Cerita Sedekade Seorang Insan Ditjen Perbendaharaan di Perantauan Pulau Sumatera
Berbagai macam perasaan bercampur aduk ketika saya membaca Surat Keputusan (SK) Mutasi bertugas untuk pertama kalinya sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) ke Kota Medan. Saat itu saya dan rekan-rekan alumni Program Diploma Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun 2002 masih berstatus sebagai pegawai magang di Kantor Pusat Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN). Senang, kaget, dan juga ngeri melebur menjadi satu ketika saya mengetahui akan melanjutkan karir pertama kali ke ibu kota Provinsi Sumatera Utara.
Senang, karena penempatan saya ke Kota Medan masih terbilang beruntung dibandingkan rekan-rekan yang dipindahkan ke wilayah bagian timur Indonesia. Selain itu, status Kota Medan yang merupakan kota administratif terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya sedikit menenangkan hati. Kaget, karena saat itu saya diisukan akan ditempatkan di Pontianak—ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Membayangkan suasana dan karakter keras orang Medan seperti yang banyak digambarkan di media massa juga membuat saya merasa ngeri, apalagi saat itu saya belum pernah meninggalkan Pulau Jawa sebelumnya, kecuali hanya untuk berlibur beberapa hari.
Medan
Pertengahan Juni tahun 2003, saya dan keempat rekan mendaratkan kaki pertama kali di Bandara Polonia di Kota Medan. Cuaca panas menyengat menyambut kedatangan kami saat itu. Bermodalkan informasi dari masyarakat sekitar tentang lokasi Gedung Keuangan Negara (GKN) Medan yang tak jauh dari bandara, kami pun nekat berjalan kaki ke sana. Dari sinilah kesan terhadap lalu lintas Kota Medan spontan muncul bersamaan: benar-benar semrawut; kesadaran berlalu lintas para pengemudi di Kota Medan sepertinya masih rendah; banyak lampu lalu lintas, rambu, dan marka jalan yang dilanggar. Saya sendiri, baru kali itu melihat dengan mata kepala sendiri angkot yang melintasi trotoar atau menaik-turunkan penumpang di badan jalan. Belakangan saya baru menyadari tentang jargon yang telah lama berkembang di Kota Medan dan menjadi populer: Ini Medan, Bung! Sebuah pernyataan penuh ketegasan khas masyarakat Kota Medan yang memiliki makna bahwa apapun bisa terjadi di Kota Medan, dan di sini pula ada perbedaan cara pandang dengan daerah lain: sebuah keganjilan bisa dianggap wajar, dan sebaliknya, sebuah hal yang berjalan semestinya bisa menjadi keanehan tersendiri bagi warga Medan.
Setelah sekitar sejam berjalan kaki menyusuri jalan Imam Bonjol dan jalan Pangeran Diponegoro, kami pun tiba di GKN Medan. Percayalah, definisi dekat dan jauh bagi masyarakat Medan yang pluralistik sifatnya relatif. Jika bertanya jarak di Kota Medan, pastikan Anda juga menyebutkan bagaimana cara Anda menuju ke sana, apakah berjalan kaki atau menggunakan kendaraan bermotor. Dalam hal ini, sepertinya jarak antara bandara dengan GKN Medan memang dekat apabila ditempuh menggunakan kendaraan bermotor, tetapi pasti sangat melelahkan jika Anda berjalan kaki seperti kami saat itu.
Kantor Akuntansi Regional (KAR) Medan adalah tempat saya bekerja pertama kali sebagai CPNS hingga diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kantornya terbilang sederhana dengan ukuran yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan unit vertikal lain dari instansi Departemen Keuangan (kini Kementerian Keuangan) yang ada di GKN Medan. Jumlah pegawainya juga tidak terlalu banyak dengan beban kerja sedang. Namun suasana ini justru menghidupkan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara sesama pegawainya. Setiap sore, setelah menyelesaikan pekerjaan, para pegawai pria, termasuk saya dan rekan-rekan, menghabiskan waktu dengan bermain tenis meja.
