Mengoleksi Buku, Mengabadikan Ilmu
Sunmore (san.mo.ri). Begitu saya memberikan nama kepada rutinitas yang saya lakukan setiap hari Minggu pagi: membaca buku. Sunmore merupakan akronim dari Sunday Morning Read.
Sebenarnya kebiasaan membaca buku saya lakukan hampir setiap hari; biasanya menjelang tidur malam hari. Namun Sunmore merupakan agenda wajib yang pantang dilewatkan.
Saat akhir pekan, biasanya anak-anak bangun tidur lebih siang. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk membaca buku. Spot favorit saya adalah di meja kamar, sambil duduk di bean bag, dekat dengan jendela sehingga saya mendapatkan cukup cahaya mentari yang hangat, dan terkadang sesekali saya mengagumi tanaman di depan rumah yang bergoyang diterpa angin semilir pagi hari. Tak lupa, secangkir kopi hangat melengkapi me time versi saya. Aah, nikmatnya!
Selain menulis, menggambar dan membaca juga sudah menjadi hobi saya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan pada saat itu saya menulis sebuah novel misteri berisi rangkaian cerita pendek. Saya juga menggambar komik komedi, dan sekali waktu pernah menggambar komik aksi silat yang saya gambar dan warnai sendiri, kemudian saya jual kepada teman-teman di sekolah.
Tulisan terkait: Apa Tujuanmu Menulis? (Menyambut Hari Blogger Nasional)
Kebiasaan menulis dan menggambar ini terus berlanjut hingga ke bangku SMA. Beberapa kali saya diikutsertakan dalam lomba menggambar dan menulis di sekolah. Sekali waktu saya terpilih bersama beberapa siswa dari sekolah lain untuk melukis tema alam pada suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh The United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) dan AusAID—sebuah lembaga dari Australia yang tugasnya memberikan bantuan bagi negara miskin dan berkembang. Momen paling berkesan yakni saat seorang asing berkeliling sambil melihat-lihat kami melukis. Kemudian ia pun menghampiri saya, melihat lukisan saya yang baru setengah jadi, dan berkata "Wow, this is looks good." Agak menyesal juga saya tidak mengembangkan bakat melukis saya kemudian.
Bakat menggambar saya kini tak terlalu banyak digunakan. Sesekali saya masih menggambar untuk anak-anak apabila mereka meminta saya menggambar sesuatu untuk tugas sekolah, atau hanya sekadar memenuhi permintaan iseng mereka yang hanya mau menguji kemampuan ayahnya saja.
Indeks Literasi dan Minat Baca
Menulis dan menggambar seringkali menjadi agenda dalam sebuah lomba atau kompetisi. Namun jarang sekali saya mengetahui ada lomba membaca atau mereviu buku. Padahal membaca adalah akar dari tulisan. Orang yang suka menulis saya yakin pasti juga suka membaca. Namun buku—dan apapun bentuk aktivitas untuk memanfaatkannya—jarang sekali mendapatkan apresiasi dan panggung untuk show off dan mendapatkan apresiasi.
Tak heran sih, berdasarkan data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% atau 1:1.000 dari jumlah seluruh Warga Negara Indonesia. Artinya, kalau saya suka membaca, maka kemungkinan 999 orang di sekitar saya tidak suka membaca, atau di antara seribu orang, hanya satu yang suka membaca. Ya, memprihatinkan, bukan?! Ditambah lagi jika kita mengacu pada data Program for International Student Assessment (PISA) Tahun 2022 yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia menempati peringkat ke-71 dari 81 negara yang menjadi objek penelitian. Bagi saya, ini adalah sebuah tragedi yang dibiarkan terus saja terjadi hingga saat ini.
Berita baiknya, peringkat ini naik jika dibandingkan dengan studi yang sama tahun 2018 (peringkat ke-76). Maka kemungkinan kita sudah berada di jalur yang benar untuk membenahi tingkat literasi membaca kita. Yang diperlukan adalah kemauan (willingness) kita untuk membiasakan diri membaca. Tak harus buku, bisa juga majalah, koran, atau novel sekalipun. Namun sebisa mungkin kurangi membaca artikel dalam bentuk daring. Alasannya, otak manusia gampang melupakan apa yang tersaji secara digital. Gawai membuat fokus kita berkurang. Studi terhadap hal ini bukan hanya dilakukan satu atau dua kali, dan semuanya memberikan konfirmasi hasil yang sama. Studi yang paling relevan adalah yang dilakukan oleh Virginia Clinton pada tahun 2019, yang dituangkan dalam jurnal berjudul 'Reading from paper compared to screens: A systematic review and meta-analysis'.
