Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Long weekend bulan Mei 2016 lalu, saya dan keluarga menghabiskan waktu berlibur di Kota Bandung. Selama 4 hari 3 malam kami berwisata keliling Parijs van Java, mencicipi berbagai kuliner yang memanjakan lidah, serta tak ketinggalan menyambangi butik-butik yang berjajar di seputaran Dago.

Namun demikian, itinerary (rencana perjalanan) sudah saya susun sejak awal tahun lalu. Tiket pesawat, termasuk hotel, dan tempat-tempat mana saja yang akan kami kunjungi, sudah saya tentukan sejak jauh hari, meskipun fleksibel (bisa diubah kapan saja). Tak ada destinasi wisata alam karena pertimbangan putri saya masih terlalu kecil. Untuk tiket pesawat ke Bandung, kami menggunakan maskapai berlambang 'kepala singa', sedangkan untuk penginapan, kami memilih Hotel Gino Feruci Braga, sebuah hotel berbintang empat yang berdiri tepat di Jalan Braga yang tersohor itu.


4 Mei 2016


Hari Rabu (4/5) pagi, kami berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, dengan penerbangan singgah (transit) melalui Bandara Kualanamu, Medan. Selama sekitar 2,5 jam transit, kami manfaatkan untuk makan siang di areal resto seputaran terminal bandara. Kami memilih resto Ayam Kremesan yang terletak di sekitar terminal keberangkatan (lantai 2). Saya memilih menu Ifumie Siram, sedangkan istri memilih Nasi Campur. Penerbangan lanjutan kami mengalami penundaan (delay) selama sekitar satu jam—kebiasaan buruk maskapai 'kepala singa' ini memang sulit dihilangkan sejak lama.

Pesawat kami mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, sekitar pukul 16.30 WIB dengan kondisi cuaca mendung disertai gerimis. Sayangnya, renovasi terminal bandara yang digagas oleh Walikota Bandung, Ridwan Kamil, tidak diikuti dengan perbaikan di sektor ruang baggage claim kedatangan. Hanya ada satu roller conveyor—tempat mekanis pengambilan bagasi—yang melayani seluruh penerbangan kedatangan. Alhasil, kami menunggu cukup lama hanya untuk antrean pengambilan bagasi karena sebelum pesawat yang kami tumpangi, ada pesawat dari maskapai lain yang mendarat lebih awal.

Setelah mengambil semua barang dari bagasi dan bertemu dengan petugas hotel yang bertugas menjemput di bandara, kami pun langsung menuju hotel. Oh ya, tempat parkir kendaraan di bandara juga menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas setempat, karena sangat berantakan, sempit, dan membingungkan.

Setibanya di hotel, saya langsung menemui petugas resepsionis di lobi. Setelah melakukan konfirmasi pemesanan, saya mencoba meminta best deal (penawaran terbaik) untuk upgrade kamar. Tadinya saya terdaftar sebagai tamu untuk tipe kamar Superior, kini saya bisa mendapatkan kamar kelas Deluxe hanya dengan menambah Rp100.000,- per malam. Artinya, untuk tiga malam yang saya habiskan, saya hanya menambah Rp300.000,00.

Kamar kami berada di lantai 8, tepat menghadap ke Hotel Aston Braga, Braga Citywalk, Jalan Asia Afrika. Jika menatap ke bagian bawah, nampak deretan bangku yang berada di pool area (kolam renang). Sayangnya di kamar tidak terdapat lemari es/kulkas. Untuk ulasan tentang Hotel Gino Feruci Braga, saya akan menuliskannya pada bagian tersendiri dari rangkaian tulisan ini. Kami sempatkan untuk beristirahat sejenak sebelum memulai petualangan city tour kami di Kota Bandung.

Epi Friezta Dewi Hasibuan & Clarissa - Deluxe Room Gino Feruci Braga Hotel
Istri dan putri saya bersantai di Deluxe Room, Hotel Gino Feruci Braga, Kota Bandung


Malam menjelang, mentari juga sudah tak nampak lagi. Saatnya bagi kami untuk menikmati suasana romantisnya Kota Bandung. Dimulai di Jalan Braga, tak sedikit anak muda yang hilir-mudik di sepanjang jalan yang terkenal dengan gedung-gedung klasik era kolonial berarsitektur Eropa, klub-klub malam yang tanpa malu-malu menawarkan minuman beralkohol, serta seniman jalanan yang kreativitasnya tak ada matinya. Tak sedikit pula kami jumpai gerai makanan maupun resto di sepanjang jalan, mulai dari menu kuliner lokal, nasional, hingga internasional seperti Eropa dan Jepang.

Langkah kami belokkan menuju pusat perbelanjaan dan hiburan Braga Citywalk. The Kiosk Lost Market menjadi tempat pilihan kami untuk menikmati makan malam. Teriyaki Katsu yang dihidangkan dengan kentang goreng menjadi menu pilihan saya, sedangkan istri memilih Nasi Ayam Kremes. Nah, si kecil Clarissa cukup puas dengan kentang gorengnya. Untuk menyegarkan tenggorokan, pilihan saya jatuh pada Delfi Ice Chocolate, sedangkan istri memilih segelas Es Milo. Sahabat lama saya semenjak zaman kuliah di STAN dahulu, Slamet Joko Budiyono, dan keluarga, tiba kemudian. Perjalanan kami lanjutkan malam itu dengan berkeliling Bandung sambil menumpang mobil si Budi. Lumayan bisa menghemat ongkos taksi yang tadinya sudah kami perhitungkan untuk mengunjungi berbagai tempat.

