Postingan

Keluarga Besar itu Bernama KPPN Surabaya 2

Gambar
  "Lingkungan kerja yang baik adalah lingkungan kerja yang memberikan kesempatan kepada setiap pegawainya untuk menghasilkan karya terbaik dan sekaligus mengembangkan potensinya." Sebelum memulai cerita pengalaman saya bersama Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Surabaya II, terlebih dahulu saya akan membawa Anda bernostalgia ke pertengahan Januari tahun 2018. Saat itu nama saya muncul di Surat Keputusan (SK) mutasi dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). SK tersebut mengakhiri masa tugas saya setelah sekitar lima tahun menjadi bagian dari KPPN Banda Aceh. "Selamat ya, Bang! Abang pulang kampung ke Surabaya. Pasti senanglah Abang!" ujar salah satu rekan kerja junior saya saat itu. Kepindahan tugas saya ke KPPN Surabaya II banyak mendapatkan sambutan positif karena Surabaya adalah kota kelahiran kedua orang tua sekaligus tempat keluarga besar saya berada. Selain itu saya sebelumnya telah menghabiskan 15 tahun masa pengabdian saya di pul

Matur Nuwun, Suroboyo! Sampurasun, Bandung!

Gambar
Jumat malam, 2 September 2022. Saya dan istri baru saja merebahkan diri di kasur empuk di kamar tidur kami, berharap ingin melepas sejenak penat setelah berkutat dengan tumpukan Surat Perintah Membayar (SPM) yang dari pagi hingga sore hari harus segera diproses, ditambah dengan tugas tambahan saya sebagai pengelola kehumasan dan content creator untuk media sosial tempat saya bekerja, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Surabaya II . Baru juga mengaktifkan smartphone untuk membaca ringkasan berita ekonomi dan investasi yang selalu muncul di timeline browser , ketika istri saya tiba-tiba berkata sambil setengah berteriak, "Hah, ada SK mutasi!" Tempat tugas saya di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memang menerapkan kebijakan "bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI" kepada pegawainya sering kali membuat topik sensitif semacam mutasi dan promosi menjadi hal yang unik dan selalu sukses membuat jantung 'dag-dig-dug' cemas. Tak harus cemas si

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Gambar
Manusia itu banyak kekurangannya, dan tak ada satupun yang sempurna. Tidak asing dengan kalimat itu kan?! Entah kenapa, belakangan ini kalimat itu sering muncul di benak saya. Tidak sampai mengganggu, cukup untuk dijadikan bahan renungan saja. Setiap orang memiliki kekurangannya masing-masing, meskipun terkadang karena adanya perasaan terlalu kagum/terlalu cinta/terlalu sayang/fanatik/terlalu percaya, kekurangan orang seringkali tidak nampak di mata kita atau kita sendiri yang membutakan diri akibat terlalu banyak menggunakan hati ketimbang logika. Bagaimanapun, yang namanya "Terlalu" alias berlebihan memang tak baik, bukan?! Jika sudah "Terlalu" kemudian ternyata sosok yang kita banggakan/kita cintai/kita kagumi/kita percayai tidak sesuai dengan bayangan atau impian kita, maka muncullah yang namanya penyesalan. Penyesalan itu sesuatu yang wajar sebagai manusia yang tak sempurna. Baru menjadi masalah saat penyesalan itu seringkali muncul. Terkadang sampai mengganggu

Nilai Anak Bukan Nilai di Rapornya

Gambar
Ada satu fenomena yang selalu berulang setiap kali melewati masa penerimaan rapor di sekolah—setidaknya dari pengamatan saya. Para orang tua cenderung memamerkan nilai anak-anaknya yang dianggap bagus atau memuaskan melalui berbagai kanal media sosial. Entah bagaimana dengan mereka yang anaknya dianggap memiliki nilai kurang memuaskan karena saya tak pernah melihat para orang tua ini 'memamerkannya'. Apakah tindakan pamer itu salah? Tergantung bagaimana narasi yang dibuat oleh orang tua dan konsekuensinya pada anak. Yang jelas, saya belum pernah menjumpai langsung status orang tua yang marah, memaki atau merendahkan anaknya di media sosial. Malahan hampir semuanya memuji capaian anak-anaknya. Saya sendiri sudah beberapa kali melewati momen formalitas pertemuan antara orang tua dengan guru terkait penerimaan rapor. Seperti yang saya tuliskan, saya menganggap itu hanya formalitas belaka. Saya tak pernah menemui guru yang benar-benar menyampaikan pidato atau kata-kata yang mengins

