Nilai Anak Bukan Nilai di Rapornya

Ada satu fenomena yang selalu berulang setiap kali melewati masa penerimaan rapor di sekolah—setidaknya dari pengamatan saya. Para orang tua cenderung memamerkan nilai anak-anaknya yang dianggap bagus atau memuaskan melalui berbagai kanal media sosial. Entah bagaimana dengan mereka yang anaknya dianggap memiliki nilai kurang memuaskan karena saya tak pernah melihat para orang tua ini 'memamerkannya'. Apakah tindakan pamer itu salah? Tergantung bagaimana narasi yang dibuat oleh orang tua dan konsekuensinya pada anak. Yang jelas, saya belum pernah menjumpai langsung status orang tua yang marah, memaki atau merendahkan anaknya di media sosial. Malahan hampir semuanya memuji capaian anak-anaknya.

Saya sendiri sudah beberapa kali melewati momen formalitas pertemuan antara orang tua dengan guru terkait penerimaan rapor. Seperti yang saya tuliskan, saya menganggap itu hanya formalitas belaka. Saya tak pernah menemui guru yang benar-benar menyampaikan pidato atau kata-kata yang menginspirasi saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Hampir semuanya tentang penilaian—yang saya anggap subjektif—kepada anak saya, atau hal-hal lain yang—menurut saya—tak lebih penting dari perkembangan anak.

Nilai akademis yang tertulis di rapor sama sekali tidak mencerminkan nilai diri anak-anak, itu yang saya yakini. Jujur saja, nilai rapor anak saya tak pernah mengecewakan. Lantas apakah saya bangga? Tidak terlalu. Malahan hal pertama kali yang saya perhatikan bukan nilai, tapi deskripsi atau keterangan yang tertulis di rapor. Bagi saya, kata-kata memiliki makna lebih mendalam ketimbang deretan angka. Bagaimana jika nilainya memang mengecewakan? Apakah anak-anak kita memang bodoh? Tidak!

Saya percaya tak ada anak-anak yang bodoh. Julukan bodoh hanya dimiliki oleh kita—orang dewasa—yang tidak memiliki mindset atau pemikiran sesuai dengan usia. Orang bodoh adalah orang dewasa yang berperilaku tidak sesuai dengan usianya, orang dewasa yang memiliki perilaku menyimpang dan dengan sadar melanggar norma. Para kriminal di dunia nyata dan content creators tak tahu malu dan tak mengedukasi di dunia maya adalah contoh nyata kebodohan. Pun demikan dengan mereka yang mengapresiasi kebodohan.

Saya banyak melihat atau membaca kisah anak yang nilai akademisnya biasa saja, tetapi memiliki hidup yang sukses saat dewasa. Sebaliknya, saya juga menyaksikan sendiri dan membaca kisah perjalanan hidup anak-anak yang luar biasa pintar secara akademis, tetapi setelah dewasa, ia jadi medioker alias punya kehidupan yang biasa saja—kalau tidak boleh dibilang susah atau miskin. Kebanyakan tipe orang-orang 'pintar' ini menganggap jabatan tinggi adalah segalanya. "Percuma pintar jika tak punya jabatan," pikir mereka. Tak kaget banyak dari mereka yang menghalalkan segala cara agar dapat menduduki suatu jabatan lalu menjadi besar kepala dan gila hormat; tak heran banyak pula orang susah jadi 'gelap mata'.

Buat apa pintar secara akademis jika ternyata mencari atau mengelola uang saja tidak bisa?! Akhirnya mereka menggunakan kebodohan untuk mendapatkan uang. Uang yang didapat dari hasil kebodohan akan lenyap begitu saja karena ia dikelola oleh orang bodoh. Terkadang uang hasil kebodohan juga membuat Anda tak bisa tidur nyenyak di malam hari. Uang memang bukan tujuan, uang bukan sumber kebahagiaan, tetapi kebanyakan sumber kebahagiaan dibeli menggunakan uang. Orang-orang bodoh menghamburkan uang untuk membeli kebahagiaan sesaat. Renungkan dua kalimat terakhir!