Beberapa tempat kami jadikan persinggahan malam itu hanya sekadar untuk memanjakan lidah dengan menu andalannya, seperti misalnya kehangatan Kembang Tahu di seputaran Jalan Gardujati. Ini makanan kesukaan saya sejak kecil, berupa sari bubur kedelai yang disajikan dengan kuah jahe. Sangat cocok untuk menemani hawa sejuknya Kota Bandung. Selanjutnya, kami singgah di Martabak Nikmat di Jalan Andir. Kota Bandung memang terkenal sebagai kota-nya martabak enak nan kreatif. Tempat-tempat martabak enak di sana sudah masuk dalam daftar itinerary saya untuk disinggahi setiap malam.

Martabak Ovomaltine Keju, dan Martabak Nutella, menjadi pilihan kami malam itu. Rasanya, alamak sedapnya! Perpaduan coklat Ovomaltine dan keju menghasilkan kombinasi manis-gurih yang pas, ditambah dengan lembutnya adonan martabak yang dioles menggunakan butter, alih-alih menggunakan mentega. Namun harga yang dipatok juga lumayan mahal. Untuk sebuah Martabak Ovomaltine Keju, saya harus merogoh kocek hingga Rp160.000,00. Di tempat ini, pelanggan tidak bisa langsung memesan martabak pada si juru masak (koki). Semua pemesanan harus melalui loket khusus yang dijaga oleh petugas, nah petugas ini akan mencatat pesanan Anda dan memberikan nomor. Untuk rasa senikmat itu, saya pikir antrian dan harga terasa sepadan.

Martabak manis menjadi agenda terakhir kami malam itu sebelum kembali ke hotel dan beristirahat dengan pulas. Kombinasi rasa lelah, suasana kamar yang sejuk dan cozy, serta ranjang merek King Koil berukuran king sukses membuat kami bertiga tertidur lelap.

Arisandy Joan Hardiputra & Clarissa - The Kiosk Lost Market Braga Citywalk
Saya dan Clarissa saat makan malam di The Kiosk Lost Market, Braga Citywalk, Kota Bandung



5 Mei 2016


Matahari sudah menembus tirai jendela saat kami terbangun. Sekitar pukul 10.00 WIB, kami berjalan kaki meninggalkan hotel untuk mencari tempat sarapan pagi. Sengaja saya melakukan pemesanan kamar hotel tanpa fasilitas breakfast (sarapan) supaya kami bisa menjelajahi jalanan Braga sambil berburu kuliner. Sayangnya, di pagi hari, kebanyakan toko di Braga tutup. Memang ada beberapa resto yang telah buka, namun sayangnya tidak sesuai dengan selera kami.

Setelah sempat mondar-mandir, kami pun memilih menginjakkan kaki di Bandros Bistro. Dengan motto "Steak-na Urang Bandung", menu yang disajikan memang didominasi berbagai jenis steik. Tak banyak pengunjung di sana. Selain kami, hanya ada dua meja lain yang terisi diantara belasan meja yang tersedia. Konsep resto ini sepertinya terinspirasi oleh Bandros (Bandung Tour on the Bus)—bus berlantai dua dengan atap terbuka yang mengelilingi Kota Bandung sebagai bagian dari wisata—karena di setiap sisi dinding terdapat mural Bandros serta sejarahnya. Selain itu, bentuk restoran dilihat dari depan juga menyerupai Bandros, lengkap dengan roda dan pintunya. Untuk menu, pagi itu saya memilih Nasi Ayam yang dihidangkan dengan salad, dan Ice Coffee, sedangkan istri lebih memilih Nasi Daging ditemani teh manis hangat. Kami juga memesan seporsi Roti Bakar Coklat untuk si kecil Clarissa. Tak lama, Si Budi dan keluarga pun menjemput kami untuk bersama-sama menuju Trans Studio Bandung (TSB).

Epi Friezta Dewi Hasibuan & Clarissa - Jalan Braga Bandung
Suasana Jalan Braga di pagi hari yang sunyi, berbanding terbalik dengan saat malam



Epi Friezta Dewi Hasibuan & Clarissa - Bandros Bistro
Menikmati sarapan di Bandros Bistro, Jalan Braga, Kota Bandung


Harga tiket masuk TSB dipatok Rp.270.000,- per orang, termasuk balita yang juga bayar penuh. Jika Anda bisa menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) Yamaha, maka Anda berhak memperoleh potongan harga tiket sebesar 20 persen. Mungkin saja produsen motor asal Jepang ini menjadi salah satu sponsor utama karena di TSB terdapat wahana roller coaster khusus bernama Yamaha Racing Coaster (YRC). YRC merupakan salah satu wahana pemacu adrenalin karena bisa melaju hingga kecepatan 120 km/jam, dan bukan hanya maju, saat mencapai sudut kemiringan 90 derajat, wahana ini akan berjalan mundur dengan kecepatan yang sama. Teriakan para penumpang pun turut menyambut kedatangan pengunjung di TSB karena jalur YRC berada di luar ruangan, jadi jika cuaca gerimis maka YRC akan dihentikan sementara. Sekadar catatan, tiket ini merupakan tiket terusan, artinya pengunjung bisa bebas memasuki atau menaiki wahana apa saja di dalam TSB tanpa perlu membayar ulang.

