Lidah Silet, Matre, Hidup Sederhana, dan Kebahagiaan

Pada suatu kesempatan sharing session di tempat tugas saya, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Surabaya II, yang diadakan setiap Senin pagi sebelum memulai aktivitas pekerjaan, saya mendapatkan giliran untuk menyampaikan cerita motivasi dan inspirasi. Asal tahu saja, dalam kegiatan ini, setiap pegawai diberikan gilirannya masing-masing, satu orang setiap kegiatan.

Saat itu saya menyampaikan cerita, atau lebih tepatnya sebuah sajak, yang saya berikan judul THINK Before You Speak, yang dalam Bahasa Indonesia berarti 'berpikirlah sebelum berbicara'. Namun saya sengaja tidak membuatnya dalam Bahasa Indonesia, karena kata 'THINK' sendiri memiliki makna. Berikut isi sajak yang saya bacakan di depan kolega saat itu:


THINK Before You Speak

Lidah itu tak bertulang. Konon katanya lidah lebih tajam daripada silet.

Rekan, ada alasan kenapa Allah menciptakan sepasang mata, sepasang telinga, sepasang tangan, dan sepasang kaki… namun hanya satu mulut.

Suatu hari nanti, setelah pandemi berakhir, jika kita bertemu kerabat atau sahabat yang sudah lama terpisah, jangan katakan, “Kok kamu gendut banget sih?!”

Bisa jadi setelah ini ia jadi rendah diri. Kemudian membayar gym dan personal trainer, membeli keperluan olah raga dan suplemen agar jadi percaya diri. Padahal ia masih harus membayar biaya sekolah anaknya yang mau masuk SD.

Jangan pula mengatakan, “Kok badan kamu kurus banget begini?”

Karena mungkin ia sedang bertaruh nyawa, mengorbankan segalanya, berjuang sembuh dari penyakit yang menggerogoti fisiknya.

Saat bertemu dengan kawan kerja lamamu, jangan pula ditanya, “Kok masih naik motor? Masa pegawai Kemenkeu belum punya mobil?!”

Kamu tidak tahu, bisa jadi karena ucapanmu ia terpaksa membeli mobil, padahal ia menabung agar bisa melanjutkan kuliah S2, seperti impian kedua orang tuanya.

“Ahhh, senangnya bisa ketemu kamu lagi. Terakhir kita ketemu pas wisuda ya? Tapi lho kok belum ada momongan? Terlalu sibuk sih..!”

Bapak-Ibu, bisa jadi dia menyibukkan diri mengumpulkan rezeki agar bisa membiayai terapi kesuburan. Ia juga ingin ada anak-anak yang melengkapi hidupnya,… seperti kita.

“Kok lahirannya cesar, bukannya kemarin ngebet pengen normal?!”

Teman, tak ada wanita yang tercela. Semua ibu adalah manusia paling mulia yang rela bertaruh nyawa demi anak-anaknya bisa terlahir ke dunia.

Banyak lagi ucapan kita yang mungkin tanpa kita sadar, justru menyakiti kerabat, sahabat atau masyarakat. Konon katanya alasan Allah hanya memberi kita satu mulut adalah agar kita lebih banyak memperhatikan, lebih banyak mendengar, lebih banyak menolong, dan lebih banyak bekerja, ketimbang lebih banyak berbicara. Namun jika harus berbicara… THINK before you speak! THINK adalah:

True: hanya berbicara kebenaran;

Helpful: membantu orang dengan perkataan kita, bukan malah menyusahkan;

Inspiring: berbicara menginspirasi;

Necessary: berbicara seperlunya; dan

Kind: hanya membicarakan kebaikan dan dengan cara yang baik.

Seringkali, diam itu emas. Cukup kita paham setiap orang punya konfliknya masing-masing. Setiap kita berjuang untuk sesuatu yang tak perlu orang lain tahu. Tak ada manusia yang sempurna. Alangkah baiknya jika kita saling menjaga, bukan menyusahkan malah. Hanya menjaga lisan, sederhana. Susah atau mudah? (Surabaya, akhir November 2020).


Arisandy Joan Hardiputra - THINK Before You Speak

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah sebaiknya kita berhati-hati dalam berbicara. Pepatah mengatakan, "dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu?" Mudah bagi kita berbicara, namun belum tentu orang lain bisa dengan lapang dada menerima. Meskipun setelah mendengar ucapan kita yang menyakitkan, mungkin ia hanya tersenyum. Tapi sekali lagi, isi hati dan perasaannya, kita tak bisa tahu.