Saat itu kami tinggal bersama di sebuah rumah sewa sederhana dengan tiga kamar tidur. Rekan-rekan berbagi kamar yang masing-masing ditempati oleh dua orang, sedangkan saya tidur sendiri di kamar paling belakang yang lebih tepat berfungsi sebagai gudang, dengan lantai yang terbuat dari semen. Setiap pergi dan pulang kerja, kami selalu berebut angkot dan berdesakan dengan penumpang lain. Maklum saja, lokasi GKN Medan berada di areal perkantoran di dekat pusat kota. Bahkan terkadang kami harus rela bergantungan di pintu angkot demi mengejar waktu agar tidak terlambat. Hal yang sama terjadi saat jam pulang bekerja di sore hari. Opsi lain moda transportasi adalah dengan menyewa betor (becak bermotor) khas Kota Medan. Jika Jakarta memiliki bajaj sebagai ikon transportasi massal, maka Medan terkenal dengan betor-nya. Dan seperti bajaj di ibukota, Anda akan merasakan sensasi adrenalin terpacu setiap kali betor bermanuver di kemacetan Kota Medan atau terguncang setiap kali melewati jalanan yang tak rata.
Setelah diangkat sebagai PNS, saya berinisiatif untuk melanjutkan jenjang pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Medan dengan biaya sendiri. Saat itu saya mendaftarkan diri di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Harapan. Lokasinya yang relatif dekat dengan kantor memudahkan saat berangkat kuliah, cukup dengan lima belas menit berjalan kaki sepulang bekerja. Beban kerja yang tidak terlalu tinggi membuat saya mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk belajar saat siang hari dan mengerjakan tugas-tugas kuliah di kantor. Alhamdulillah, saya berhasil menuntaskan tingkat awal perkuliahan dengan nilai akademik yang lumayan tinggi, bahkan saya meraih predikat cumlaude untuk mata kuliah Bahasa Inggris.
Perkenalan saya dengan teman-teman baru di kampus merupakan sebuah proses adaptasi terhadap kehidupan dan pergaulan di Kota Medan. Sedikit demi sedikit saya belajar mengenal istilah-istilah yang sering digunakan termasuk intonasi dan artikulasinya. Terdapat banyak sekali perbedaan istilah dengan tempat asal saya di Mojokerto, Jawa Timur. Misalnya, saat menyebut 'Pasar' di Medan, maka makna yang dipahami adalah 'Jalanan'. Orang Medan menyebut pasar dalam arti harfiah sebagai 'Pajak'. Lalu jika orang Medan mengatakan 'Galon', maka secara harfiah berarti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Contoh lain, orang Medan hanya memanggil 'Kakak' untuk saudari yang lebih tua (wanita). Panggilan untuk saudara lelaki yang lebih tua atau dihormati menggunakan 'Abang'. Ini adalah bukti ke-Bhinneka-an masyarakat Indonesia. Selain itu, pluralitas dari segi suku bangsa yang hidup rukun dan damai di Kota Medan, benar-benar bukti bahwa Medan tidak seseram yang saya bayangkan sebelumnya. Solidaritas dan toleransi telah mengakar kuat dan menjadi bagian dari kultur masyarakat Medan yang majemuk dan dikemas dengan cara-caranya yang unik.
Di tahun 2004, saya menjadi saksi sejarah saat terjadi reorganisasi di tubuh Departemen Keuangan. Tak ada lagi BAKUN, tak ada lagi KAR. Unit eselon 1 tempat saya bernaung melebur dengan beberapa instansi vertikal Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan unit eselon 1 lainnya, menjadi unit eselon 1 baru bernama Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Saya dan rekan-rekan ditempatkan di Kanwil II Ditjen Perbendaharaan Medan (kini bernama Ditjen Perbendaharan Provinsi Sumut), namun hanya beberapa bulan sebelum akhirnya saya dipindahkan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Medan II. Di sini pula saya kembali menjadi saksi saat terjadi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan di bawah pimpinan Ibu Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan saat itu.
Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, Kementerian Keuangan bertransformasi menjadi lebih transparan, modern, dan lebih bersih dari praktik-praktik kecurangan dalam pengelolaan anggaran negara. Metode baru dalam pemberian rewards and punishments juga diberlakukan. Bagi generasi muda seperti saya, hal itu tentunya menjadi angin segar dan jelas merupakan perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Hingga kini, keberhasilan reformasi birokrasi di tubuh Kementerian Keuangan menjadi tolok ukur bagi kementerian negara/lembaga lain, walaupun selepas kepemimpinan beliau tidak ada lagi terobosan yang berarti dan memberikan perubahan yang signifikan dalam peningkatan kesejahteraan pegawai.
Minggu pagi, 26 Desember 2004. Saat itu saya masih lelap dalam tidur ketika tiba-tiba merasakan seluruh badan saya digoncangkan berkali-kali. Semula saya mengira terkena vertigo, namun seketika kantuk saya hilang dan berubah menjadi panik ketika salah seorang rekan menggedor pintu kamar dan menyuruh untuk segera keluar rumah karena gempa. Itu adalah pengalaman gempa saya yang pertama.
Beberapa saat setelah gempa, kami masih sempat bercanda karena sama-sama merasakan pengalaman gempa pertama kali. Ternyata akibat dari gempa itu sangat buruk, tidak menyenangkan, dan merupakan salah satu bencana alam paling mengerikan. Kota Banda Aceh dan beberapa wilayah lain di beberapa negara luluh lantak diterjang gelombang tsunami. Ratusan ribu warga Banda Aceh tewas.
Kota Medan sendiri merupakan gerbang untuk distribusi bantuan kemanusiaan. Saat itulah saya melihat pertama kalinya jenis-jenis kendaraan taktis militer dari seluruh penjuru dunia, khususnya Amerika Serikat dan Australia, lalu lalang di jalanan dan langit Kota Medan, termasuk pesawat dan helikopter raksasa yang sebelumnya hanya bisa saya saksikan melalui layar televisi.
Beberapa bulan setelahnya, di larutnya malam, bumi Sumatera kembali digoncangkan oleh gempa besar yang kemudian dikenal sebagai Gempa Bumi Sumatera. Trauma gempa dan tsunami sebelumnya membuat warga Kota Medan berhamburan menuju ke dataran tinggi. Kepanikan ini diperparah dengan merebaknya isu yang mengatakan gelombang air pasang sudah tiba di pusat Kota Medan. Tsunami yang diisukan itu tak pernah terjadi, namun akibat dari gempa bumi dahsyat tetap saja buruk, Kota Gunungsitoli di Pulau Nias luluh lantak.
Senin, 5 September 2005, saat kesibukan masih berjalan di kantor, tiba-tiba saya dan rekan-rekan dikejutkan dengan berita menggemparkan di televisi mengenai tragedi terjatuhnya pesawat Mandala Airlines di kawasan Padang Bulan—lokasi permukiman padat penduduk di Kota Medan. Kecelakaan tersebut turut menewaskan Gubernur Sumut saat itu, Tengku Rizal Nurdin. Buntut dari peristiwa tersebut, Bandara Polonia dianggap tidak layak sebagai bandara internasional karena lokasinya yang berada di tengah kota, inilah salah satu faktor cikal-bakal lahirnya Kualanamu, bandara internasional baru sebagai pintu masuk dan keluar jalur udara Kota Medan.
Tahun 2008, saya lulus kuliah dari STIE Harapan dan berhak menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Kelulusan saya tertunda setahun karena kesibukan pekerjaan dan urusan pribadi. Di saat inilah orang tua untuk pertama kalinya datang ke Kota Medan untuk menghadiri prosesi wisuda saya. Benar-benar kebahagiaan tersendiri bisa meraih prestasi yang bisa dibanggakan oleh kedua orang tua. Apalagi skripsi saya saat itu berjudul Analisis Uraian Tugas dan Jabatan Subbagian Kepegawaian Sesuai Standard Operating Procedures (SOP) pada Kantor Wilayah II Direktorat Jenderal Perbendaharaan Medan menjadi salah satu skripsi terbaik dan dijadikan salah satu bahan referensi di perpustakaan kampus oleh para mahasiswa dan alumni, serta organisasi kemahasiswaan. Di tahun ini pula saya berhasil lulus assessment test sebagai pegawai KPPN Percontohan.
Saya berfoto bersama kedua orang tua selepas wisuda sarjana |
Tahun 2009, saya kembali menjadi saksi saat KPPN Medan I diresmikan sebagai KPPN Percontohan Tahap IV dan sebagian besar waktu saya jalani sebagai staf Front Office Seksi Pencairan Dana di sana. Sebelumnya di KPPN Medan II 'konvensional', saya juga ditempatkan di Seksi Pencairan Dana, namun seiring berjalannya waktu, banyak terjadi perubahan pula pada proses penyelesaian dan aturan yang berlaku. Proses penyelesaian Surat Perintah Membayar (SPM) menjadi Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) kini semakin mudah sehingga pencairan dana menjadi lebih cepat.
Modernisasi terus dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Pekerjaan bisa diselesaikan dengan praktis dan sistematis. Para pegawai dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi dan komputerisasi. Saya pun mendapatkan kesempatan untuk mengajar dan membimbing rekan-rekan kerja senior mengenal lebih dekat komputer dan mengoperasikan aplikasi di dalamnya. Saat itu secara rutin dan berkala, diadakan pelatihan dan kursus komputer bagi para pegawai Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan KPPN di Medan. Saya bertugas untuk mengajar materi dasar-dasar Microsoft Word dan Microsoft Excel.
