ASN Juga Harus Melek Keuangan Pribadi

Pengelolaan keuangan pribadi pada individu yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) sepertinya belum menjadi topik diskusi yang lumrah pada interaksi sehari-hari, mengingat profesi ASN bisa dibilang sensitif terhadap hal-hal yang terkait dengan kekayaan. Seolah tabu apabila ASN berbicara tentang harta atau aset kekayaannya, atau ASN tidak boleh kaya, dan jika benar kaya, maka stigma hasil korupsi pun bisa saja melekat pada pribadinya. Padahal menyadari posisi atau kondisi keuangan di saat ini dan kemampuan menentukan tujuan keuangan di masa depan merupakan bentuk literasi keuangan yang paling dasar. Kedua hal tersebut dapat dicapai melalui keterbukaan informasi dan diskusi. Perlu diingat bahwa keterbukaan informasi tidak berarti pamer harta kekayaan atau flexing

Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68%. Sementara indeks inklusi keuangan mencapai 85,10%. Artinya apa? Masyarakat cenderung menggunakan produk keuangan tanpa benar-benar memahami produk tersebut. Produk keuangan bukan hanya dalam bentuk tabungan di bank, namun juga produk asuransi, produk pembiayaan, dan produk investasi.

Mari ambil contoh sederhana saja, sebagai ASN di Kementerian Keuangan, setiap awal bulan kita menerima gaji dan tunjangan kinerja melalui sistem payroll terautomasi langsung ke rekening bank. Namun tahukah Anda berapa tingkat bunga atau imbal hasil dan biaya-biaya yang dibebankan secara berkala setiap bulan ke rekening tersebut? Bisa jadi justru kita tidak mendapatkan bunga dan malah dikenakan berbagai macam biaya administrasi dan biaya kartu.

Suku Bunga Tabungan Payroll Mandiri
Tingkat suku bunga Tabungan Payroll salah satu bank Himbara

Biaya Bulanan Tabungan Payroll Mandiri
Biaya administrasi bulanan Tabungan Payroll salah satu bank Himbara


Sudah bisa ambil kesimpulan, mana yang lebih besar, apakah bunga atau imbal hasil, atau malah tabungan Anda makin tergerus oleh biaya? Belum cukup, gimana kalau saya tambahkan lagi faktor inflasi yang makin mengurangi nilai uang tabungan kita? Meskipun kita menambah jumlah tabungan hingga secara nominal terlihat meningkat, namun sesungguhnya daya beli uang tersebut justru menurun. 

Itu baru contoh dari salah satu produk keuangan, yaitu tabungan. Semakin kompleks jika kita membedah lagi mengenai instrumen asuransi, pembiayaan, dan investasi. Di sinilah literasi keuangan perlu ditingkatkan. Lalu dari mana kita memulainya? Perlu diingat, pengaturan keuangan lebih merupakan sebuah seni, artinya mekanismenya bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, bergantung pada kondisi keuangan dan literasi masing-masing.

Pegawai yang memiliki penghasilan tinggi namun porsi utangnya besar tentu pengelolaannya akan berbeda dengan pegawai yang baru bekerja namun ia tidak memiliki utang. Pegawai pertama tentu sebaiknya memprioritaskan untuk melunasi utangnya terlebih dahulu agar ia bisa segera mengoptimalkan penghasilannya di masa depan untuk mencapai tujuan keuangannya. Sedangkan pegawai kedua bisa langsung segera menjalankan tujuan keuangan yang telah direncanakannya tanpa perlu dipusingkan dengan cicilan. Artinya, sebagai langkah awal kita harus memahami dahulu posisi dan kondisi keuangan kita sebelum menentukan strategi seperti apa yang paling sesuai untuk mengatur penghasilan dan penempatan harta kita.

Contoh lain dari bahaya rendahnya tingkat literasi keuangan ASN adalah mudahnya ASN terjebak dalam investasi bodong, pinjaman online (pinjol), judi online, gadai ilegal, greater fool theory 'membayar mahal untuk aset bernilai rendah', dan herding behaviour 'perilaku ikut-ikutan/latah' dalam berinvestasi.

Dilansir dari CNBC Indonesia (2023), jumlah kerugian investasi bodong sejak tahun 2017 mencapai Rp139 triliun. Sedangkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Juli 2023 terdapat outstanding loan 'utang yang masih berjalan' melalui pinjol sebesar Rp55,97 triliun. Jawa Barat menjadi provinsi dengan nilai utang pinjol terbesar, yaitu sebesar Rp15,24 triliun atau setara 27,22% dari total nilai utang pinjol di Indonesia. 