Keluarga Arisandy Joan Hardiputra - Trans Studio Bandung
TSB merupakan wahana indoor (tertutup; dalam ruangan) terbesar di dunia. Meskipun demikian, jumlah penerangan yang memadai tidak menyulitkan mata kita untuk melihat sekeliling. Berbagai macam wahana dan atraksi yang bisa dinikmati selain YRC, diantaranya wahana Vertigo, dan Giant Swing. Atau jika tak ingin terlalu memacu adrenalin, Anda bisa memasuki wahana Marvel Superheroes 4D, Transcar Racing, Trans Broadcast Museum, belajar oseanologi di Dunia Air, atau mengajak anak-anak bermain di Kiddy's Land. Tak perlu khawatir juga perut lapar karena di dalam areal TSB tersedia beberapa tempat makan dan/atau kafe. Pun demikian jika ingin membawa pulang oleh-oleh atau souvenir, tersedia Trans Studio Store yang menjual berbagai merchandise resmi TSB.

Istri sempat mencoba wahana Vertigo, namun menurutnya wahana T-Rex yang ada di Funland Mikie Holiday, Berastagi, lebih menakutkan. Di wahana Vertigo, badan kita akan terus-menerus diputar mengikuti kincir wahana yang terus berputar. Alih-alih berputar mainstream, polanya sangat sulit diikuti, terkadang kepala kita berada di bawah kaki, terkadang pula posisi tubuh kita miring. Itu karena bukan hanya kincir, tetapi bangku yang kita duduki juga ikut berputar hingga 360 derajat ke segala arah. Jika YRC sukses memekakkan telinga pengunjung di luar kompleks TSB, maka areal dalam dipenuhi teriakan para penumpang Vertigo.

Keluarga Arisandy Joan Hardiputra - Trans Studio Bandung
Sebenarnya saya dan istri belum puas menjelajah TSB, hanya saja si kecil Clarissa dan Rayyan (anak Budi) mulai rewel, sepertinya sudah kelelahan dan mengantuk. Akhirnya dengan berat hati, kami meninggalkan TSB untuk menjajal kuliner khas Bandung lagi. Kali ini pilihan kami jatuh pada Batagor Riri yang berlokasi di Jalan Burangrang. Setelah dipesan, tak berapa lama, sekitar lima mangkuk paket Baso Tahu Goreng (batagor) tersaji di meja. Sepertinya kami memesan paket terlalu banyak, dan memang banyak yang tersisa. Ukuran batagor di tempat ini lumayan gede, saya hanya makan tiga potong dan perut langsung terasa penuh. Untuk minuman, saya memilih Es Susu Soda, sedangkan istri ditemani Jus Jambu Biji. Sisa batagor pun kami bawa pulang ke hotel.

Setibanya di hotel, saya memberikan kesempatan untuk anak-anak dan para istri beristirahat, sedangkan saya dan Budi segera berjalan kaki menuju ke Braga Citywalk untuk menonton film Captain America: Civil War. Agak malu juga saat si Budi menertawakan dan mengolok-olok saya yang belum menonton film itu, tapi memang di tempat saya bekerja saat ini—Banda Aceh, bioskop tidak ada dan tidak diperbolehkan, dengan alasan bisa dijadikan tempat anak-anak muda melakukan khalwat (mesum).

Saya masih bingung hubungan bioskop dan tempat mesum. Setahu saya, bioskop adalah tempat untuk menonton film. Saya tidak pernah tahu ada pasangan yang berhubungan seks atau remaja putri yang dihamili di bioskop. Menurut saya alasan khalwat tidak relevan dengan pelarangan studio bioskop. Kembali ke topik, kami berdua harus kembali ke hotel dengan lesu karena seluruh studio telah terisi penuh kecuali untuk sesi tengah malam. Tentu saja kami tidak bisa karena tak mungkin meninggalkan anak dan istri sendirian.

Setelah beristirahat sejenak di hotel, kami berkendara di tengah dinginnya udara malam Kota Bandung untuk makan di Infinito Culinary yang berlokasi di Jalan Taman Cibunut Utara. Menurut saya, tempat ini lebih pas disebut kafe karena tempatnya tidak terlalu luas. Untuk menu keroyokan, kami memesan Pizza Durian, dan Pizza Durian Oreo yang merupakan menu legendaris di tempat ini. Sedangkan untuk minuman, saya memesan Hot Chocolate (kebetulan badan saya meriang), dan istri memesan Ice Taro Latte (ubi ungu/talas yang diblender, kemudian diberi campuran kopi dan susu). Saya sempat memesan menu Wedang Tahu (Kembang Tahu) namun sayang tidak tersedia. Si kecil Clarissa nampaknya cukup asyik menikmati Ice Cream Cappuccino Blizz dengan tambahan topping permen coklat. Lagi-lagi Pizza Durian Oreo harus dibungkus karena perut kami sudah tidak mampu menampung, ditambah kehadiran 'sosok tak kasat mata' yang tak diharapkan ikut nongkrong.

