya tidak. Bagi saya, 'pernikahan adalah sebuah metode untuk mencapai tujuan, bukanlah tujuan itu sendiri' merupakan prinsip yang harus dipertahankan demi kebaikan saya dan pasangan. Saya hanya kecewa karena mantan pasangan tidak mau bertahan dan mempertahankan komitmen.
Waktu terus berlalu, kini saya memiliki seorang pasangan yang sudah cukup lama saya kenal. Usianya jauh lebih muda dari saya namun memiliki pemikiran bijak dan kesabaran yang sepertinya tak berbatas (mungkin lho). Setelah lebih-kurang tiga tahun bersamanya, belum sekalipun saya mendengar pertanyaan, "Mas kapan kita married?"
Sikap pasifnya terhadap pernikahan justru membuat saya ingin menikahinya. Bukan sebagai tujuan, melainkan sebuah penghargaan atas komitmen dan kesabarannya. Saya ini bukan tipe pria yang menghindari pernikahan kok, saya hanya menghindari 'pernikahan sebagai sebuah tujuan hidup'. Pria seperti saya memang memiliki ego tinggi, namun dengan bimbingan yang benar, saya juga bisa manut. Seperti yang saya tuliskan di atas, jika seandainya suatu hari nanti saya menikahi pasangan saya, itu merupakan sebuah penghargaan dan hadiah saya kepadanya. Penghargaan atas kesabarannya, penghargaan atas bimbingannya, penghargaan atas kebersamaan kami, atas sikap maklum dan pengertiannya kepada pria aneh, rumit, dan 'berubah-ubah' (dalam arti harfiah).
Kini saya sedang menyusun tahap selanjutnya dari rencana untuk menuju ke jenjang itu. Memang ada 'bagian diri saya' yang menentang pernikahan, tapi bagaimanapun pasangan saya pantas mendapatkan sesuatu yang lebih berarti. Lagipula, doi sedikit-banyak memahami tingkah aneh saya dan bisa menjinakkan 'sisi liar' saya yang lain. Jadi sepertinya tak ada salahnya jika pasangan dan 'sisi liar' saya lebih saling mengenal satu sama lain seperti saya mengenal dekat pasangan saya dan kehidupannya.
Saya adalah orang timur yang hidup di sebuah negara yang menganut adat ke-timur-annya, dan tinggal di lingkungan masyarakat yang ke-timur-an. Jadi mau tak mau saya terpaksa mengikuti adat dan etika orang timur jika ingin hidup bersama pasangan saya. Bagaimanapun, hidup saya sebagai seorang pria belumlah lengkap sebelum memberikan penghargaan kepada pasangan saya (baca: menikah). Seperti sebuah tulisan yang saya baca di sebuah majalah pria dewasa: Kehidupan seorang pria belumlah lengkap sebelum ia menikah; setelah menikah tamatlah ia.
Tamat? Bisa jadi benar jika menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup, namun berlebihan jika memandang pernikahan sebagai salah satu metode untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya. Apapun alasannya, saya sudah terlalu sering terjaga di malam hari dan merasa kesepian. Bertahun-tahun saya tinggal sendirian, terpisah dari kedua orang tua dan keluarga sejak lulus SMU. Saya sangat berharap, pasangan saya nanti mampu menggantikan peran kedua orang tua saya yang selalu menemani saya saat masih kecil dulu.
Jika seandainya pernikahan itu benar-benar terjadi suatu hari nanti, pasangan saya tak akan pernah berubah di hati saya, ia akan selalu menjadi pasangan saya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bukan seorang 'istri' yang hanya bisa manut pada suami dan berfikir bahwa dia hanyalah seorang 'ibu rumah tangga'. Bukan 'istri' yang sebenarnya hanya sebutan untuk label atau status, tetapi wanita modern yang berkarakter, berpendirian, dan multitalenta. Ia akan selalu menjadi pasangan saya dengan segala pola pemikirannya, kesabarannya, keuletannya, dan pengertiannya.
Pada akhirnya, ia akan menjadi seorang bidadari yang berbaring di samping saya ketika saya terbangun di malam hari, atau ikut terbangun dan menenangkan saya saat saya terjaga, sehingga tak perlu lagi menulis blog di tengah malam sampai pagi buta. Dan tentunya seorang pasangan yang nanti akan memberikan saya seorang malaikat kecil dan/atau pangeran kecil yang akan terus membuat kami berdua terbangun di tengah malam. Aamiin! Wallahualam!
