Ketika Harus Tinggal Berjauhan (lagi) Dari Keluarga

Saat menulis blog ini di sela-sela kesibukan jam kerja, sudah memasuki hari ketiga saya harus berjauhan dengan anak dan istri yang berada di Kota Medan untuk mempersiapkan kelahiran buah hati kami yang kedua. Memang 'baru' tiga hari, belum terlalu lama. Namun jika Anda memiliki ikatan yang sangat membahagiakan dan waktu-waktu berkualitas bersama keluarga, maka yakinlah bahwa tiga hari terasa sudah cukup lama.

Arisandy Joan Hardiputra, Epi Friezta Dewi Hasibuan, Clarissa Astrid Sofia Friezcen


Saya merasa sangat kesepian di rumah. Jika biasanya putri kecil saya yang saat ini berusia tiga tahun akan menyambut saya sepulang kerja dengan senyuman dan antusias mengajak saya berkendara berkeliling di jalanan sekitar lingkungan tempat tinggal, kini saya harus merasakan kembali pulang dengan lesu. Pun demikian jika malam tiba, biasanya saya dan istri akan bergantian menceritakan dongeng pada si Kecil sambil minum susu hingga ia tertidur, berebut bantal atau spot strategis di atas kasur hingga istri merasa kesal dengan tingkah konyol kami, atau merasakan lembutnya tangan istri saat ia membelai punggung saya sebelum tidur (sejak bujang saya tidur tanpa mengenakan baju atasan). Kini saya sendirian lagi. Tak ada lagi sosok-sosok hangat yang bisa didekap saat dingin, tak ada lagi minuman dingin tersaji di dalam lemari es saat pulang kantor, pun demikian di meja makan yang biasanya penuh sesak dengan masakan istri, kini hanya ada makanan-makanan yang saya beli di luar untuk makan malam (tanpa istri, saya hanya makan sekali sehari, diet).

Baca juga blog saya berjudul: Perjuangan Keras Untuk Mewujudkan Resolusi Tahun Ini: Membentuk Tubuh Ideal.


Terakhir kalinya saya harus merasakan pengalaman sendirian seperti ini adalah saat baru menikah. Kala itu saya dan istri harus menjalani hubungan jarak jauh karena saya baru saja dimutasikan ke Banda Aceh dan istri tetap tinggal di Kota Medan untuk bekerja di salah satu perusahaan swasta. Berbulan-bulan saya harus tinggal berjauhan dengan istri hingga kami dikaruniai putri pertama. Sesuai kesepakatan di antara kami berdua, istri harus resign dari tempatnya bekerja dan tinggal bersama di Banda Aceh untuk bersama-sama fokus mendidik anak. Kami percaya, pendidikan dan pengalaman terbaik hanya bisa didapatkan dari ibu yang sepanjang hari berada di dekat anak (tidak bekerja).

Baca Juga: Jangan Mengkritik metode Parenting Orangtua Lain.


Kehamilan istri saat ini sudah memasuki minggu ke-32 atau sekitar delapan bulan. Istri sudah harus kembali ke kota Medan karena usia kehamilannya makin riskan jika harus ditunda bepergian dengan pesawat terbang, pun dengan menumpang bus malam yang membutuhkan waktu sepuluh hingga dua belas jam perjalanan dari Banda Aceh ke Medan. Kepulangannya ke Medan juga karena kami ingin mendapatkan pemeriksaan yang lebih lanjut dengan dokter obstetri-ginekologi (obgin) di Medan. Tanpa bermaksud mengecilkan peran dan kecakapan dokter obgin di Banda Aceh, namun kami merasa istri juga perlu mempersiapkan diri untuk evaluasi dan memilih rumah sakit tempat melahirkan dan dokter yang menangani selama kehamilan di Medan. Dengan menetapkan dokter yang menangani sejak masa kehamilan, diharapkan dokter bersangkutan akan mengetahui riwayat kehamilan istri, sehingga risiko-risiko saat melahirkan nantinya sudah bisa diantisipasi dan dicarikan solusi. Namanya juga kepala keluarga, pasti ingin memberikan yang terbaik untuk istri dan anak-anak, bukan?!

Baca juga: Hal-Hal dan Dana yang Perlu Dipersiapkan Selama Kehamilan dan Persalinan, dan Sebuah Cerita Perjuangan Untuk Melahirkan; tentang Istri Saya.


Bagaimanapun juga, saya berusaha mengambil hikmah dan memandang dengan positif. Dengan tinggal sendirian tanpa anak-istri, saya jadi lebih punya banyak waktu untuk berolahraga kalistenik di rumah. Saya juga jadi sangat jarang menyantap nasi putih (sejak dulu saya kurang suka karena kurang bagus untuk kesehatan dan menjaga bentuk badan). Saya punya banyak waktu untuk dihabiskan bermain video games tanpa harus diomelin; bebas begadang. Paling terasa dalam hal penghematan listrik dan air (jarang memakai air conditioner, lampu hanya hidup secukupnya, sama sekali tak pernah menanak nasi, tak pernah mencuci dengan mesin cuci karena kebiasaan saat lajang dan mencuci cara tradisional lebih banyak membakar kalori). Penggunaan gas LPG juga lebih hemat karena saya hanya menggunakan kompor untuk memasak mie instan, telur, nugget ayam/ikan, atau daging kemasan untuk roti isi. Intinya saya jadi lebih bebas menentukan dan melakukan sesuatu, meskipun tak selamanya hal itu mendatangkan kebahagiaan dan kenyamanan.