Oh ya, Rayyan adalah anak yang memiliki kemampuan indera keenam (indigo). Sesi makan malam segera kami akhiri setelah si kecil Rayyan tak berhenti menangis sambil menunjuk-nunjuk ke arah sebuah halaman gereja yang gelap. Rupanya pengaruh si makhluk tak kasat mata ini lumayan kuat juga karena tiba-tiba mobil Budi mogok meski hanya sebentar. Setelah beberapa saat berkendara keliling Bandung sambil menenangkan Rayyan, kami akhiri malam itu dengan menyantap baso tahu di Baso Tahu Tulen yang berlokasi di Jalan Lengkong.

Tak seperti biasanya, kali ini saya hanya sanggup menampung tiga potong baso tahu jenis somay, karena memang perut saya sudah terlalu penuh. Sepotong somay dibanderol Rp.8.000,- Setelah mengantar pulang ke hotel, malam itu, si Budi dan keluarga kembali ke rumah, sedangkan saya harus mengakhiri hari sambil meringkuk di ranjang hotel karena demam dan menggigil.

Infinito Culinary Bandung
Makan malam di Infinito Culinary



6 Mei 2016


Bangun tidur pagi ini, untungnya badan saya bisa berkompromi, tak ada lagi demam dan menggigil. Sementara menunggu istri bersiap-siap, saya mengajak si kecil Clarissa mengunjungi areal kolam renang hotel di lantai 5. Di luar dugaan, kolam renang ramai meski tidak sampai penuh, kebanyakan para orang tua yang mengajak anak-anaknya berenang, sebagian lagi memilih berjemur. Maklum, kolam renang di hotel ini berkonsep outdoor (berada di ruangan terbuka). Sambil berenang, para pengunjung bisa menikmati indahnya langit dan deretan gedung pencakar langit di Kota Bandung. Berbanding terbalik dengan ruang kebugaran (gym/fitness) yang kosong.

Agenda kami hari ini di Bandung adalah belanja. Sebenarnya ada tiga daftar tempat belanja yang saya buat di itinerary. Pertama, Jalan Dago (Ir. H. Juanda) yang terkenal dengan deretan butiknya, kedua, Jalan Riau (R.E. Martadinata), dan ketiga adalah Rumah Mode di Jalan Setiabudi. Namun mengingat pengalaman dengan anak-anak kecil, maka sebaiknya tetap fleksibel.

Perhentian pertama kami di Kartika Sari, sebuah pusat oleh-oleh khas Kota Bandung, yang berlokasi di Jalan Dago. Tempat dua lantai ini berkonsep one stop shopping & entertainment. Artinya, selain menjajakan oleh-oleh, juga tersedia resto, toko mainan, tempat bermain anak-anak, termasuk tempat belanja pakaian di lantai dua. Mengingat kami meninggalkan hotel dengan perut kosong, jadi makan terlebih dahulu merupakan pilihan yang bijak. Saya memesan (lagi-lagi) Baso Tahu ditemani segelas Ice Chocolate, sedangkan istri memesan Nasi Ayam Betutu dan Teh Manis Hangat. Selesai makan, istri berburu jajanan untuk oleh-oleh, sedangkan saya menemani putri saya bermain di tempat permainan anak.

Sepeninggal dari Kartika Sari, kami berburu pakaian, masih di butik yang berjejer di sepanjang Jalan Dago. Namun, untungnya, saya sudah memiliki referensi butik mana saja yang wajib dikunjungi dan recommended untuk berbelanja. Kami hanya singgah di tiga butik ternama: Episode Fashion House, Jetset Factory Outlet, dan Blossom Family Outlet, yang letaknya saling berdekatan dan berseberangan. Sayangnya, saya tidak menemukan koleksi yang cocok. Hanya di tempat terakhir saya membeli sebuah t-shirt, itupun hanya satu buah. Satu hal yang membuat saya sempat kaget, harga di butik-butik ini tidak semurah seperti dulu. Selain itu, dari semua kendaraan yang terparkir di areal parkir butik, hanya mobil si Budi yang merupakan mobil pelat nomor lokal. Lainnya, kebanyakan dari ibu kota dan 'Kota Hujan'.

Sekitar pukul 14.00 WIB, kami memutuskan kembali ke hotel karena sepertinya anak-anak mulai rewel pertanda kantuk dan lelah mulai menyerang. Di hotel, kami semua beristirahat sebelum mengajak anak-anak berenang sore hari di swimming pool hotel. Rencana saya, para ayah akan mengajak anak berenang, sedangkan para istri bisa menikmati layanan spa hotel, tapi ternyata ladies malah lanjut berbelanja di seputaran Braga. Saat berenang, sempat kecewa karena air kolamnya keruh, tak seperti yang nampak di website hotel. Namun, kekecewaan lunas terbayar setelah melihat anak-anak kegirangan saat bermain di kolam renang. Kami berenang ditemani hangatnya mentari sore, meski tidak bisa mengalahkan dinginnya udara Bandung sore itu. Puas menikmati sunset, kami pun kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan bersiap untuk petualangan malam terakhir di Bandung.

Arisandy Joan Hardiputra & Clarissa - Kolam Renang Hotel Gino Feruci Braga


Lagi, Baso Tahu Tulen menjadi tempat makan malam pilihan saya. Kali ini saya mulai dengan perut kosong, sehingga sanggup menampung 10 potong somay. Meski lokasinya di pinggiran jalan dan hanya menggunakan gerobak, namun rasanya serasa baso tahu bintang lima, serius! Setelahnya kami mampir membeli martabak di Martabak San Fransisco yang berada di Jalan Burangrang (seberang Batagor Riri). Kembali, metode nomor antrian diterapkan disini, dan antrian lebih lama ketimbang beberapa waktu lalu di Martabak Nikmat. Kali ini saya memesan Martabak Toblerone Keju berukuran besar. Harganya tak semahal sebelumnya, 'hanya' Rp122.000,00. Tak lupa saya juga membungkus dua porsi Kembang Tahu untuk santapan di hotel.

Malam itu, kami berniat mengunjungi Rumah Mode Factory Outlet di Jalan Setiabudi, namun ternyata kami harus melalui kemacetan yang luar biasa parah. Selama sekitar 1,5 jam kami terjebak di kemacetan yang sebagian besar kendaraan dengan pelat nomor daerah Jakarta. Sialnya lagi, saat kami tiba, Rumah Mode sudah tutup (atau mungkin libur saat itu, entahlah). Selama sekitar 2,5 jam kami menyia-nyiakan waktu malam terakhir kami di Bandung. Jujur saja, kami semua kelelahan saat berkendara. Maka kembali ke hotel sepertinya keputusan paling bijak, demi anak-anak.

Di hotel, kami mencicipi martabak yang telah dibeli sebelumnya. Rasanya masih kalah istimewa dibandingkan martabak yang kami beli pertama kali. Ya, adonan martabaknya juga masih kalah lembut dengan Martabak Nikmat. Setidaknya, kami tahu bahwa juaranya masih Martabak Nikmat yang ada di Jalan Andir. Pepatah 'Ada Harga, Ada Rasa' sepertinya memang tepat. Pun demikian dengan Kembang Tahunya, kuah jahenya kurang hangat/pedas di tenggorokan. Menurut saya, Kembang Tahu di Jalan Gardujati masih lebih baik. Setelah anak-anak tertidur (termasuk saya), istri pun berkemas untuk perjalanan pulang.


7 Mei 2016


Hari terakhir di Bandung. Sebenarnya ini masih Sabtu, kami bisa saja pulang Minggu. Sebenarnya ada rasa menyesal juga melewatkan malam minggu di Bandung. Namun saya punya prinsip: setiap kali melakukan perjalanan jauh, sisakan satu hari terakhir untuk beristirahat penuh di rumah. Pagi hari pukul 08.00 WIB kami menuju Bandara Husein Sastranegara. Selepas menyelesaikan proses check in, kami menyempatkan diri sarapan di areal kafetaria bandara di lantai 2. Saya tidak selera makan, hanya memesan segelas es Milo karena merasa sedikit pusing.

Slamet Joko Budiyono & Arisandy Joan Hardiputra - Kafetaria Bandara Husein Sastranegara
Budi dan saya di area kafetaria Bandara Husein Sastranegara



Disini, saya sekeluarga harus berpisah dengan keluarga si Budi. Sedih juga rasanya, apalagi putri saya, Clarissa, sudah merasa akrab dengan putra sahabat saya. Semoga di lain waktu, masih ada kesempatan untuk bertemu kembali. Bahkan saya tak keberatan jika harus dimutasikan atau dipromosikan ke Bandung.

Keluarga Arisandy Joan Hardiputra & Slamet Joko Budiyono


Terminal keberangkatan di bandara sudah mengalami renovasi dan perbaikan dari terakhir kali saya kesana beberapa tahun lalu. Sekarang lebih bersih dan luas, ditambah aneka gerai makanan dan minuman, serta lukisan abstrak menghiasi setiap sisi dan sudut dinding, menampakkan jiwa dan selera artistik tinggi masyarakat Bandung.

Epi Friezta Dewi Hasibuan & Clarissa - Bandara Husein Sastranegara
Istri dan putri saya dengan latar belakang salah satu lukisan abstrak karya John Martono yang ditampilkan di ruang tunggu keberangkatan domestik Bandara Husein Sastranegara, Bandung


Pesawat yang akan kami tumpangi mengalami delay hingga sejam, dan saya masih saja harus menderita akibat sakit kepala hebat. Saya sempatkan tidur sebentar di areal musholla bandara, namun itu tidak banyak membantu. Akhirnya, sepanjang perjalanan pulang dan bahkan beberapa hari sesudahnya, saya menderita sakit kepala berkepanjangan. Sepertinya saya terkena post-holiday blues, tak rela liburan yang menyenangkan berakhir. Ditambah tingkah awak kabin yang menyebalkan, berkali-kali menanyakan usia putri saya, padahal sudah empat kali saya menjawabnya. Awak kabin maskapai 'kepala singa' kali ini juga kurang ramah. Saat meminta penumpang menegakkan sandaran kursi karena akan mendarat, bukannya meminta dengan ramah dan senyum, ia malah seperti memerintah penumpang bersangkutan. Ia seperti memberikan instruksi, tanpa tersenyum, dan sambil berlalu. Kekesalan saya tak berhenti sampai di situ, karena sesaat sebelum mendarat, ternyata ada penumpang yang duduk di kursi dekat lorong pesawat yang sedari awal memang memasang earphone, ternyata saya baru tahu, dia mengakses Youtube. Ketololan macam ini masih juga terjadi. Saya tak habis pikir kenapa masih ada saja orang-orang bodoh nan idiot di negara ini.