Petualangan saya untuk mengeksplorasi keindahan alam dan budaya Provinsi Sumut, khususnya Kota Medan juga tak berhenti sampai di sini. Di penghujung tahun 2006, saya membeli sendiri motor idaman sejak duduk di bangku SMU dulu: Kawasaki Ninja. Setelahnya, saya memutuskan untuk mengembangkan hobi di bidang otomotif, balap motor, dan petualangan dengan membentuk sebuah klub motor bernama Ninja Owners Club (NOC) Medan yang juga merupakan ekspansi dari NOC Indonesia di Kota Medan. Saya menjabat sebagai Sekretaris NOC MEDAN, setelah sebelumnya saya juga menjabat sebagai sekretaris di klub motor yang berbeda selama dua periode. Pengalaman saya selama bekerja di Ditjen Perbendaharaan sangat membantu dalam penyusunan laporan kegiatan, proposal untuk sponsor, maupun menambah relasi.
Kesemrawutan lalu lintas di Kota Medan membuka mata saya akan rendahnya kedisiplinan warga dalam berkendara dan berlalu-lintas. Melalui NOC Medan, saya dan rekan-rekan mencoba menyadarkan kembali tentang pentingnya penerapan safety riding (aman berkendara) dan safety gear (perlengkapan aman). Penerapan safety riding diwajibkan bagi seluruh anggota NOC Medan yang dalam praktiknya berupa mentaati rambu-rambu dan peraturan lalu lintas, tidak ugal-ugalan di jalanan, dan menghargai pemakai jalan lain. Sedangkan penerapan safety gear seperti pemakaian helm, jaket, celana panjang, sepatu, dan sarung tangan saat riding bukan hanya sekedar kewajiban, namun telah menjadi kesadaran moral setiap individu. Artinya penerapan standar keamanan dan kenyamanan berkendara bukanlah sebuah beban atau sekedar menunaikan kewajiban sebagai anggota klub motor, melainkan panggilan diri dan kesadaran nurani untuk menjaga keselamatan diri dan orang lain.
Kegiatan NOC Medan juga sengaja disusun untuk memberikan edukasi dan sarana hiburan bagi para anggotanya: selain kopdar rutin, NOC Medan juga menggelar wisata kuliner di seputaran Kota Medan selepas kopdar; untuk memuaskan keinginan para anggota yang menyukai tantangan, NOC Medan juga menggelar kegiatan touring wisata. Bagi saya pribadi, touring terjauh adalah saat mengelilingi Aceh (Lhokseumawe, Takengon, Meulaboh, dan Tapaktuan) tahun 2011 selama empat hari dengan titik start dan finish di Kota Medan. Selain itu, saya juga beberapa kali touring ke kawasan wisata Danau Toba—danau terbesar di Asia Tenggara—hingga menyeberang ke Pulau Samosir. Pemandangan lokasi Danau Toba yang indah dikombinasikan dengan kesejukan udara mampu membuat beban pikiran saya seakan lenyap, berganti dengan perasaan damai, bahagia, dan tenang. Meski sudah beberapa kali mengunjungi Danau Toba, namun keindahannya sampai kapanpun akan selalu mentakjubkan saya dan tak akan pernah membosankan.
NOC Medan juga menggelar latihan balap rutin di Sirkuit Ikatan Motor Indonesia (IMI) Pancing di Kota Medan untuk penyaluran bakat dan minat anggotanya di ajang adu kecepatan atau sekedar berlatih cornering (menikung hingga membentuk sudut kemiringan tertentu sambil merebahkan badan). Kegiatan-kegiatan di NOC Medan disusun sebagai tindakan preventif terhadap geng motor dan aksi balap liar yang saat itu marak terjadi di Kota Medan.