Arisandy Joan Hardiputra, Epi Friezta Dewi Hasibuan, Clarissa Astrid Sofia Friezcen
Satu hal lagi yang menenangkan saya adalah sebuah keyakinan bahwa setelah berpisah dengan keluarga maka biasanya hal-hal membahagiakan akan datang. Seperti saat saya baru pindah ke Banda Aceh, maka tak lama saya pun menikahi pasangan saya. Meskipun kami harus segera berjauhan tapi kemudian kami dikaruniai seorang putri yang kecantikan dan kecerdasannya luar biasa. Kali ini kami berpisah lagi namun saya telah siap menerima dan menyambut hadiah yang tak kalah istimewa, sebut saja Baby 'D', anak kedua kami.

Baca Juga: Clarissa Astrid Sofia Friezcen, Putri Ayah.


Saat sendirian seperti ini, saya jadi merasa bersimpati kepada para pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Perbendaharaan yang harus hidup berjauhan dari keluarga mereka. Waktu dan tujuan mutasi yang tidak bisa diprediksi membuat cukup banyak pegawai harus merasakan pahitnya kehilangan momen-momen berharga bersama keluarga. Beberapa diantaranya cukup frustrasi dan justru menjadi kontraproduktif di lingkungan kerja. Sarana fasilitas rumah dinas di beberapa daerah masih berupa angan-angan dan dalam percakapan antar pegawai, kerap diselingi dengan kata "Seandainya".

Saya sendiri sejak pertama kali bekerja di Kementerian Keuangan tahun 2002 silam sudah harus berjauhan dengan keluarga (orangtua dan saudara-saudara). Sekitar sembilan bulan saya berstatus sebagai pegawai magang di Kantor Pusat Kementerian Keuangan di Jakarta Pusat, kemudian pertengahan tahun 2003 saya merasakan penempatan pertama di Kota Medan. Di kota terbesar di luar pulau Jawa, saya menghabiskan sepuluh tahun usia saya, berarti sedekade juga saya harus tinggal berjauhan dengan keluarga di Jawa Timur. Kemudian awal tahun 2013 saya merasakan mutasi ke Banda Aceh. Di saat inilah saya harus berjauhan dengan istri di Kota Medan, juga sempat merasakan tinggal berjauhan dari putri saya selama sekitar tiga bulan. Dan sepertinya kini lingkaran penderitaan itu terulang kembali. Paling tidak saya harus berjauhan kembali dengan anak-istri saya hingga akhir tahun ini. Bahkan, saya punya firasat, mereka tak akan sempat merasakan kehidupan di Banda Aceh lagi karena kemungkinan saya kembali terkena mutasi. Semoga nantinya bisa lebih dekat dengan kedua orangtua dan saudara-saudara saya juga.

Baca Juga: Berusaha Melanjutkan Hidup Pasca Mutasi ke Kota Banda Aceh, dan Cerita Sedekade Seorang Insan Ditjen perbendaharaan di Perantauan Pulau Sumatera.


Apapun penyebab atau alasannya, tinggal berjauhan dengan keluarga haruslah menjadi opsi terakhir karena semua pihak akan kehilangan momen-momen berharga. Saya berharap di masa mendatang, harusnya Ditjen Perbendaharaan juga menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan para pegawainya agar tetap bisa tinggal bersama keluarga, atau sekalian saja penempatan pegawai sesuai dengan preferensi masing-masing. Dengan begitu saya yakin kesejahteraan pegawai akan turut meningkat. Pegawai tak perlu disibukkan dengan berbagai macam biaya seperti sewa rumah atau biaya perjalanan untuk sekadar bertemu dan bercengkerama dengan keluarga. Saya mungkin masih 'beruntung' karena bisa menemui anak-istri setiap dua pekan dengan biaya yang tak terlalu 'mahal'. Tapi saya mungkin juga termasuk yang 'tidak beruntung' karena harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk bertemu kedua orang tua. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, berpisah dari keluarga haruslah menjadi opsi terakhir.

Di akhir tulisan, saya berharap semoga saya tak akan pernah merasakan lagi tinggal berjauhan dengan keluarga. Harapan yang sama juga saya tujukan untuk rekan-rekan sesama pegawai Ditjen Perbendaharaan di seluruh penjuru nusantara.


"Sebuah keluarga yang harmonis akan mendatangkan kemakmuran dalam segala hal." (Pepatah Cina) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Ada Cerita Dibalik Secangkir Kopi Lintong dan Bolu Labu di Omerta Koffie