Cerita Masa SMP dan Perspektif Sistem Zonasi dalam Penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
Berita tentang polemik dan kontroversi terkait penerapan sistem zonasi dalam penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) terus saja bermunculan di berbagai media massa, baik daring maupun versi cetak. Awalnya, Sistem Zonasi secara detail diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat. Pasal 16 ayat (1) menyebutkan:
"Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima."
Permendikbud tersebut kini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sebagai gantinya, Mendikbud menerbitkan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Namun tetap saja, pola Zonasi masih diberlakukan. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa kepala daerah menetapkan zonasi sesuai dengan kewenangannya.
Pola Zonasi tersebut tentu saja menghapuskan reputasi beberapa sekolah sebagai sekolah favorit, unggulan, dan/atau populer selama ini. Maksud Pemerintah menerapkan Sistem Zonasi tentu saja untuk memberikan akses keadilan terhadap pendidikan bagi anak-anak Indonesia, tanpa memandang status keluarga, kekayaan, prestasi dan potensi akademik, dan sebagainya.
Polemik tentu saja bermunculan, khususnya dari para orang tua dan/atau wali murid yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang sebelumnya memiliki reputasi sebagai sekolah unggulan/favorit/populer. Mereka ramai-ramai mengikuti demonstrasi dan menyuarakan protes, merasa hak-hak mereka dan anak-anaknya untuk bersekolah di sekolah "terbaik" telah dirampas.
Dulu, selepas saya lulus dari Sekolah Dasar (SD), Ayah tidak pernah memaksakan saya harus melanjutkan bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) tertentu. Ia malah mengajak saya berkeliling Kota Mojokerto, melewati setiap SMP yang ada di kota kecil di Jawa Timur itu; mulai dari SMP yang lokasinya di tengah kota dengan fasilitas yang terbilang menggiurkan, dan para peserta didiknya berulang kali mendapat prestasi akademis yang membuatnya otomatis menjadi sekolah unggulan dan populer saat itu; hingga sekolah yang letaknya di pinggiran kota yang identik dengan para siswanya yang 'nakal'.
Suatu hari, Ayah mengajak saya melewati sebuah SMP yang letaknya dihimpit oleh sawah di berbagai penjuru. Lokasi sekitarnya sangat sunyi, saya bisa merasakan semilir angin mengibaskan rambut saat berkendara. Suasananya yang alami dan tenang menjadi pertimbangan utama sebelum membuat saya akhirnya mantap memilih sekolah itu untuk menjalani proses pendidikan formal berikutnya. Saat itu, SMP saya ini mendapat julukan Sekolah 'mewah'—mepet sawah.
Dengan status sekolah saat itu 'bukan favorit' dan bahkan dengan reputasinya sebagai sekolah untuk murid-murid 'nakal', tidak menyurutkan niat dan semangat saya. Justru, reputasinya itu menjadi salah satu pertimbangan. Saya bisa melihat potensi diri saya di sana. Dengan berteman dengan para murid 'nakal' ini, saya bisa lebih mudah meraih prestasi akademis. Saya juga bisa belajar banyak pengalaman baru mengingat sewaktu SD, saya cukup 'kuper'—kurang pergaulan—dan pendiam.
Benar saja, hasilnya saya bisa menjalani proses belajar dengan baik, tenang, dan nyaman. Walaupun di beberapa kesempatan memang harus berurusan dengan 'keributan kecil' (perkelahian individu) dan sesekali 'keributan besar' (tawuran dengan pelajar dari sekolah lain, atau dengan adik kelas). Saya selalu meraih prestasi akademis dengan merengkuh gelar juara di kelas. Bonusnya adalah, saya makin menikmati masa-masa SMP yang penuh petualangan dan adrenalin bersama dengan teman-teman dan juga sahabat-sahabat yang katanya nakal.
Di hari Minggu, selepas Subuh, saya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler lari marathon di sekolah bersama beberapa teman. Setiap pekan, kami berlari dengan jarak sekitar 5 kilometer. Untuk datang ke sekolah, saya harus bersepeda melewati jalanan kecil di antara persawahan yang masih gelap gulita. Sedangkan waktu pulang, saya dan teman-teman biasa menyeberang jalur rel kereta api (KA). Terkadang kami iseng 'menjahili' KA yang lewat (tak perlu saya tulis bentuk keisengan kami, khawatir ditiru, berbahaya!).
Di dekat jalur KA, ada sebuah areal pemakaman umum. Sebuah pohon beringin raksasa berdiri di dalamnya, ukurannya cukup besar untuk menghalangi sinar matahari. Di dasar pohon, ada lubang besar, cukup besar untuk dimasuki oleh dua orang dewasa. Pohon ini disakralkan oleh masyarakat sekitar, dan disebut-sebut sangat angker. Reputasi keangkerannya cukup beken, termasuk lima besar tempat angker di kota. Jika malas pulang cepat, saya dan teman-teman biasa nongkrong sambil bercengkerama di areal pekuburan.