Secara garis besar, jurnal tersebut menjelaskan bahwa informasi yang dibaca melalui media yang dicetak (kertas) lebih mudah untuk dipahami dan diingat, dibandingkan dengan informasi yang tercantum pada gawai. Hasil yang sama didapatkan apabila pembaca diberikan batas waktu untuk membaca dari kedua jenis media. Artinya, jika kita diberikan waktu hanya satu jam untuk membaca sebuah buku berjudul sama versi cetak/fisik dengan versi digital, dengan asumsi jumlah halaman yang dibaca sama, maka kita akan lebih mudah mengingat dan memahami informasi yang disajikan melalui media cetak. Perbandingan keduanya sebesar 69:58 persen.
Membaca itu Sebuah Keterampilan
Saya membaca apapun yang saya bisa, mulai dari potongan koran untuk bungkus nasi goreng, coretan anak-anak saya, jurnal anak (dengan izin; dan apabila mereka minta direviu), kemasan produk saat belanja di supermarket, dan banyak lagi. Namun tak ada yang mengalahkan sensasi membaca dari sebuah buku. Kebetulan saya paling menyukai buku bergenre pengembangan diri, kepemimpinan (leadership), pengelolaan keuangan dan investasi, serta biografi tokoh legendaris. Intinya, saya menyukai buku nonfiksi karena pengalamannya nyata—benar terjadi. Tidak seperti buku novel, apalagi komik.
Saat ini saya juga masih dalam tahapan membangun perpustakaan mini pribadi di rumah, dan melengkapi koleksi buku-bukunya. Membeli buku baru merupakan agenda rutin saya setiap bulan atau setiap kali melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Saya memiliki budget sendiri untuk membeli buku. Bagi saya, buku adalah instrumen investasi, bahkan bisa dibilang buku adalah media investasi terpenting, yaitu investasi kepada pengembangan diri pribadi dan keluarga saya. Merawat buku yang menjadi koleksi perpustakaan mini di rumah memberikan kesenangan dan hiburan tersendiri bagi saya. Jika diminta memilih, apakah saya ingin 'memamerkan' televisi canggih dengan ukuran besar, atau 'memamerkan' koleksi buku-buku saya di ruang tamu,... saya rasa Anda sudah tahu jawabannya.
Walk the talk. Kebiasaan membaca buku juga berusaha saya tularkan ke orang-orang terdekat, terutama kepada anak-anak. Setiap kali saya berburu buku baru di toko buku, saya bebaskan anak-anak memilih buku untuk mereka sendiri, tentu saja disesuaikan dengan usia dan minat, serta sebisa mungkin harus buku-buku edukatif. Saya juga terkadang membacakan buku-buku cerita untuk anak-anak saya menjelang tidur malam. Dengan cara ini, sebenarnya saya sudah menanamkan rasa cinta pada buku kepada anak-anak.
Saya juga bergabung sebagai anggota komunitas Perpustakaan Kementerian Keuangan. Sayangnya saat ini keberadaan perpustakaan fisik sepertinya belum menjadi prioritas pada unit kerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Keberadaan ruang perpustakaan seperti hanya sebagai pelengkap saja. Koleksi buku yang ada juga lebih banyak terkait koleksi peraturan dan laporan yang membosankan dan tidak menarik.
Perpustakaan harus menyediakan buku-buku yang menarik minat pengunjung. Perpustakaan harus dikelola sedemikian rupa agar pengunjung merasa nyaman. Untuk itu, diperlukan tim dan upaya khusus untuk memberdayakan perpustakaan sekaligus menanamkan kebiasaan membaca di lingkungan unit kerja. Saya percaya, pegawai yang terliterasi dengan baik adalah pegawai yang lebih mungkin memberikan manfaat lebih baik dan lebih banyak bagi organisasi.
Layaknya sebuah seni, membaca buku itu sebuah keterampilan. Ia akan terus berkembang jika semakin sering dilatih dan dibiasakan. Saya percaya, seperti keterampilan lainnya, kebiasaan membaca buku tak perlu buru-buru selesai, ia berproses. Tak perlu menargetkan seberapa lama sebuah buku diselesaikan, namun targetkan untuk tidak pernah berhenti membaca buku. Jika kita benar-benar mencintai kebiasaan ini, tak ada istilah 'Reading Slump'—kondisi saat seseorang kehilangan minat membaca buku. Bagi saya, reading slump adalah sebuah mitos. Saya mencintai buku-buku, tapi saya lebih mencintai aktivitas membacanya.
Buku Sumber Ilmu dan Inspirasi
Membaca buku memberikan banyak ilmu dan inspirasi. Saya mengetahui bahwa pola pikir menentukan bakat dan prestasi kita dari buku 'Mindset' karya Carol Dweck. Saya juga mengetahui bahwa kesuksesan kita bukan berasal dari bakat yang kita bawa sejak lahir, melainkan dari serangkaian proses belajar tiada henti, ketekunan, dan kerja keras dari buku 'Grit' karya Angela Duckworth.
Saya memahami bahwa strategi berinvestasi di pasar modal bukan soal timing the market, melainkan time in the market salah satunya dari buku 'I Will Teach You to be Rich' karya Ramit Sethi. Saya memahami bahwa mengakumulasi aset secara kontinu dan konsisten merupakan cara terbaik untuk meraih kekayaan finansial melalui buku 'Just Keep Buying' karya Nick Maggiulli. Sedangkan buku 'The Psychology of Money' karya Morgan Housel memberitahu saya bagaimana orang-orang memandang uang dan kekayaan. Robert Kiyosaki dalam buku 'Rich Dad Poor Dad' mengajarkan pada saya bahwa untuk menjadi kaya, bukan soal berapa banyak penghasilan kita, melainkan berapa banyak pengeluaran dan berapa banyak uang yang kita simpan.
Terkait kepemimpinan, saya belajar diantaranya dari buku 'Multipliers' karya Liz Wiseman, bahwa pemimpin terbaik adalah mereka yang mendukung dan mengembangkan pengikutnya (multipliers), bukan malah mematikan potensi mereka (diminishers). Saya juga menyadari bahwa menjadi pemimpin itu bukan soal jabatan, melainkan pengaruh, dari buku 'The 360° Leader' karya John C. Maxwell.
Intinya, saya mendapatkan banyak sekali ilmu dan inspirasi dari buku-buku. Dan bagian yang tak kalah penting, saya dituntut untuk selalu bersedia memikirkan ulang setiap informasi dan asumsi yang saya terima dan dapatkan dari buku-buku, apakah masih relevan dengan kondisi dan dinamika yang terjadi. Ironisnya, saya juga belajar berpikir dan menimbang ulang semua informasi dan asumsi tersebut dari buku lainnya, yaitu 'Think Again' karya Adam Grant. Sekali lagi, buku selalu menyediakan informasi dan studi yang relevan, dan terkadang banyak di antaranya saling berhubungan. Kita hanya perlu meluangkan waktu untuk membacanya.
Seperti kata seorang kenalan saya, membaca buku itu bagus namun tetap harus memperhatikan ilmu yang diajarkannya, apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dengan kata lain, membaca tidak boleh hanya sekadar membaca, namun juga menggunakan proses berpikir. Artinya, dengan membaca, kita sebenarnya juga melatih otak kita untuk berkembang melalui proses berpikir yang runtut dan sistematis. Saya sepenuhnya setuju. Pun demikian saat mempraktikkan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan melalui buku, sebenarnya saya sedang melatih diri tanpa henti untuk berkembang karena sesungguhnya ilmu tidaklah bermanfaat kecuali ia digunakan untuk membantu sesama.
Akhir kata, saya harap kita adalah satu di antara seribu orang yang melek literasi membaca buku. Bacalah buku supaya memperoleh ilmu, dan koleksilah buku untuk mengabadikan ilmu.
"Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta!" (Najwa Shihab, Duta Baca Indonesia)
Catatan: Tulisan ini juga telah dipublikasikan pada rubrik Ruang Kita Buletin PASKAL JABAR (Profil APBN dan Analisis Kinerja Fiskal Jawa Barat) edisi Triwulan I Tahun 2024.
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.