Jika nilai anak Anda mengecewakan, yakinlah bahwa itu sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai dirinya. Banyak hal—yang justru paling menentukan dalam kehidupan—tidak bisa dinilai dengan angka atau tertera di rapor. Maaf kata, tak ada yang pantas menilai kecerdasan anak-anak kita. Kecerdasan adalah karunia Tuhan. Kecerdasan merupakan hasil evolusi dan adaptasi otak manusia—selama jutaan tahun—yang bisa berkembang seiring berjalannya waktu. Cerdas di satu bidang atau mata pelajaran belum tentu menjamin kehidupan masa depannya. Tak ada gunanya pandai matematika jika ternyata mereka pada akhirnya bekerja di bidang desain grafis misalnya. Saya juga masa sekolah dulu memiliki nilai di atas rata-rata (meski saya tak menyebut diri cerdas), khususnya di mata pelajaran bahasa Inggris dan seni menggambar. Sekarang? Kemampuan berbahasa Inggris saya hampir tidak pernah digunakan di tempat saya bekerja saat ini. Saya juga hanya menggambar untuk anak-anak saya. Sampai saat ini belum ada uang yang saya hasilkan dari kemampuan menggambar.

Baca Juga: Cerita Masa SMP dan Perspektif Sistem Zonasi dalam Penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)


Clarissa Astrid Sofia Friezcen

Jangan juga terlalu bangga jika nilai rapor anak Anda memuaskan. Yakinlah kemampuan mereka lebih baik dari sekadar angka-angka yang tertulis di dalamnya. Sekali lagi, tak ada satupun yang berhak dan mampu menilai kemampuan dan kecerdasan anak-anak kita. Guru? Mereka hanya menjalankan tugasnya di sekolah. Ya, para 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa' sudah melakukan dan memberikan yang 'terbaik' di sekolah. Tapi apakah standar terbaik bagi mereka sama dengan standar terbaik Anda? Apakah yang terbaik bagi guru dan orang tua juga berarti yang terbaik bagi anak-anak? Tidak!

Akan ada saat di mana anak-anak mampu menilai secara mandiri apa yang terbaik bagi mereka. Tahap itu akan tiba. Tugas orang tua adalah membimbing dan mendampingi anak sampai saat itu tiba dan memastikan anak mampu memilih jalan hidupnya sendiri yang benar dan sesuai dengan norma dan nurani. Pemaksaan terhadap kehendak bebas sebagai manusia ini adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi mereka sebagai manusia.

Setiap anak adalah istimewa. Keistimewaan mereka tak akan pernah bisa dinilai dengan angka-angka. Menurut saya ada hal yang lebih penting ketimbang kemampuan akademis: Soft skills. Kemampuan anak untuk bersosialisasi, berempati, bernegoisasi, kreatifitas, public speaking, networking, leadership dan—tentu saja—mengelola dan mengembangkan uang tidak akan didapatkan di sekolah. Padahal di era modern, soft skills inilah yang nantinya lebih menentukan kehidupan mereka di masa depan.

Tentang pelajaran Bahasa Inggris sebelumnya. Saat SMA saya pernah merasa kecewa dan marah kepada guru Bahasa Inggris saat itu karena memberikan saya nilai B. Sekadar tahu saja, sepanjang sekolah dan kuliah, saat itu pertama—dan untungnya terakhir—kalinya saya mendapatkan nilai selain A atau A+. Bagaimana mungkin saya yang pernah mewakili SMP dan kota kelahiran saya di kontes pidato Bahasa Inggris mendapatkan nilai B?! Singkat cerita, saya langsung menghadap guru dan melayangkan protes. Tapi jawaban guru saya saat itu sangat bijaksana dan justru menginspirasi saya—bahkan hingga saat ini. "Saya kasih kamu nilai B supaya kamu tidak cepat puas. Kalau kamu tidak cepat puas, maka akan selalu ada ruang buat kamu terus belajar dan mengembangkan diri."

Lalu izinkan juga saya menceritakan salah satu pengalaman inspiratif dan merupakan pelajaran paling berharga yang pernah saya dapatkan saat sidang skripsi sarjana. Saya tahu skripsi saya—yang sudah mirip tesis—merupakan salah satu skripsi terbaik saat itu karena pertanyaan dari para dosen penguji justru di luar materi skripsi yang saya susun. Kebanyakan pertanyaan perihal tentang riwayat dan pengalaman saya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan. Sampai satu pertanyaan terakhir:

"Apa yang akan kamu lakukan jika menemui skenario di tempat kerja kamu ternyata tidak sesuai dengan kebijakan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan?"

Pertanyaan itu sempat membingungkan saya beberapa saat. Lalu saya jawab, "Semua pengambilan keputusan didasarkan pada aturan di tempat saya bekerja. Selalu ada aturan untuk setiap skenario. Jika ada skenario di luar itu, maka akan dianggap sebagai sebuah pelanggaran atau aturan baru akan segera ditetapkan."