Besarnya nilai outstanding loan pada pinjol kemungkinan disebabkan karena kemudahan persyaratan yang ditawarkan oleh pinjol. Untuk mencairkan pinjaman dana, masyarakat cukup mendaftarkan diri, mengirimkan foto KTP, dan selfie sambil memegang KTP. Namun seperti kata pepatah 'there is no free lunch', selalu ada konsekuensi dan harga yang perlu dibayarkan oleh peminjam, seperti harus rela membayar biaya administrasi dan bunga yang sangat tinggi. Kemudian kelicikan pinjol ini menggunakan iming-iming bunga rendah karena dalam promosi dan iklannya mereka kerap menyampaikan tingkat bunga tanpa menyebutkan bahwa bunga dihitung per hari. Ya, masyarakat awam cenderung memilih bunga 0,4% pada pinjol dibandingkan 8,05% p.a. pada bank umum. Masalahnya bunga 0.4% per hari berarti 12% per bulan, belum lagi ditambah biaya administrasi pinjol, biaya layanan, dan denda keterlambatan pembayaran. Jika belum cukup, ada 'bonus' penagihan rasa teror oleh debt collector.

Pun demikian dari sisi investasi, menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), hingga Juli 2023, jumlah investor pasar modal mencapai 11,37 juta. Provinsi Jawa Barat lagi-lagi menyumbang jumlah investor terbanyak mencapai 2,5 juta. Menariknya, jumlah investor pasar modal mengalami kenaikan signifikan pada saat pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memperoleh momentum untuk rebound dari kejatuhannya setelah mendapatkan sentimen negatif Covid-19 yang memporak-porandakan perekonomian dunia. Para investor angkatan Covid-19 ini disinyalir hanya berinvestasi karena ikut-ikutan (herding behaviour) dan takut ketinggalan tren (FOMO—Fear of Missing Out) karena pascapandemi nilai transaksi di bursa kembali turun signifikan. Kemungkinan para investor angkatan Covid-19 ini terjebak membeli saham di harga tinggi saat market mengalami tren kenaikan (bullish) dan kini telah kembali ke kondisi prapandemi.

Baca juga: Jika Pandemi Covid-19 Berakhir

Melek keuangan bukan hanya berarti kita jeli dalam mengatur keuangan dan menyusun anggaran (budgeting) setiap bulan, melainkan juga kita bisa mengetahui nilai wajar suatu instrumen investasi, termasuk karakteristik dan mekanisme perdagangannya. Melek keuangan juga berarti mampu mengontrol diri kala harus berhadapan dan mengambil keputusan mengenai transaksi keuangan, karena konon faktor yang paling menentukan kondisi keuangan kita justru bukan kecukupan penghasilan, melainkan emosi atau kontrol diri untuk tetap mempertahankan uang yang telah kita dapat, dan lebih baik bila mampu menggunakannya untuk menghasilkan pendapatan pasif (passive income). Ingat, masalah utamanya bukan penghasilan kita yang gak cukup, tapi gaya hidup kita yang mungkin ketinggian.

"Bukan seberapa banyak uang yang Anda hasilkan, tapi seberapa banyak uang yang Anda simpan." (Robert T. Kiyosaki, dalam buku Rich Dad Poor Dad).

"Jika rasa hormat dan kagum adalah tujuan Anda, hati-hati dengan cara mencarinya. Kerendahan hati, kebaikan, dan empati akan mendatangkan lebih banyak rasa hormat daripada harga mobil." (Morgan Housel, dalam buku The Psychology of Money).

Saat ini terdapat beragam instrumen investasi yang bisa kita gunakan sebagai kendaraan untuk menghasilkan passive income. Mulai dari yang disarankan untuk jangka pendek seperti deposito dan reksa dana pasar uang, kemudian jangka menengah seperti Surat Berharga Negara (SBN) ritel, dan reksa dana pendapatan tetap. Hingga instrumen yang tepat untuk memenuhi tujuan keuangan jangka panjang seperti saham dan reksa dana saham. Dengan kemudahan akses internet dan digital, seluruh instrumen investasi tersebut bisa dengan mudah dipelajari, tergantung apakah kita bersedia menyempatkan waktu, tenaga, dan pikiran saja.