Namun, bagaimanapun juga, saya percaya bahwa kebahagiaan itu kita sendiri yang menentukan. Artinya, apapun yang dikatakan orang lain tentang kita, apapun penilaian orang lain kepada kita, sudah seharusnya kita sadari bahwa itu bukanlah nilai diri kita sebenarnya. Hendaknya kita menjalani hidup bukan berdasarkan penilaian orang, apalagi di zaman ini, saya yakin banyak orang matre yang menilai segala sesuatu hanya berdasarkan nilai materi. Saya pun matre, tapi ke-matre-an saya tidak saya gunakan untuk menghakimi seseorang.

Salah satu pertanyaan yang sering diajukan ke saya oleh teman atau keluarga adalah, "Kenapa tidak membeli mobil?" Atau sindiran seperti, "Sudah waktunya beli 'setir bulat'". Pertanyaan dan sindiran yang wajar saja karena setiap hari saya berangkat ke kantor mengendarai motor. Biasanya saya merespons pertanyaan mereka dengan nyengir saja. Tidak masalah.

Kenapa saya tidak membeli mobil? Tak perlu juga saya jelaskan alasannya di sini. Kalaupun saya ingin membeli mobil, saya ingin membeli tunai, model terbaru, dan kalau bisa bertenaga listrik. Ya, dengan semakin berkembangnya zaman, kendaraan berbahan bakar fosil akan outdated dan semakin kuno. Kenapa mau beli mobil saja harus repot begitu? Karena saya matre. Lagipula tidak repot, saya menikmati prosesnya. Saya juga ingin mengajarkan pada anak-anak, bahwa hidup tidak selalu mudah. Mereka tidak bisa seenaknya mendapatkan segala sesuatu dengan instan. Saya sudah cukup banyak belajar bahwa segala sesuatu yang didapat dengan instan, tanpa mindset yang tepat, ia akan cepat berlalu atau malah mendatangkan petaka.

Saya dan keluarga cukup bahagia menjalani kehidupan 'sederhana'. Saya juga berinvestasi di pasar modal dengan orientasi jangka panjang dan rencana besar. Untuk mewujudkannya, saya tidak mau disibukkan dengan kewajiban membayar cicilan mobil atau barang-barang lain hanya untuk mengesankan orang lain. Saya percaya dengan pepatah "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian." Saya percaya dengan menunda kesenangan sekarang akan memberikan hasil yang istimewa di masa depan. Saya percaya, menjadi matre berarti harus membangun aset tanpa perlu mengorbankan harga diri. Aset adalah sesuatu yang menghasilkan uang untuk saya. Mobil bagi saya bukanlah sebuah aset. Mobil adalah liabilitas yang menguras kantong saya dengan biaya perawatan dan pajaknya. Apakah saya mampu? Tentu. Apakah saya mau? Tidak.

"Work hard in silence, let your success be your noise" - (Frank Ocean)

Lokasi tugas saya berpindah-pindah kota, bahkan pulau. Akan sangat merepotkan jika nanti saat pindah saya masih harus membawa mobil atau menjualnya kembali. Sekali lagi, mobil bagi saya saat ini bukanlah sebuah barang kebutuhan. Bagaimana saat akan bepergian jauh dengan keluarga atau saat hujan? Hidup ini jangan dibuat susah, Bung! Sudah banyak moda transportasi online yang bisa kita pesan sewaktu-waktu dengan harga murah, tanpa kita perlu mikirin bagaimana perawatannya, membayar pajaknya, kapan waktunya mengisi BBM dan ganti oli, atau harus parkir di mana. Bisa jadi, dari orderan itu, kita juga 'membantu' mereka membayar cicilan mobilnya.

Susah-senangnya hidup ini, bergantung pada perspektif diri kita. Setiap orang punya 24 jam yang sama. Saat kamu bermalas-malasan dan terlalu sibuk berandai-andai, ada orang lain yang bekerja keras. Saat kamu melamun, ada orang lain yang menyusun strategi. Saat kamu mengeluh, ada orang lain yang mengambil kesempatan. Saat kamu mengumbar banyak perkataan, ada orang lain yang hanya diam memperhatikan dan menilaimu. Saat kamu bergosip, ada orang lain yang justru menginspirasi. Tong kosong selalu berbunyi nyaring.

Percayalah, saya kenal banyak orang yang demi mengesankan orang lain, rela melacurkan diri dengan berutang. "Hidup hanya sekali," kata mereka. Benar, hidup hanya sekali, sebaiknya kita jadikan berarti! Hidup hanya sekali, sayang sekali jika kita sia-siakan untuk kesenangan semu. Kamu berutang, membeli barang, merasa senang sementara, tapi cicilan tetap harus dibayar, ditambah dengan bunga. Belum lagi kamu harus mengeluarkan biaya perawatan dan pajak, padahal kondisi keuanganmu berantakan. Akhirnya barang kamu terdepresiasi, nilainya terus turun, modelnya ketinggalan zaman. Tapi cicilan utangmu belum lunas juga. Padahal kamu juga belum punya dana pensiun. Akhirnya, lingkaran setan sandwich generation terulang kembali. Di masa tua kamu masih menggantungkan hidup pada anak-anakmu, seperti kamu yang ikut menanggung biaya orang tuamu dulu. Saat tua, kamu malah merepotkan dan membebani anak-anakmu, padahal harusnya kamu bahagia menjalani sisa hidupmu dan terus mengajarkan nilai kehidupan yang baik pada mereka.

Lha, bukannya sudah menjadi kewajiban anak membahagiakan orang tuanya? Memang. Bukannya anak ikut bertanggung jawab terhadap biaya hidup orang tua? Tidak mesti begitu. Silakan saja jika punya pemikiran seperti itu. Tapi bagi saya, justru tugas orang tua itu tak berujung. Orang tua selamanya harus mendidik dan menginspirasi anak-anaknya. Meski anak-anakmu sudah dewasa, sebaiknya kamu tetap menjadi teladan mereka. Sebisa mungkin, selalu ajarkan makna hidup pada anak-anakmu. Buat saya, nilai terbesar seorang laki-laki itu adalah yang selalu bisa mengajarkan sesuatu hal yang baik pada keluarga, khususnya anak-anaknya. Salah satu kebaikan itu misalnya mandiri secara finansial dan tidak membebani anak-anak. Bukannya, kebaikan akan berbuah kebaikan pula?!

Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, selalu mengenakan kaos oblong kemanapun dia pergi. Pemilik Berkshire Hathaway sekaligus salah satu orang terkaya di dunia, Warren Buffet, memiliki rumah dan mobil sederhana. Bos perusahaan Djarum dan pemilik BCA—emiten dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia, Michael Bambang Hartono, tak gengsi makan di warung sederhana. Bayangkan, akan sangat 'berbahaya' jika saya menilai seseorang secara materi berdasarkan penampilan dan seleranya. Seperti hati, kita tidak tahu apa saja isi portofolio asetnya.

Lebih baik terlihat miskin daripada terlihat kaya. Lebih baik terlihat jahat daripada terlihat baik. Lebih baik menjadi orang yang diremehkan daripada orang yang diunggulkan dan akhirnya menanggung beban. Lebih baik terlihat malas daripada terlihat rajin. Itu alasan kenapa saya lebih suka bekerja dari 'balik layar' ketimbang harus berada di garis depan. Lagipula, meskipun bekerja dari 'balik layar', saya tetap punya strategi personal branding khusus agar kontribusi saya tetap 'terlihat'.

Jadi, apakah berutang itu tidak boleh? Boleh, selama cicilannya tidak menyusahkan kamu dan tidak menganggu cash flow keuanganmu. Tapi utang itu dibawa mati. Kalau kamu mati saat berutang, keluargamu masih harus menanggungnya, atau asetmu harus disita. Jadi, selama bisa dibayar tunai, kenapa harus berutang?!

Perkataan yang buruk bisa menimbulkan efek domino yang buruk pula. 'Tali' silaturahim bisa terputus hanya karena perkataan. Pernyataan politik bisa menyulut peperangan. Persatuan retak karena ucapan penghinaan. Persahabatan rusak karena ejekan. Pasangan bercerai karena sindiran. Bayangkan luar biasanya konsekuensi yang ditimbulkan akibat perkataan bodoh kita. Jadi sekali lagi, agar tidak menjadi bencana, sebaiknya kita menerapkan prinsip THINK dalam berbicara. Lebih penting lagi, latih diri kita menjadi insan yang percaya diri dan memiliki prinsip dan tujuan hidup. Selalu tanamkan dalam hati dan pikiran kita, bahwa kitalah penguasa sejati dan penentu kebahagiaan diri. Biarkan anjing menggonggong, kamu tetaplah berlalu sambil tersenyum!

Prinsip Hidup Cecen Core @coreycen


Catatan Penulis:
Artikel yang sama turut dipublikasikan pada portal Teras Medan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takdirmu Tidak Akan Melewatkanmu

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention