#RIPIntan, Anak-anak Korban Terorisme yang Membuka Luka Lama

Lebih dari sedekade lalu, saat itu saya masih berumur belasan tahun, orang tua saya masih membuka usaha toko kelontong di rumah, dengan menjual berbagai kebutuhan rumah tangga, jajanan, minuman ringan, dan sebagainya. Pun demikian dengan kakak lelaki (abang) saya, yang membuka usaha kafe di malam hari bersama dengan teman-teman sekolahnya. Bisa dibilang, dulu toko usaha orang tua saya ini termasuk laris dan banyak pelanggan, khususnya dari kalangan tetangga sendiri, termasuk anak-anak yang seringkali membeli aneka jajanan yang terpampang rapi di etalase toko. Salah satunya seorang anak lelaki, kami biasa memanggilnya Tinus.

Meski saat itu saya masih remaja yang duduk di bangku SMU, namun hingga kini saya masih ingat betul perawakannya yang agak gemuk, menggemaskan, dan berambut ikal layaknya tokoh Ikal dalam film Laskar Pelangi. Dengan memakai kaos oblong dan celana pendek, disertai gayanya yang malu-malu, Tinus memilih jajanan di toko kami. Terkadang Tinus mengajak serta adik perempuannya (kalau tidak salah, kami biasa memanggilnya Monik). Anak lelaki ini begitu santun, dan tak lupa ucapan 'terima kasih' selalu keluar dari mulutnya begitu kami selesai melayaninya, meskipun sebenarnya kamilah yang mesti berterimakasih kepada setiap pelanggan.

Saat itu malam Natal (24/12) tahun 2000 jatuh di hari Minggu. Usia saya 17 tahun. Entah sedang apa saya saat itu, biasanya saat akhir pekan saya berlatih musik bersama teman-teman band, namun saya yakin saat itu sedang di rumah, mungkin sedang menonton program televisi yang biasa menayangkan film-film seru seputar Natal. Sontak terjadi hiruk-pikuk dan keributan, semua orang memasang wajah tegang dan mengobrol tak tentu arah. Sebagian lagi memperlihatkan raut ketakutan. Ternyata, telah terjadi beberapa ledakan di salah satu gereja terbesar di kota tempat saya tinggal saat itu, Mojokerto. Ledakan juga terjadi serentak di beberapa kota di Indonesia. Jelas sekali, malam itu menjadi salah satu malam terpanjang.

Beberapa hari setelahnya, kami mulai mendapat kabar, baik dari media massa maupun dari mulut-ke-mulut, korban jiwa dan luka-luka telah berjatuhan. Di antara korban jiwa, Tinus menjadi salah satunya. Sontak saja saya sangat shock dan tidak percaya mendengar kabar tersebut. Anak lelaki kecil yang santun, biasa membeli jajanan di toko kami, menjadi salah satu korban jiwa dalam ledakan bom oleh teroris biadab, di saat ia bersama orang tua dan adik perempuannya, beserta kerabat dan umat kristiani sedang menjalankan ibadah di malam Natal.

Memang setelah kejadian itu, tersiar kabar tentang gugurnya seorang Banser (Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama) bernama Riyanto yang rela menjadi 'tameng hidup' demi melindungi orang-orang (khususnya jemaat gereja) dari ledakan bom, tapi kematian Tinus-lah yang paling menyita perhatian saya. Apalagi kabar yang beredar menyebutkan bahwa bom dibungkus secantik mungkin layaknya kado Natal yang tentu saja menarik perhatian anak-anak. Saya sempat mendengar, bungkusan 'kado' itu sempat dipegang dan dimainkan oleh (alm.) Tinus.

Hampir dua dekade berlalu. Sesaat kita telah melupakan kejadian teror malam Natal tahun 2000. Hingga akhirnya, negeri ini kembali diguncang dengan teror semacam itu. Minggu (13/11/2016), bom molotov meledak di Gereja Oikumene di Samarinda. Kembali anak-anak menjadi korban. Pelaku berhasil ditangkap dan disinyalir sengaja menargetkan anak-anak sebagai korbannya. Ternyata pelaku adalah mantan narapidana terkait kasus yang sama: terorisme.

Empat balita menderita luka bakar yang sangat parah. Bahkan, salah satu korban, Intan Olivia Marbun (2,5 tahun), harus meregang nyawa setelah sekitar 14 jam menahan pedihnya luka bakar 80%, tubuh mungilnya menyerah dan tak sanggup lagi. Tak seperti kasus tahun 2000 lalu, tagar #RIPIntan kini membanjiri seluruh media sosial. Publik menaruh perhatian lebih banyak di era keemasan media sosial dan internet.

Intan Olivia, korban tewas bom Gereja Oikumene, Samarinda
Intan Olivia, korban tewas bom Gereja Oikumene, Samarinda. Sumber: detik.com (tanggal akses: 17 November 2016)


Kembali ke pelaku teror bom Gereja Oikumene. Juhanda merupakan mantan napi dalam kasus yang sama: terorisme. Fakta ini ditambah dengan saat ditangkapnya ia mengenakan kaus bertuliskan "Jihad, way of life', menegaskan bahwa program deradikalisasi tidak efektif mengubah pemikiran teroris. Apalagi mereka kini menargetkan anak-anak dan menyerang langsung tempat ibadah.

Menurut saya, disamping korupsi masif, dan narkoba, terorisme juga merupakan salah satu jenis kriminalitas yang menimbulkan dampak signifikan, sehingga tidak pantas diberikan pengampunan. Para pelaku teror biasanya menyebut aksinya sebagai 'Jihad', maka sekiranya sudah menjadi misi kita untuk 'membantu' mereka lebih cepat menemui Tuhan. Menurut saya, hukuman yang setimpal dan pantas adalah eksekusi mati.

"Forgiveness is between them and God. I just here to set-up the meeting." 
(John Creasy - Man on Fire)

Juhanda, pelaku teror bom Gereja Oikumene Samarinda
Juhanda (kanan), pelaku teror bom Gereja Oikumene di Samarinda. Sumber: tempo.co (tanggal akses: 17 November 2016)


Semoga tak akan ada lagi aksi-aksi terkutuk semacam ini, tak ada lagi korban yang meregang nyawa sia-sia, khususnya anak-anak. Cukup sudah Tinus dan Intan menjadi martir yang (semoga) membuka mata hati kita akan indahnya kedamaian, meskipun kita tinggal di negara yang sangat majemuk, baik dalam hal suku, ras, maupun agama. Bhinneka Tunggal Ika hendaknya dipahami dan diresapi maknanya oleh setiap rakyat Indonesia, khususnya mereka yang merasa diri sebagai titisan nabi, utusan Tuhan, atau orang suci.

#RIPIntan, #RIPTinus, #RIPRiyanto. Jangan ada lagi tagar-tagar #RIP yang lain akibat terorisme. Untuk korban anak-anak yang lain: Trinity Huyahayan (3 tahun), Alvaro Aurrelius (4), dan Anita Kritobel (2), semoga lekas sehat kembali. Khusus untuk Trinity, menurut dokter, mengalami luka bakar mencapai 50 persen dan kemungkinan tidak akan sembuh dengan sempurna. Semoga kalian akan selalu dikenang sebagai pahlawan dan mendapat perhatian dan kasih sayang lebih, terlebih dari pemerintah. Maafkan kami, orang-orang dewasa yang tidak mampu menjaga kalian, tidak memberikan teladan kepada kalian tentang betapa indahnya hidup rukun dalam keberagaman.

Anak-anak korban teror bom Gereja Oikumene, Samarinda
Anak-anak korban teror bom Gereja Oikumene, Samarinda. Sumber: bangka.tribunnews.com (tanggal akses: 17 November 2016)


Catatan penulis: Blog ini ditulis di siang hari yang sejuk, dengan sarat emosi, perasaan yang bercampur aduk, marah, dan sedih di saat yang sama. Mata saya berkaca saat menulis ini. Jangan ada lagi korban anak-anak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Ada Cerita Dibalik Secangkir Kopi Lintong dan Bolu Labu di Omerta Koffie