Kembali lagi ke topik pengelolaan keuangan untuk ASN. Sebagai ASN yang memiliki jumlah penghasilan tetap dan stabil seharusnya memudahkan untuk mengatur anggarannya. Kita bisa mulai dengan mengetahui kondisi keuangan pribadi yang informasinya dapat diperoleh melalui beberapa cara: misal dari Laporan Harta Kekayaan (LHK), idealnya total harta positif. Kemudian kita bisa menghitung sendiri porsi pembayaran utang setiap bulan dibandingkan dengan jumlah penghasilan. Angsuran untuk utang idealnya tidak melebihi 35% penghasilan rutin sebagai ASN. Jika ternyata besaran angsuran melebihi jumlah ideal, sebaiknya kita memprioritaskan untuk melunasi pinjaman tersebut.

Langkah berikutnya, kita bisa menentukan tujuan keuangan yang SMART—Spesific, Measurable, Achievable, Relevant, Timebound. Tujuan keuangan sebaiknya dimulai dengan mengumpulkan dana darurat minimal tiga kali rata-rata pengeluaran bulanan (lebih bagus jika Anda bisa mengumpulkan minimal tiga kali penghasilan bulanan).


Dana darurat adalah fondasi awal dari setiap tujuan keuangan dan sifatnya mirip dengan cash buffer, yaitu sebagai dana cadangan yang hanya digunakan dalam keadaan darurat dan hanya untuk memenuhi kebutuhan. Sesuai dengan prinsip SMART, maka tujuan pengumpulan dana darurat bisa dicontohkan sebagai berikut:

"Saya akan memiliki dana darurat sebesar Rp15 juta yang disimpan di rekening tabungan yang terpisah dalam waktu lima bulan dengan cara menyisihkan uang Rp3 juta setiap bulan yang berasal dari penghasilan rutin bulanan."

Jika dana darurat sudah terpenuhi, maka selanjutnya kita bisa menyusun tujuan keuangan lain sesuai dengan jangka waktunya. Misalnya untuk membeli rumah, mengumpulkan uang sekolah anak, tabungan pensiun, dan sebagainya. Tujuan keuangan ini selanjutnya disesuaikan dengan instrumen investasi yang akan kita gunakan. Misalnya untuk tujuan jangka pendek (maksimal satu tahun), kita bisa berinvestasi di instrumen deposito dan/atau reksa dana pasar uang, kemudian untuk tujuan dengan jangka waktu dua sampai dengan tiga tahun, kita bisa memanfaatkan instrumen Surat Berharga Negara (SBN) ritel. Jangan lupakan juga modal kita untuk pensiun. Jika masih cukup lama, kita bisa memanfaatkan instrumen saham dan/atau reksa dana saham.

Sayangnya, memasuki masa pensiun, banyak pensiunan justru hidup dalam kekurangan finansial. Syarif (2022) mengatakan bahwa menurut hasil survei, 43% pensiunan masih menggantungkan hidupnya kepada anak atau orang lain. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka harapan hidup pada tahun 2022 di Provinsi Jawa Barat melebihi usia 70 tahun. Angkanya terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sebagai hasil dari keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia. Artinya, semakin panjang angka harapan hidup, maka semakin lama pula jeda waktu antara kita pensiun dan tutup usia; maka seharusnya semakin banyak pula tabungan pensiun kita.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, batas usia pensiun bagi pejabat administrasi adalah 58 tahun. Dengan demikian masih ada sekitar 12 tahun waktu yang harus kita jalani di masa tua tanpa bekerja, dan dengan asumsi pembayaran pensiun masih menggunakan skema pay as you go seperti saat ini, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, kita hanya menerima 75% dari gaji pokok. Apakah cukup? Silakan Anda merenungkannya.


Kesimpulannya, sebagai ASN yang memiliki besaran penghasilan yang tetap, stabil, dan dapat diprediksi, seharusnya memudahkan kita dalam mengatur keuangan untuk mencapai tujuan di masa mendatang dan lebih menjamin kesejahteraan di masa tua. Selama kita mau belajar dan berani mencoba, pintu kemungkinan itu selalu terbuka dan kita pun semakin berkembang. Jika masih ragu-ragu, ingat saja jargon sebuah iklan: mulai aja dulu!

Yuk, sama-sama kita belajar menjadi ASN yang melek keuangan!



Catatan: Artikel yang sama telah dipublikasikan pada Rubrik Ruang Kita Buletin PASKAL JABAR (Profil APBN dan Analisis Kinerja Fiskal) Jawa Barat Edisi Triwulan III Tahun 2023.

Bagi ASN, silakan follow Instagram @asninvestor agar kita bisa belajar dan diskusi bareng seputar pengelolaan keuangan dan investasi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga