Cerita Pre-Partum Blues yang Akhirnya Menghampiri Istri
Sebelum menulis lebih jauh tentang Pre-Partum Blues yang kemungkinan menghampiri istri, saya akan terlebih dahulu menjelaskan mengenai definisi sindrom ringan yang satu ini. Jika mungkin Anda lebih familiar dengan istilah Baby Blues Syndrome, yaitu kondisi saat ibu merasa gelisah, cemas, dan/atau emosional pascamelahirkan akibat faktor hormonal. Maka pre-partum blues adalah kondisi yang mirip namun dialami saat sebelum persalinan. Kenapa saya sebut sindrom ringan? Karena ini hanya masalah hormonal atau sifatnya bukan kronis, dan berlangsung sementara. Tingkatan lebih lanjut bukan lagi disebut sindrom, melainkan depresi. Kecemasan yang dirasakan istri juga tidak menyasar ke banyak hal, melainkan lebih kepada kecemasan pada kondisi anak pertama kami yang kini berusia tiga tahun.
Anak pertama kami—perempuan—merupakan anak yang cerdas dan energik, karena kami sudah memberikannya kasih sayang yang terbaik sejak di dalam kandungan, bukan hanya dalam bentuk materi, tapi juga afeksi. Sejak dalam kandungan, istri selalu menjaga asupan nutrisi: mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, termasuk memilih susu bayi yang menurut kami paling komplit kandungan gizinya (saya membandingkan banyak produk susu dengan membaca detail nutrisi pada labelnya masing-masing). Selain itu kami juga memeriksakan kandungan pada dokter spesialis obgin yang terbaik menurut kami, tak lupa alunan musik klasik yang mengalun lembut melalui headphone langsung diperdengarkan pada bayi sejak dalam kandungan. Saat lahir pun, kami berusaha untuk memberinya kasih sayang sebanyak mungkin, hingga saat ini tak pernah sekalipun saya menyakiti putri kami secara fisik. Bahkan saya rela bertingkah seperti anak-anak hanya agar si kecil bisa merasa senang dan nyaman bermain. Saya rela harga diri saya sebagai pria dewasa 'tersungkur' demi kebersamaan yang berkualitas dengan keluarga.
Anak pertama kami—perempuan—merupakan anak yang cerdas dan energik, karena kami sudah memberikannya kasih sayang yang terbaik sejak di dalam kandungan, bukan hanya dalam bentuk materi, tapi juga afeksi. Sejak dalam kandungan, istri selalu menjaga asupan nutrisi: mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, termasuk memilih susu bayi yang menurut kami paling komplit kandungan gizinya (saya membandingkan banyak produk susu dengan membaca detail nutrisi pada labelnya masing-masing). Selain itu kami juga memeriksakan kandungan pada dokter spesialis obgin yang terbaik menurut kami, tak lupa alunan musik klasik yang mengalun lembut melalui headphone langsung diperdengarkan pada bayi sejak dalam kandungan. Saat lahir pun, kami berusaha untuk memberinya kasih sayang sebanyak mungkin, hingga saat ini tak pernah sekalipun saya menyakiti putri kami secara fisik. Bahkan saya rela bertingkah seperti anak-anak hanya agar si kecil bisa merasa senang dan nyaman bermain. Saya rela harga diri saya sebagai pria dewasa 'tersungkur' demi kebersamaan yang berkualitas dengan keluarga.
"No matter how old you are, or how badass you are, if a toddler hands you a toy phone, ... you answer it!"
Hal-hal inilah yang membangun kedekatan di antara putri kami dan orang tuanya. Sehingga terkadang kami mencemaskan apakah kualitas hubungan semacam ini masih bisa diberikan pada putri kami jika nanti adiknya sudah lahir. Karena di beberapa kesempatan si kecil pernah berujar bahwa ia tak ingin berbagi waktu dan kasih sayang orang tua bersama adiknya. Reaksi-reaksi negatif ini memicu pemikiran negatif pula pada istri, meskipun reaksi negatif yang sama belum tentu ditunjukkan saat hari kelahiran itu tiba. Dan berbagai macam pemikiran negatif itu sepertinya memicu pre-partum blues, di mana istri saya akan merasakan perasaan menyesal dan kesedihan yang berlebihan seusai menegur atau memarahi putri kami, serta mencemaskan hal-hal yang belum
Saya pikir kekhawatiran itu hal yang wajar meskipun seharusnya tidak perlu sampai berlebihan (meski tak bisa menyalahkan istri sepenuhnya karena alasan hormonal). Seperti yang saya tulis sebelumnya, kita seharusnya tak perlu cemas berlebihan karena hal yang dicemaskan pun belum tentu akan terjadi. Selama kita sudah menyusun rencana dan mempersiapkan diri, saya pikir tinggal menunggu waktu saja. Sedangkan untuk menyambut kelahiran buah hati kedua, kami sudah mempersiapkan segala macam, termasuk mempersiapkan mental si sulung dan mental kami sendiri sebagai orang tua.
Sudah tiga tahun kami mendidik Kakak dan memberikan pelajaran mendasar tentang hidup, mayoritas berisi tentang kasih sayang dan kesediaan untuk berbagi, serta peduli pada sesama makhluk hidup. Pelajaran-pelajaran itu menjadi fondasi awal bagaimana ia membentuk pola pikir dan hati nuraninya. Pelajaran-pelajaran dasar itu yang kami bisa dan kami maksimalkan. Saya yakin, jika hanya untuk kesiapan menyambut adiknya, maka si sulung sudah siap, karena saya yakin telah menjadi orang tua yang baik.
Selanjutnya saya berharap istri bisa memfokuskan diri kepada persiapan persalinan, termasuk tidak terlalu mencemaskan berbagai hal karena bagaimanapun kondisi istri juga akan berimbas pada kondisi janin. Kesehatan dan keselamatan seharusnya menjadi prioritas saat ini hingga nanti saat masa persalinan itu tiba. Si kakak akan paham.
"Rumah adalah tempat di mana anak-anak pertama kali belajar bagaimana membatasi keinginan mereka, mematuhi aturan, dan memikirkan hak dan kebutuhan orang lain." (Sidonie Gruenberg, penulis buku Your Child Today and Tomorrow).
Selanjutnya saya berharap istri bisa memfokuskan diri kepada persiapan persalinan, termasuk tidak terlalu mencemaskan berbagai hal karena bagaimanapun kondisi istri juga akan berimbas pada kondisi janin. Kesehatan dan keselamatan seharusnya menjadi prioritas saat ini hingga nanti saat masa persalinan itu tiba. Si kakak akan paham.
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.