Pengalaman saya saat touring ke kawasan wisata Danau Toba dan perkampungan Batak |
Selama tinggal di Kota Medan, kegemaran saya terhadap olah raga, khususnya sepak bola juga terpenuhi. Setiap Sabtu pagi, saya dan rekan-rekan berlatih sepakbola atau futsal. Selain itu, sebagai arek Jawa Timur yang dibesarkan oleh kedua orang tua yang berasal dari Surabaya, darah Bonek (analogi dari Bahasa Jawa: Bondo Nekat yang berarti Modal Nekat; sebutan untuk kelompok pendukung fanatik Persebaya) juga mengalir dalam diri saya. Medan dan Surabaya memiliki banyak kemiripan. Dari segi masyarakat, sama-sama berkarakter keras dan ngeyel. Cuaca juga tak jauh berbeda: panas menyengat. Tim sepak bola kebanggaan kedua kota juga sama-sama berwarna hijau. Perbedaan paling mencolok antara Surabaya dan Medan mungkin adalah dari segi infrastruktur kota dan bahasa sehari-hari yang digunakan. Kemiripan kedua kota ini membuat saya merasa nyaman dan aman mem-Bonek di Kota Medan.
Setiap kali tim kebanggaan saya—Persebaya—bertanding ke Kota Medan melawan PSMS di Stadion Teladan, saya selalu ikut mendukung bersama rekan-rekan Bonek dari dalam maupun dari luar Kota Medan. Saya juga ikut mendukung langsung Persebaya 1927 ketika bertanding ke Stadion Baharoeddin Siregar di Kota Lubuk Pakam. Kedekatan hubungan antara Bonek dan SMeCK Hooligan maupun Kampak FC (keduanya merupakan kelompok pendukung PSMS Medan) secara tidak langsung juga membuat saya merasa diterima di Kota Medan. Pasangan saya sendiri menjadi penggemar berat M.Taufiq—gelandang Persebaya dan timnas Indonesia.
Mendukung langsung Persebaya di Stadion Teladan juga membuka hubungan persahabatan baru antara saya dengan rekan-rekan Bonek yang ada di Kota Medan. Saat itu belum ada perkumpulan khusus bagi Bonek yang ada di Kota Medan, sehingga keberadaan dan eksistensi mereka sulit didata. Akhirnya di tahun 2011, setelah pertandingan Bintang Medan melawan Persebaya 1927 di Stadion Teladan, saya menerima ajakan seorang sahabat yang juga Koordinator Bonek di Kota Medan untuk mendirikan sebuah kelompok pendukung Persebaya, sebagai wadah untuk berkumpul dan berbaginya para Bonek yang ada di Kota Medan, hingga terbentuklah kelompok independen Bonek Medan. Saat itu saya menjabat sebagai Sekretaris Bonek Medan yang bertugas membantu Koordinator Bonek Medan untuk mendata keberadaan Bonek yang tersebar di berbagai penjuru Kota Medan dan sekitarnya, melalui media massa atau media sosial. Keberadaan Bonek Medan juga membuka pintu koordinasi bagi Bonek dari luar Kota Medan yang hendak mendukung Persebaya saat bertanding di Kota Medan atau melintasi Kota Medan, seperti ke Aceh, sehingga tidak perlu khawatir terlantar atau tersesat. Nilai lebihnya, saya dan istri seringkali diajak untuk sekadar nongkrong atau makan bersama para pemain Persebaya, khususnya Taufiq.
Tak terasa, hampir sepuluh tahun sudah saya tinggal di Kota Medan. Begitu banyak kisah yang terjadi dan kenangan yang terukir. Saya turut menyaksikan bagaimana Kota Medan secara kontinu terus mengembangkan infrastruktur dan mengokohkan namanya sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, lengkap dengan berbagai polemik dan kontroversi yang menyertainya. Ikon wisata seperti Masjid Raya Al-Mashun dan Istana Maimoon tetap berdiri megah dan kokoh meski eksistensinya perlahan tergerus oleh pergeseran budaya dan pesatnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan yang dikemas dengan arsitektur megah dan futuristik, atau menjamurnya kafe dan tempat tongkrongan generasi muda.
Masjid Raya Al-Mashun Kota Medan, salah satu ikon wisata di Kota Medan yang masih berdiri megah dan kokoh hingga kini |
Banda Aceh
Hingga di penghujung tahun 2012, nama saya tertera di SK mutasi yang mengharuskan saya pindah ke KPPN Banda Aceh. Rasa sedih, marah, dan kecewa saya rasakan juga saat itu. Sedih karena petualangan dan kisah romansa saya bersama Kota Medan berakhir sudah, padahal tempat ini sudah mendapat bagian sendiri di hati dan sudah saya anggap sebagai kampung halaman kedua. Marah dan kecewa karena setelah sekian lama berpetualang di luar Pulau Jawa, bukannya kembali, penempatan saya malah makin jauh di ujung Pulau Sumatera, padahal saat itu rekan-rekan seangkatan di luar Pulau Jawa sudah banyak pulang ke kampung halaman masing-masing.Satu hal yang membuat saya kecewa lagi adalah ketika uang pindah tidak mencukupi untuk biaya memulai hidup di Kota Banda Aceh, padahal di Banda Aceh memiliki kendaraan pribadi adalah sebuah keharusan karena jumlah sarana transportasi umum yang terbatas dan biaya hidup yang bahkan lebih tinggi dari Kota Medan, apalagi saat itu saya harus mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan. Alhamdulillah, niat baik pasti dimudahkan jalan kita oleh Allah SWT. Saya akhirnya menikahi pasangan saya, Epi Friezta Dewi Hasibuan, pada tanggal 24 Maret 2013 lalu. Walaupun kami belum bisa tinggal bersama karena istri harus bekerja di Kota Medan, selain itu saya juga belum mendapatkan tempat tinggal yang layak karena harga rumah sewa yang relatif lebih mahal di Kota Banda Aceh. Seharusnya Ditjen Perbendaharaan memiliki pola yang lebih jelas dalam mutasi para pegawainya, juga pemberian rewards khusus bagi pegawai yang berprestasi, dan rumah dinas bagi semua pegawai yang dipindahtugaskan, bukan hanya untuk pejabat. Saya bertemu istri di Kota Medan setiap dua minggu saat akhir pekan. Rute Banda Aceh—Medan dan sebaliknya biasa saya lalui dengan jalur darat, menggunakan bus malam dengan waktu tempuh sekitar sepuluh jam.
Bersih, infrastruktur kota yang bagus, dan arus lalu lintas yang lancar adalah kesan pertama saya ketika berada di Kota Banda Aceh. Kondisi ini sama sekali berbeda dengan Kota Medan. Selain Masjid Baiturrahman sebagai ikon wisata, Kota Banda Aceh juga memiliki objek wisata lain seperti Museum Tsunami, Pantai Lampuuk, dan Pantai Lhoknga yang terkenal dengan pasir putihnya. Selama bertugas di KPPN Banda Aceh, saya juga mendapatkan giliran bertugas selama lima hari kerja di Unit Layanan Filial KPPN Banda Aceh di Kota Sabang. Momen ini saya manfaatkan untuk mengajak istri saya bertugas sekaligus berlibur di Banda Aceh dan Sabang.
Setiap pekan, ada satu atau dua orang pegawai yang bertugas selama lima hari kerja di KPPN Filial. Petugas yang ditunjuk dengan Surat Tugas Kepala KPPN Banda Aceh berangkat pada hari Senin pagi menggunakan kapal motor cepat dengan waktu tempuh sekitar 45 menit atau sekitar dua jam dengan kapal feri. Layanan Filial di Sabang memberikan kemudahan bagi para stakeholders dalam proses pencairan dana berupa pelayanan penerimaan SPM dan Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP), penyerahan SP2D; maupun layanan front office lainnya seperti konfirmasi surat setoran penerimaan, pelaksanaan rekonsiliasi laporan keuangan; termasuk layanan customer service, antara lain konsultasi perbendaharaan, layanan pemutakhiran aplikasi, dan sebagainya.
Sabang terkenal akan keindahan panorama bawah lautnya. Saya dan istri pun tak ingin kehilangan kesempatan untuk snorkeling di kawasan wisata Iboih. Saat kebersamaan dengan istri merupakan momen yang sangat berharga karena kami dipisahkan oleh jarak. Walaupun begitu, saya bersyukur Allah telah menganugerahkan seorang bidadari surga yang sabar, taat, dan memberikan banyak pelajaran tentang arti kehidupan; seorang istri yang dahulu hanyalah wanita tetangga saya saat tinggal bersama kawan-kawan di sebuah rumah sewa di Kota Medan, dan kini kami tengah menanti kehadiran buah hati kami yang pertama.
Saya dan istri saat snorkeling menikmati keindahan panorama bawah laut di kawasan wisata Iboih di Sabang |
Ditulis oleh:
Arisandy Joan Hardiputra, S.E.
Pelaksana pada KPPN Banda Aceh
Catatan: Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Unjuk Kisah Nusantara (Lukisan) Tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian keuangan Republik Indonesia.
baru tau, ternyata cecen tulisannya bagus banget.. multi talenta ternyata hehe
BalasHapusLho, saya juga baru tahu lho kalo Mas Marlin ternyata juga seorang blogger. Tulisan Mas juga seru kok, saya suka blog tentang travel/wisata.
Hapus