Saat transit di Bandara Kualanamu, Medan, kami menyempatkan makan siang di Bakso Solo yang berada di terminal kedatangan (lantai 1). Saya memesan seporsi bakso dengan teh manis hangat, dan tak lupa minum obat sakit kepala.

Untungnya, untuk penerbangan lanjutan dari Medan menuju Banda Aceh, kami menumpang maskapai Garuda Indonesia. Memang jauh beda kenyamanan yang ditawarkan. Pesawat yang bersih, nyaman, menyediakan menu, dan awak kabin yang mengumbar senyum, serta penumpang yang lebih 'berkelas'. Ditambah, ada bonus hadiah untuk si kecil Clarissa.

Sesampai di rumah, kami bertiga kompak tertidur selama 12 jam. Kami tidur sekitar pukul 19.00 WIB, dan saya bangun keesokan hari pukul 07.00 WIB. Liburan kali ini sangat berkesan, namun waktunya menurut saya masih terlalu singkat. Semoga di kesempatan lain, bisa lebih berkualitas, karena saya menjadikan liburan sebagai agenda wajib setiap tahun, minimal sekali.


Ulasan Singkat Tentang Hotel Gino Feruci Braga


Saat berlibur ke luar kota atau luar negeri sekalipun, tentunya penginapan memegang peranan vital dalam rangkaian kegiatan Anda sekeluarga di daerah tujuan. Salah pilih penginapan, berarti mood liburan Anda bisa terancam. Karenanya, sejak jauh hari saya telah merencanakan agenda liburan saya menjadi itinerary tertulis. Termasuk hotel, saya telah melakukan survei sejak jauh hari dan pilihan saya jatuh pada Hotel Gino Feruci Braga, sebuah hotel berbintang empat yang merupakan bagian dari Kagum Hotels management company. Hotel ini bernuansa Italia, dan berlokasi tepat di Jalan Braga. Lokasi hotel menjadi pertimbangan pertama saya, lalu karena putri saya, Clarissa, sangat menggemari kegiatan berenang, maka hotel yang memiliki kolam renang menjadi opsi prioritas. Hotel Gino Feruci Braga memiliki kolam renang tersendiri untuk anak-anak dengan kedalaman 80 cm dan kolam dewasa memiliki kedalaman 120 cm, keduanya outdoor.

Namun pihak hotel sempat merusak mood dan hampir mengacaukan rencana liburan kami. Saat hari keberangkatan, tepatnya posisi saya sudah di Bandara Sultan Iskandar Muda, saya mendapatkan telepon dari pihak hotel yang menanyakan perihal pembayaran pemesanan saya. Ia juga mengatakan bahwa hotel juga menerima pembayaran dengan metode bank transfer. Setelah saya jawab bahwa pihak hotel belum memberitahu saya apapun terkait dengan pembayaran, suara di ujung sana malah mengatakan bahwasanya pesanan saya sudah OK hanya untuk satu malam (4-5 Mei), sedangkan untuk tanggal 5-7 Mei seluruh kamar sudah terisi penuh. Kontan emosi saya langsung meledak mendengarnya. Saya tegaskan bahwa saya sudah memesan sejak awal tahun dan menjaminkan kartu kredit saya sebagai alat pembayaran jika terjadi pembatalan setelah tanggal 1 Mei (sesuai kesepakatan antara saya, pihak hotel, dan sebuah website travel). Saya jelaskan juga bahwa saya sudah melakukan dua kali konfirmasi status pemesanan saya melalui telepon dengan Mas Andri di bagian reservasi dan tak ada masalah, bahkan saya sudah memesan fasilitas jemput di bandara dan berbicara langsung dengan Mas Agus Hardi (petugas penjemput), yang juga mengatakan tak ada masalah. Setelah saya jelaskan seperti itu, suara di ujung sana (saya tidak sempat menanyakan namanya) mengatakan bahwa ia akan memeriksa ulang pemesanan saya. Hingga hari terakhir, masalah ini untungnya tak muncul lagi. Sepertinya ada kesalahan manajemen. Problem solved.

Saya menggunakan fasilitas jemput bandara. Mas Agus Hardi menjemput saya langsung dan menurutnya, ia sudah sering mengantar-jemput tamu, sehingga hafal dengan jadwal kedatangan dan keberangkatan pesawat di Bandara Husein Sastranegara. Mas Agus sempat menunggu satu jam lebih lama karena pesawat saya mengalami delay dari Medan. Orangnya ramah, selain itu mobil Kagum Hotels yang digunakan juga cukup nyaman, berjenis Suzuki APV yang interiornya telah dimodifikasi.

Sesampainya di hotel, desain arsitektur dan lobi menjadi objek penilaian saya selanjutnya. Arsitekturnya megah dan tinggi menjulang diantara gedung-gedung khas arsitektur Eropa yang berjajar di jalanan Braga. Untuk visual yang lebih jelas, cari dan lihat saja di internet. Halaman untuk masuk lumayan luas, meski harus berbagi tempat dengan Braga Food Truck yang setiap hari mangkal di sana.

Braga Food Truck hanya beroperasi saat malam dan pastinya merupakan opsi tongkrongan yang menarik. Lobi hotel cukup luas dan bersih. Di seberang meja resepsionis terdapat Chianti Lounge and Bar. Saya sempat menanyakan best deal untuk upgrade kamar, dari Superior ke Deluxe. Hasilnya, seperti yang saya tulis sebelumnya, saya cukup menambah Rp100.000,00 per malam. Pembayaran langsung saya lunasi menggunakan debit, sehingga tak perlu deposit (jaminan uang muka). Saya mendapatkan kamar nomor 820 yang berada di lantai 8. Room boy bernama Mas Dika mengantar dan membawakan barang-barang kami ke kamar. Elevator/lift yang digunakan cukup luas (mungkin dengan kapasitas 10 orang). Di lantai dasar (Service Base) terdapat akuarium cukup besar ditempatkan berhadapan dengan lift, mungkin sambil menunggu, para tamu bisa melihat-lihat ikan hias yang berenang.

Clarissa Astrid Sofia Friezcen - Hotel Gino Feruci Braga
Clarissa selalu memeluk dan menunggangi sepasang patung gajah di dekat pintu masuk Hotel Gino Feruci Braga 

Kunci kamar yang digunakan menggunakan metode electronic scan/pindai, artinya, untuk membuka pintu kamar, tamu harus menghadapkan kartu kunci (key card) ke layar pemindai yang berada tepat di atas daun pintu, bukan menggeseknya seperti kebanyakan hotel lain. Lumayan canggih dan modern. Kamarnya sendiri, sepertinya kurang luas. Tak banyak space tersisa di antara tempat tidur dan televisi. Cukup bersih memang. Di website hotel, kamar deluxe berukuran luas 23m² (meter persegi). Overall, kamar lumayan bersih, hanya saja bed cover, sprei, dan sarung bantal berwarna putih sedikit kusam. Air minum disediakan dua botol, dan di kamar juga terdapat dua pasang sandal hotel, perlengkapan membuat teh dan kopi gratis, lengkap dengan aneka pilihan gula (white sugar, brown sugar, low calorie sugar), dan electric water heater, serta televisi layar datar berukuran 32 inch. Sayangnya lemari es tidak tersedia. Bahkan menurut Mas Dika, lemari es justru ada di kamar kelas Superior. Jika kami berniat menyimpan makanan atau minuman, bisa dititipkan di resto hotel. Di dalam lemari, terdapat safety deposit box. Lanjut ke kamar mandi, ternyata lebih sempit lagi. Ada kloset duduk, wastafel, dan sebuah ruang bilas (shower) yang hanya muat untuk satu orang (kecuali dipaksakan untuk standing sex), dengan partisi pintu kaca. Di bagian atas wastafel, tersedia hairdryer. Untuk toilet amenities, tersedia dua handuk warna putih berukuran besar, satu buah keset warna putih, satu buah soap bar, satu buah sikat gigi, satu buah pasta gigi berukuran mini, shower cap, sisir, shampoo, body lotion, dan tisu kering.

Saat meninggalkan kamar di hari kedua kami di Bandung (5 Mei), kamar dibersihkan dan dirapikan ulang. Petugas kebersihan juga mencuci botol susu Clarissa dan Tupperware yang kami bawa. Sebelumnya kami memang meninggalkan catatan sebelum meninggalkan hotel, supaya perlengkapan makan dan minum Clarissa dibersihkan juga. Petugas kebersihan sepertinya memiliki selera humor karena ia membalas catatan kami dengan menulis, "Done :) Maaf kalo kurang maksimal." Sayangnya, jumlah handuk dikurangi. Kini mereka hanya menyediakan satu handuk bersih, entah apa alasannya. Istri saya sempat menelepon resepsionis meminta tambahan handuk, tapi hingga kami check out, handuk tambahan itu tidak pernah datang.

Catatan Hotel Gino Feruci Braga
Ini tulisan balasan petugas kebersihan yang saya maksud. Nampaknya dia punya selera humor juga


Kesalahan fatal kedua adalah saat keesokan hari (6 Mei), petugas tidak membersihkan dan merapikan kamar. Padahal sebelum kami meninggalkan hotel, sempat menitipkan kunci kepada resepsionis dan meminta kamar dibersihkan. Sebelum meninggalkan kamar, saya juga telah menekan tombol Clean Up, tanda meminta kamar dibersihkan. Efek dari kamar tidak dibersihkan ini tidak cukup sampai di sini, akibatnya air minum dalam botol juga tidak diganti. Kami kehabisan air masak dan harus membeli di luar hotel. Untungnya tepat di seberang hotel ada swalayan. Selain itu, fasilitas surat kabar gratisan setiap hari juga tidak ada, padahal jelas tercantum di website hotel.