Di malam seperti ini, saat saya (mungkin juga Anda) terjaga di malam hari dan susah untuk tidur kembali, terkadang membuat pikiran kita melayang tak tentu arahnya. Seperti saat sedang menulis blog ini, entah kenapa untuk yang kesekian kalinya -walaupun tidak sering- saya merasakan kehampaan dalam hidup ini. Tiba-tiba saya jadi berfikir, bagaimana jadinya bila suatu hari nanti, ketika saya terbangun di suatu malam seperti saat ini, di samping saya sudah ada seorang bidadari cantik yang terlelap (atau mungkin ikut terbangun)? Atau tiba-tiba ada seorang putri atau pangeran kecil sedang tidur di antara saya dan bidadari cantik tersebut?
Ya, dari sini Anda pasti sudah mengetahui kemana arah tulisan saya: Pernikahan. Terdengar indah atau malah klise bagi Anda? Malah terdengar sedikit menakutkan bagi saya (dan tentunya banyak pria lain di luar sana). Tapi jangan salah, saya bukan paranoid dengan pernikahan, hanya saja saya belum merasa siap untuk menuju ke tahap itu. Bagi saya, pernikahan bukanlah sebuah tujuan, tetapi hanya salah satu metode untuk mencapai tujuan hidup itu sendiri. Banyak kalangan selebritis dan bahkan beberapa rekan saya yang pernikahannya kandas atau sedang berada di ambang perceraian karena mungkin mereka merasa menikah adalah tujuan hidupnya. Setelah menikah, tak tahu lagi harus gimana. Pernikahan itu harusnya menjadi sebuah ritual sakral yang hanya dilangsungkan sekali seumur hidup, kecuali ada hal-hal di luar kehendak manusia yang mengharuskan sebuah pernikahan harus berakhir secara hukum. Walaupun saya sedikit 'alergi' dengan kata menikah, tetapi saya sangat menentang konsep poligami (menikah dengan lebih dari satu istri). Walaupun secara agama Islam, hal seperti itu diperbolehkan. Tapi negara ini adalah negara hukum, bukan negara agama. Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara jelas mengatur bahwa pada asasnya seorang warga negara hanya boleh menikah/kawin sekali saja, kecuali ada sejumlah syarat tertentu -termasuk putusan pengadilan- yang memperbolehkan poligami. Faktanya, banyak masyarakat kita yang berpoligami tanpa ada persetujuan dari istri dan pihak-pihak yang bersangkutan (pasal 3 ayat 2). Ini artinya, agama pun masih bisa dimanipulasi. Jika masih ingin poligami, silahkan pindah saja ke Arab Saudi! Saya juga sangat mendukung terbitnya undang-undang yang melarang poligami. Saya tak percaya bahwa seorang pria (dalam hal ini: suami) bisa berlaku adil kepada semua istrinya, sekalipun si suami adalah seorang pemuka atau tokoh agama. Bagi saya, keadilan dalam poligami itu omong kosong. Poligami mengandung unsur Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lebih sarat ketimbang monogami. Perlu diingat bahwa KDRT bukan hanya berarti kekerasan secara fisik, melainkan kekerasan secara psikis atau mental. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengartikan KDRT sebagai Perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Lebih banyak pihak yang tersakiti dalam sebuah poligami, bukan hanya istri pertama atau 'istri tua', tapi juga kaum wanita itu sendiri (istri muda), termasuk mungkin orang-orang terdekatnya seperti keluarga, teman, dan lainnya. Pada akhirnya, sebuah poligami hanya menimbulkan beban psikis bagi para pihak yang merasa dirugikan. Nah, jika saya menentang poligami, apalagi poliandri. Aduh, gak terbayang betapa menjijikkannya jika saya harus berbagi penis dalam satu vagina.
Phobia dengan pernikahan bukan berarti saya tidak mencintai pasangan. Malahan, saya sudah memantapkan diri untuk menikah dengan Peri Kecil saya. Aneh bukan, saya ingin menikahi pasangan tapi sekaligus menghindari pernikahan itu sendiri. Sekali lagi, bagi seorang pria yang jalan pikirannya rumit seperti saya, menikah bukanlah suatu tujuan hidup saya bersama pasangan. Tujuan saya sih sebenarnya simple: Hidup bersama, tak terpisahkan, dan saling mencintai selamanya. Naif, mungkin bagi orang-orang yang munafik. Hidup bersama tanpa ikatan pernikahan? Why not?! Ekstrim ya? Kalau bukan ekstrim dan kontroversial, enggak gue banget donk?!
Saya punya satu pertanyaan sederhana: Apakah sebuah pernikahan bisa menjamin kedua pasangan akan bisa hidup bersama, tak terpisahkan, dan saling mencintai selamanya? Omong kosong jika Anda menjawab YA! Bahkan jika Anda berkilah dengan jawaban: Setidaknya ada usaha, Anda juga tidak bisa menjamin sebuah pernikahan akan mampu melanggengkan cinta kedua pasangan. Pernikahan memang adalah sebuah ikatan/komitmen, tapi sesungguhnya, seperti semua ikatan yang lain, bisa saja terlepas atau terurai. Pernikahan hanya menjamin sebuah legalitas atas hukum dan status, namun belum tentu menjamin sebuah cinta akan terus berlanjut.
Kembali ke diri saya, satu hal yang masih menjadi masalah di negara ini -yang katanya sih menganut adat ke-timur-an (ini juga perlu dikaji karena sepertinya di era millenium terbukti banyak ajaran para orang tua yang maknanya sudah bergeser dan gak update), pernikahan adalah hal yang diwajibkan secara hukum dan moral agar dapat hidup bersama pasangan. Di negara ke-timur-an, konsep pemikiran saya pasti dianggap sebagai sebuah kontroversi dan tidak etis. Apalagi jika pola pikir 'ke-timur-an' itu sudah menjangkiti pasangan saya sebelumnya (mantan). Ya, tidak terhitung sudah berapa kali doi menanyakan, "Mas, kapan kita married?" Otomatis tak terhitung pula berapa kali saya harus ngeles/menghindar, dan akibatnya tak terhitung juga berapa kali saya harus meringis terkena cubitan atau pukulan di bahu akibat menghindar atau pura-pura tak mendengar, atau sibuk mencari-cari kegiatan dan alasan. Akhirnya saya jawab saja seenak hati, "Ya, sabar ya, masih nabung." Atau, "Nanti setelah wisuda." Selama pasangan saya mengulang pertanyaan yang sama, selama itu juga doi akan mendengar jawaban yang sama pula. Dan itu berarti pola pikir doi masih menjadikan sebuah pernikahan sebagai sebuah tujuan atau jaminan terhadap komitmen yang telah kami bina. Tipikal pria seperti saya ini, melawan di depan, tapi manut di belakang. Saya memang mencari-cari alasan setiap kali terjebak dalam pertanyaan (atau mungkin lebih tepat disebut tuntutan), tapi sebenarnya dalam hati dan otak saya yang rumit ini, rencana menuju ke tahap pernikahan sudah ada. Namanya juga pria, ego dan gengsi lebih sering menang melawan nurani.
Mindset/pola pikir kami berdua tak pernah berubah, dan komitmen pun terputus. Kami berpisah setelah lebih-kurang empat tahun bersama. Apakah saya menyesal? Dari sisi 'pernikahan' tentunya tidak. Bagi saya, 'pernikahan adalah sebuah metode untuk mencapai tujuan, bukanlah tujuan itu sendiri' merupakan prinsip yang harus dipertahankan demi kebaikan saya dan pasangan. Saya hanya kecewa karena mantan pasangan tidak mau bertahan dan mempertahankan komitmen.
Waktu terus berlalu, kini saya memiliki seorang pasangan yang sudah cukup lama saya kenal. Usianya jauh lebih muda dari saya namun memiliki pemikiran bijak dan kesabaran yang sepertinya tak berbatas (mungkin lho). Setelah lebih-kurang tiga tahun bersamanya, belum sekalipun saya mendengar pertanyaan, "Mas kapan kita married?"
Sikap pasifnya terhadap pernikahan justru membuat saya ingin menikahinya. Bukan sebagai tujuan, melainkan sebuah penghargaan atas komitmen dan kesabarannya. Saya ini bukan tipe pria yang menghindari pernikahan kok, saya hanya menghindari 'pernikahan sebagai sebuah tujuan hidup'. Pria seperti saya memang memiliki ego tinggi, namun dengan bimbingan yang benar, saya juga bisa manut. Seperti yang saya tuliskan di atas, jika seandainya suatu hari nanti saya menikahi pasangan saya, itu merupakan sebuah penghargaan dan hadiah saya kepadanya. Penghargaan atas kesabarannya, penghargaan atas bimbingannya, penghargaan atas kebersamaan kami, atas sikap maklum dan pengertiannya kepada pria aneh, rumit, dan 'berubah-ubah' (dalam arti harfiah).
Kini saya sedang menyusun tahap selanjutnya dari rencana untuk menuju ke jenjang itu. Memang ada 'bagian diri saya' yang menentang pernikahan, tapi bagaimanapun pasangan saya pantas mendapatkan sesuatu yang lebih berarti. Lagipula, doi sedikit-banyak memahami tingkah aneh saya dan bisa menjinakkan 'sisi liar' saya yang lain. Jadi sepertinya tak ada salahnya jika pasangan dan 'sisi liar' saya lebih saling mengenal satu sama lain seperti saya mengenal dekat pasangan saya dan kehidupannya.
Saya adalah orang timur yang hidup di sebuah negara yang menganut adat ke-timur-annya, dan tinggal di lingkungan masyarakat yang ke-timur-an. Jadi mau tak mau saya terpaksa mengikuti adat dan etika orang timur jika ingin hidup bersama pasangan saya. Bagaimanapun, hidup saya sebagai seorang pria belumlah lengkap sebelum memberikan penghargaan kepada pasangan saya (baca: menikah). Seperti sebuah tulisan yang saya baca di sebuah majalah pria dewasa: Kehidupan seorang pria belumlah lengkap sebelum ia menikah; setelah menikah tamatlah ia.
Tamat? Bisa jadi benar jika menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup, namun berlebihan jika memandang pernikahan sebagai salah satu metode untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya. Apapun alasannya, saya sudah terlalu sering terjaga di malam hari dan merasa kesepian. Bertahun-tahun saya tinggal sendirian, terpisah dari kedua orang tua dan keluarga sejak lulus SMU. Saya sangat berharap, pasangan saya nanti mampu menggantikan peran kedua orang tua saya yang selalu menemani saya saat masih kecil dulu.
Jika seandainya pernikahan itu benar-benar terjadi suatu hari nanti, pasangan saya tak akan pernah berubah di hati saya, ia akan selalu menjadi pasangan saya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bukan seorang 'istri' yang hanya bisa manut pada suami dan berfikir bahwa dia hanyalah seorang 'ibu rumah tangga'. Bukan 'istri' yang sebenarnya hanya sebutan untuk label atau status, tetapi wanita modern yang berkarakter, berpendirian, dan multitalenta. Ia akan selalu menjadi pasangan saya dengan segala pola pemikirannya, kesabarannya, keuletannya, dan pengertiannya.
Pada akhirnya, ia akan menjadi seorang bidadari yang berbaring di samping saya ketika saya terbangun di malam hari, atau ikut terbangun dan menenangkan saya saat saya terjaga, sehingga tak perlu lagi menulis blog di tengah malam sampai pagi buta. Dan tentunya seorang pasangan yang nanti akan memberikan saya seorang malaikat kecil dan/atau pangeran kecil yang akan terus membuat kami berdua terbangun di tengah malam. Aamiin! Wallahualam!
Salam cerdas,
NB: Blog ini saya tulis untuk semua pria yang paranoid terhadap pernikahan, semua wanita yang selalu menuntut untuk segera dinikahi oleh pasangannya, untuk para orang tua yang masih memiliki pola pikir bahwa menikah adalah sebuah tujuan sehingga terus mendesak anak-anaknya untuk segera menikah, untuk mantan pasangan saya, dan tentunya teristimewa untuk pasangan saya.
"Tak ada yang salah dengan pernikahan, satu-satunya kesalahan adalah perspektif kita terhadap pernikahan itu sendiri. Think Smart!"
setelah baca blog ini..jadi smakin paham apa yang mas pkirkan,harapkan dan rasakan.apapun itu nanti yang akan terjadi, dan seperti apa ke depannya biar ngalir seperti air aja ya syg..semoga kita di berikan yang terbaik.amin..
BalasHapusmakasih ya syg... :)
Aamiin!
HapusSekali lagi, makasih sangat buat pengertiannya, Cin! :*
Tulisan ini cukup menenangkan saya yang tadinya paranoid soal pernikahan. :)
BalasHapusAlhamdulillah!
HapusB'arti skrg gak paranoid lg donk, Kang Ovan?!
Kapan saya terima undangannya?
Saya suka banget sama blognya mas, menurut saya mas orangnya modern dan tidak kolot/konvensional.. Memang ya mas nikah itu bukan tujuan utama dalam hidup, menjalani hidup dengan sebaik-baiknya itu yang penting...
HapusBenar, seperti yang saya tuliskan, pernikahan itu bukan tujuan, tapi salah satu metode untuk mencapai tujuan. Menjaga komitmen itu penting karena manusia terbaik adalah mereka yang bisa menjaga dan menginspirasi orang-orang terdekatnya.
HapusTerima kasih sudah membaca tulisan saya.