Tak hanya bercengkerama, jika ada perselisihan di antara siswa, kami—para lelaki—membuat perjanjian untuk menyelesaikannya secara jantan di areal pekuburan, sepulang sekolah (bukan... bukan uji nyali, tapi 'adu tinju'). Pada beberapa kesempatan, kami kerap menemukan sesajen berupa makanan dan bunga-bunga yang diletakkan oleh warga sekitar di dalam lubang di dasar beringin. Kami yang iseng kerap mencuri makanannya untuk disantap. Tak susah mengetahui siapa yang cukup bernyali, tinggal cari saja ia yang seragamnya berbau kemenyan.
Tak hanya bercengkerama, jika ada perselisihan di antara siswa, kami—para lelaki—membuat perjanjian untuk menyelesaikannya secara jantan di areal pekuburan, sepulang sekolah (bukan... bukan uji nyali, tapi 'adu tinju'). Pada beberapa kesempatan, kami kerap menemukan sesajen berupa makanan dan bunga-bunga yang diletakkan oleh warga sekitar di dalam lubang di dasar beringin. Kami yang iseng kerap mencuri makanannya untuk disantap. Tak susah mengetahui siapa yang cukup bernyali, tinggal cari saja ia yang seragamnya berbau kemenyan.
Ya, sekolah di sana mengajarkan banyak pengalaman baru pada saya, si 'kuper'. Sekolah itu adalah SMP Negeri 5 Kota Mojokerto yang beralamat di Jalan Meri, Kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Sumber: Google |
Hikmahnya, terkadang kita sebagai orang tua tak perlu memaksakan kehendak kepada anak dengan hanya berdasarkan pertimbangan sementara dan opini orang lain. Tak perlu merasa susah, sedih, atau marah jika anak tak bisa masuk ke sekolah dengan reputasi unggulan atau populer. Penilaian dan status itu ada masa berlakunya. Seperti SMPN 5 Kota Mojokerto yang saat itu memiliki reputasi 'sekolah pinggiran', kini bertransformasi menjadi salah satu sekolah populer.
Di atas itu, ada faktor yang lebih penting dari reputasi sekolah, yaitu minat anak-anak untuk menjalani proses belajar di sekolah. Di mana pun bersekolah, yakinlah mereka pasti mendapatkan pengalaman berharga. Bahkan terkadang pengalaman terbaik didapatkan dari tempat-tempat yang tidak kita duga dan dari orang-orang yang tidak kita sangka apabila kita berani keluar dari zona nyaman. Berkat pengalaman saya bergaul dengan teman-teman yang 'nakal', sedikit-banyak saya menjadi lebih kuat menghadapi berbagai persoalan hidup. Bagaimanapun, lingkungan turut menentukan karakter kita, tinggal dari sisi mana kita mau mengambil hikmah, apakah kita turut menjadi nakal atau kita jadikan pengalaman kita sebagai pijakan dan pembelajaran. Bukankah hidup adalah tentang pilihan?!
Yakinkan kepada diri sendiri dan kepada anak bahwa prestasi bukan dinilai dari tempat mereka bersekolah, melainkan dari individu. Prestasi bukan hanya akademis, di atas itu ada pelajaran hidup lebih berharga yang berasal dari pengalaman. Apalagi di era revolusi industri 4.0 saat ini, prestasi akademis sekolah tak lagi memegang peranan utama dalam karir. Ingatlah bahwa setiap anak adalah istimewa dan masing-masing memiliki keunikan dan kelebihan. Reputasi sekolah favorit, unggulan, populer, atau apalah namanya sejatinya adalah manifestasi keegoisan dan kesombongan orang tua untuk pamer dan eksis, yang pada akhirnya tanpa disadari justru merupakan eksploitasi terhadap anak.
Mari kita sama-sama mengubah perspektif, jadilah orang tua zaman now yang punya visi jauh ke masa depan!
Baca juga: Anak-anak Indonesia, Investasi Masa Depan Bangsa yang Tidak Menguntungkan?
Baca juga: Anak-anak Indonesia, Investasi Masa Depan Bangsa yang Tidak Menguntungkan?
Catatan: Kini, SMPN 5 Kota Mojokerto tak lagi dikelilingi oleh persawahan. Dengan deretan kompleks perumahan yang relatif baru dan terus bermunculan, tak ada lagi jalan kecil yang gelap. Sekolah itu juga sudah semakin maju dan modern. Bagaimanapun, saya bangga menjadi alumnus dari sana.
Untuk para tenaga pendidik/guru, orang tua, dan kawan-kawan lama saya: Terima kasih atas pengalaman dan petualangan luar biasa selama bersekolah di sana.
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.