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah nilai plus-minus Hotel Gino Feruci Braga menurut pendapat pribadi saya:


Minus (-):


  1. Staf kurang sigap dan kurang peduli terhadap kebutuhan dan permintaan konsumen, meskipun permintaan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban pihak hotel. Misalnya dalam kasus saya, status pemesanan kamar yang kacau dan tidak sinkron, kamar yang tidak dibersihkan meski telah diminta, dan handuk bersih yang tidak diantarkan;
  2. Sprei, bed cover, dan sarung bantal, warna putihnya sudah kusam. Dengan reputasinya sebagai hotel bintang empat, sudah seharusnya melakukan pengadaan barang-barang yang baru;
  3. Tidak ada lemari es di kamar Deluxe;
  4. Sublime Sky Lounge yang seharusnya berada di rooftop (lantai 17), sudah tidak beroperasi lagi. Menurut staf, sudah dua bulan tutup. Seharusnya hal ini diinfokan di website hotel, karena saya dan keluarga sempat naik ke rooftop, ternyata suasananya malah gelap gulita dan sunyi. Akibatnya, menikmati cocktail kesukaan saya, B-52, hanya sebatas mimpi. Untuk minum di Chianti Lounge and Bar yang ada di lantai Service Base sepertinya kurang pantas karena banyak anak kecil juga yang lalu-lalang disana. Untungnya kami juga bukan tipe penakut, bayangkan saja, dalam gelap, kami masih harus mengantri lift yang sudah sempat turun dan harus naik lagi ke lantai 17;
  5. Masih tentang lift, seringnya hanya satu (dari dua) yang beroperasi, jadinya harus menunggu relatif lama. Jika ternyata penuh, terpaksa mengantri lebih lama;
  6. Air kolam renang keruh;
  7. Tempat parkir sempit dan terjal. Jika penuh atau belum mahir mengemudi, terpaksa menitipkan mobil ke petugas valet.

Plus (+):

  1. Mobil fasilitas antar-jemput bandara nyaman, petugas yang menjemput juga sabar dan ramah, meski ia harus menunggu lama kedatangan kami di bandara akibat pesawat delay dan antrian klaim bagasi yang panjang;
  2. Para staf sangat ramah, termasuk petugas kebersihan dan petugas keamanan;
  3. Lokasi hotel strategis karena berada di Jalan Braga, cocok untuk anak-anak muda atau yang berjiwa muda;
  4. Tempat tidurnya nyaman (kasur merek King Koil);
  5. Lobinya luas dan bersih;
  6. Di halaman hotel, tepatnya di dekat pintu depan, terdapat mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Rakyat Indonesia (BRI)
  7. City view dari kolam renang (lantai 5), rooftop (lantai 17), dan kamar (kebetulan di lantai 8) bagus.
Epi Friezta Dewi Hasibuan & Clarissa - Rooftop Hotel Gino Feruci Braga
Istri dan putri saya di rooftop Hotel Gino Feruci Braga (lantai 17). Seharusnya ini menjadi lokasi Sublime Sky Lounge, tapi ternyata menurut staf, sudah tutup sejak dua bulan sebelumnya


Kesimpulan:

Terlalu naif jika harus mengkritik infrastruktur dan desain hotel karena sepertinya juga susah diwujudkan oleh manajemen. Hotel sebenarnya cukup nyaman, hanya kesigapan para staf perlu ditingkatkan. Staf hotel (di luar nama-nama yang saya tulis sebelumnya) seharusnya bisa lebih sigap, lebih peduli, dan lebih responsif terhadap permintaan konsumen (tamu hotel). Mungkin sudah waktunya memberikan extra training pada mereka?!


Baca juga cerita liburan saya ke bandung di tautan berikut:

Sepenggal Kisah Lebaran 2011, Pernikahan Mas Gegen, & Liburan ke Bandung.

Komentar

  1. artikelnya mantap.. jadi pingin mainan ke bandung

    salam wisata http://balitours99.net/

    BalasHapus
  2. artikel nya menarik sekali:) bandung kota nya sangat indah saya beruntung di lahirkan di Bandung dan jangan lupa kalau kalian berlibur ke Bandung bermalam di hostel kami yaa HOSTEL MURAH DI BANDUNG COCOK UNTUK BACKPACKER

    BalasHapus
  3. asik banget kayaknya bro jalan jalan ama keluarga ke bandung..,
    kapan kapan jadi pengen kesana.. hehehee

    BalasHapus
  4. Pastinya nih banyak destinasi menarik di kota bandung kota sejuta bunga, tapi bunganya dah pada kemana yak

    BalasHapus
  5. Perjalanan yang menarik... semoga terus berkembang.... Saya ingin berbagi article tentang Kuil Kinkaju di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/kyoto-di-kuil-kinkaku-ji.html
    Lihat juga video di youtube https://youtu.be/DSRNjQ16EbQ

    BalasHapus
  6. seru banget kak ceritanyaa. banyak banget yaa tempat-tempat di Bandung yang bisa dijadiin lokasi foto foto lucu gitu. hotel di Bandung bisa juga ternyata dijadiin lokasi foto foto hahah

    BalasHapus
  7. Bagus sekali cerita mengenai rekomendasi hotel di bandung. Kakak juga bisa baca mengenai rekomendasi Lainnya di website kamu Hotelier - Rekomendasi Hotel dan Tempat Wisata Indonesia

    BalasHapus

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Ada Cerita Dibalik Secangkir Kopi Lintong dan Bolu Labu di Omerta Koffie