T.I.P.S. J.K., Prinsip Bekerja yang Berhasil Mengantarkan Saya Meraih Penghargaan Pegawai Berprestasi

Gambar
Sejak tahun lalu, pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) memaksa kita bekerja dari rumah ( work from home ) dan membatasi jarak fisik di antara kita. Tetapi, dalam kesulitan pun, selalu ada berkah tersembunyi ( blessing in disguise ) jika kita mau menggalinya. Justru di saat pandemi, saya lebih leluasa berkarya dengan membuat berbagai konten informasi seputar tugas dan kegiatan instansi tempat saya bekerja, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Surabaya II, sebagai unit penyalur dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang ditujukan untuk mengedukasi para pemangku kepentingan ( stakeholders ) dan masyarakat. Sebagai administrator website sekaligus content creator media sosial KPPN Surabaya II , bekerja dari rumah justru menjadi kesempatan untuk menggali lebih dalam  passion dan menuangkan ekspresi saya di bidang jurnalistik, kehumasan, dan desain grafis. Dengan bekerja (baca: berkarya) dari rumah, saya mendapatkan fleksibilitas waktu yang hampir tidak bisa

Disiplin Membangun Citra Diri dan Organisasi (Personal and Corporate Branding)

Gambar
"Teruslah berdisiplin sampai orang lain mengira bahwa kedisiplinan diri adalah sebuah pencapaian." Saya yakin banyak dari kita mengartikan disiplin sebagai suatu 'ketertiban' atau 'ketaatan'. Tidak salah memang, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'disiplin' diartikan demikian adanya. Tetapi satu hal yang sering kita lupakan bahwa disiplin juga berarti konsisten. Konsisten untuk tertib, konsisten untuk taat. Dengan kata lain, ketertiban dan ketaatan yang kita lakukan secara konsisten akan membentuk citra diri kita sebagai pribadi yang disiplin. Kedisiplinan bisa dibangun dan dilatih secara terus-menerus hingga membentuk karakter diri. Karakter apa yang ingin kita bangun? Ingatlah selalu bahwa karakter kita akan melekat sebagai citra diri ( personal brand ). Dalam tulisan kali ini, izinkan saya untuk berbagi pengalaman terkait membangun citra diri ( personal branding ) maupun citra organisasi ( corporate branding ) melalui kedisiplina

"Yank, Masakanmu Buruk!"

Gambar
Berumahtangga itu membosankan. Setiap hari yang saya lihat di rumah adalah wajah pasangan, bukannya makin muda malah makin mirip Mak Lampir. Bukannya senang, malah buat bosan. Saat menulis ini, tepat delapan tahun saya membina rumah tangga. Dalam budaya Tionghoa, angka ini—yang juga tanggal ulang tahun saya—dipercaya bisa memberikan banyak keberuntungan. Delapan tahun itu waktu yang belum lama memang, tapi setidaknya sudah melewati tahun kelima, dimana banyak orang bilang, di saat itulah fase ujian perkawinan sesungguhnya dimulai, dan kepribadian asli pasangan hidupmu terlihat jelas. Mungkin saja benar. Untungnya, saya dan istri melewati proses pacaran yang cukup lama, jadi paling tidak kami sudah mengenal karakter masing-masing. Berumahtangga itu membosankan. Setiap hari yang saya lihat di rumah adalah wajah pasangan, bukannya makin muda malah makin mirip Mak Lampir. Bukannya senang, malah buat bosan. Setiap hari juga hidup dengan kebisingan anak-anak yang berlarian dan berter