Sang dosen pembimbing—kebetulan juga merupakan dosen favorit saya—mempersilakan saya duduk, kemudian tersenyum. Ia lalu berkata, "Suatu hari, sebanyak apapun aturan dan ketetapan yang kamu baca dan pelajari, ada saatnya nanti kamu pasti akan mengalami situasi di luar skenario. Saat semua pengetahuan kamu ternyata tidak bisa kamu gunakan. Saat itu tiba, kamu harus jadi orang yang bijaksana dalam mengambil keputusan."

Tiga belas tahun berlalu sejak saya mendapatkan gelar sarjana. Saya memang menemukan banyak skenario di tempat kerja yang ternyata tidak terdapat dalam peraturan dan kebijakan tertulis. Pelajaran hidup dari guru Bahasa Inggris dan dosen saya masih dan akan tetap relevan sampai kapanpun. Kemauan untuk selalu berkembang dan kebijaksanaan adalah soft skills yang nilainya tidak tercantum di dalam rapor. Oh ya, soal kontes berpidato dalam Bahasa Inggris, saya juga tidak meraih prestasi meski hafal skenarionya di luar kepala, karena saya demam panggung. Saat itu saya kalah karena tak memiliki soft skill public speaking, storytelling, dan improvisasi. Omong-omong, skripsi saya memang menjadi salah satu yang terbaik dan salinannya tersimpan di perpustakaan kampus sebagai—salah satu dari sedikit—skripsi yang menganalisis sistem birokrasi di instansi pemerintah.

Kembali ke topik. Jadi, apa yang mesti dilakukan orang tua? Dorong dan ajarkan anak mengembangkan soft skills ini sambil tetap melakukan yang terbaik dari sisi akademis. Apresiasi setiap capaian, prestasi, dan—yang terpenting—upaya terbaik yang telah mereka lakukan. Hargai proses, hasil baik hanyalah sebuah bonus. Pastikan mereka menyadari bahwa orang tua selalu hadir dan memberikan dukungan dalam setiap fase kehidupan. Bangun pola pikir mandiri agar tidak gampang terbawa arus tren. Tanamkan mindset leadership dan yakinkan bahwa menjadi berbeda saat dikelilingi oleh orang bodoh adalah sebuah capaian luar biasa. Ingat, kala burung lain berteduh saat hujan, sang elang memilih tetap terbang di atas awan. Itu yang membuat mereka menjadi raja dan dihormati. Masalah ada untuk diselesaikan, bukan untuk dihindari. Ajarkan anak menjadi pribadi yang selalu berkembang dan mampu melampaui berbagai masalah yang ia hadapi.

Ajarkan juga kemampuan dan kemauan untuk bekerja keras dan pantang menyerah. Tetapi jangan lupakan kebesaran hati untuk menerima kegagalan karena bagaimanapun kegagalan adalah bagian dari kesuksesan. Kenapa harus kerja keras, bukannya di zaman yang serba digital dan instan saat ini, yang lebih diperlukan adalah kerja cerdas? Omong kosong! Tak ada kerja cerdas tanpa didahului oleh kerja keras. Tak ada esensi kerja cerdas sebelum kita memahami ritme dan melihat kesempatan yang hanya didapat dari hasil kerja keras.

Tak kalah penting, bentuk dan kembangkan kepribadian rendah hati saat mereka meraih keberhasilan dan kesuksesan. Berikan pemahaman bahwa nilai diri dan kebahagiaan berasal dari diri mereka sendiri dan bukan ditentukan dari perlakuan orang lain atau dari banyaknya barang mewah—berharga mahal—yang dimiliki. Pun dengan kesedihan. Ajarkan bahwa air mata hanya pantas terlinang untuk orang-orang yang tepat dan hal-hal yang berarti dalam hidup. Tak perlu malu menangis untuk itu karena menangis merupakan bentuk keberanian, pengakuan, dan penghargaan terdalam kita sebagai insan.

Kesimpulannya, jadilah orang tua yang luar biasa agar anak-anak Anda memiliki role model dan benchmark dengan standar tinggi sehingga mereka tidak terbawa arus kebodohan di luar sana!

"Definisi jenius adalah orang yang melakukan hal-hal biasa saat orang-orang di sekelilingnya kehilangan akal sehat." (Napoleon Bonaparte).

Karena menjadi orang biasa saat yang lain menjadi bodoh adalah hal yang luar biasa.

Jadi, peluklah anak-anakmu dan katakan betapa luar biasanya mereka!


Tulisan terkait:

  1. Cerita Masa SMP dan Perpektif Sistem Zonasi dalam Penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB);
  2. Selamat Hari Jadi Kota Medan ke-430: Sekelumit Cerita Lama Tentang Kenakalan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention