"Yank, Masakanmu Buruk!"

Berumahtangga itu membosankan. Setiap hari yang saya lihat di rumah adalah wajah pasangan, bukannya makin muda malah makin mirip Mak Lampir. Bukannya senang, malah buat bosan.

Saat menulis ini, tepat delapan tahun saya membina rumah tangga. Dalam budaya Tionghoa, angka ini—yang juga tanggal ulang tahun saya—dipercaya bisa memberikan banyak keberuntungan. Delapan tahun itu waktu yang belum lama memang, tapi setidaknya sudah melewati tahun kelima, dimana banyak orang bilang, di saat itulah fase ujian perkawinan sesungguhnya dimulai, dan kepribadian asli pasangan hidupmu terlihat jelas. Mungkin saja benar. Untungnya, saya dan istri melewati proses pacaran yang cukup lama, jadi paling tidak kami sudah mengenal karakter masing-masing.

Berumahtangga itu membosankan. Setiap hari yang saya lihat di rumah adalah wajah pasangan, bukannya makin muda malah makin mirip Mak Lampir. Bukannya senang, malah buat bosan. Setiap hari juga hidup dengan kebisingan anak-anak yang berlarian dan berteriak di dalam rumah. 'Bandit-bandit' cilik ini seenaknya mencoret-coret dinding rumah. Saat sedang asyik menikmati acara televisi kesukaan kita, mereka tiba-tiba merengek ingin menonton saluran kegemarannya. Menikah itu menghabiskan uang yang Anda hasilkan bukan untuk kesenangan diri sendiri. Kesimpulannya: Menikah itu stressful.

Ya, kalau Anda berpikir begitu, mungkin selama ini Anda menjalani kehidupan rumah tangga dengan cara mainstream alias biasa saja. Hidup berumahtangga itu harus extraordinary, harus menginspirasi,  sebisa mungkin mind-blowing, dan terkadang bahkan harus terkesan menabrak batas-batas kewajaran dan kultur etiket. Bagi saya, tak apa sesekali menjadi kontoversial, justru di sinilah seninya.

Rumah tangga itu ibarat kanvas, keluarga adalah hasil karyanya, dan kitalah senimannya. Banyak pelukis di luar sana, tapi kenapa namanya tidak tenar? Karena mereka menghasilkan karya yang mirip, sudah umum, mainstream. Dari begitu banyaknya seniman, hanya satu atau dua orang yang karyanya digelari masterpiece. Karya ini bisa dihargai sangat mahal. Jadikan rumah tangga dan keluarga Anda masterpiece, jadikan keluarga Anda inspiratif!

Setiap seniman memiliki strategi berbeda dalam membuat masterpiece, tergantung bagaimana karakter masing-masing individu. Jujur saja, saya dari dulu lebih suka yang sedikit kontroversial. Masa muda saya yang penuh petualangan tentu saja membuat kontroversi ini menjadi seperti candu. Maka dari itu, 'pencitraan terbalik' adalah teknik yang saya gunakan untuk membunuh kejenuhan dalam berumahtangga.

"Yank, masakanmu buruk. Buatku mau muntah aja! Ini kuhabiskan biar yang lain gak ikut ngerasain deritanya. Besok coba masak ini lagi, mana tahu lebih enak," ucapan saya setelah makan masakan istri.
"Apa jadinya rumah (tangga) ini tanpaku?" Saya mengucapkan itu saat selesai membersihkan rumah... seminggu sekali.
"Badan gembrot kayak gitu, gak usah sok-sokan kayak masih gadislah!" celoteh saya saat istri merasa bangga baju masa mudanya masih muat dikenakan.
"Jangan sampai aku minta pijat sama istri kedua atau ketigaku ya!" ancam saya saat istri menolak memijat punggung saya.

Sadis ya?! Tapi itu memang kenyataan. Kalau tidak percaya, silakan tanyakan ke istri saya. Bagaimana responsnya? Ia sih tenang-tenang saja, terkadang malah tertawa. Sepertinya sudah kebal... atau malah gangguan jiwa.

Chicken Chop Gomak Food


Bukan berarti kehidupan rumah tangga saya tenang-tenang saja. Seperti layaknya rumah tangga, perselisihan dan argumentasi sesekali terjadi, meski tak pernah sampai menguras energi kami sampai berhari-hari lamanya. Kami juga saling belajar untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik dan memahami karakter masing-masing. Paling tidak, dengan pencitraan terbalik, saya tak perlu terbebani menunjukkan sosok keluarga yang sempurna. Di dunia yang semakin transparan ini, saya percaya bahwa sebagian besar manusia akan mem-branding dirinya sebaik mungkin untuk terlihat baik, terlepas dari apapun motif yang ingin dicapainya: mengesankan orang lain, hanya sekedar pamer, agar terlihat kaya, ingin dipuji, dan semacamnya.

Kami hanya berusaha tampil apa adanya di depan orang lain: bahwa keluarga kami juga tak sempurna, tak apa menjadi tak sempurna karena manusia itu justru sempurna dengan segala kekurangannya. Momen romantis dan berkualitas cukuplah hanya anggota keluarga yang tahu dan merasakan. Hal-hal semacam ini justru bisa menjadi bumerang bila dipublikasikan.

Baca juga: Lidah Silet, Matre, Hidup Sederhana, dan Kebahagiaan 




Saya seringkali menggunakan pencitraan terbalik ini di media sosial. Apa tidak khawatir dilihat keluarga yang lain? Tidak. Saya menjalani hidup bukan berdasarkan penilaian orang lain. Pengalaman-pengalaman saya di masa lalu telah membuat saya bisa melewati level itu. Pendapat orang lain tak lagi penting bagi saya, bahkan orang tua sekalipun, karena saya menyadari bahwa esensi dari baik atau buruknya seseorang itu bukan dari apa yang dilakukan dan/atau diucapkannya di depan Anda, tapi apa yang dilakukan dan/atau diucapkannya di belakang Anda. Itulah mengapa saya sering merundung istri saya di media sosial dan bahkan di depan keluarga yang lain. Dan saya yakin, saat ini ia sudah mencapai level yang sama seperti saya. Saya pastikan mentalnya setangguh baja dan bukan perempuan cengeng yang hanya bisa meratapi nasib dan kodratnya.

Namun, pencitraan terbalik yang saya terapkan bukan lantas membuat saya aman. Terkadang malah beberapa orang menyampaikan kritik dan emosinya kepada saya. Tak apa, saya memang berengsek, meski mereka lebih berengsek karena mengkritik tanpa mengenal keluarga kami! Sudah semestinya kita terus berlalu meski anjing menggonggong, bukan begitu?!



Namun pencitraan terbalik tentang keluarga tak pernah saya terapkan saat menulis di blog. Kenapa? Karena bagi saya, blog bisa bercerita lebih banyak daripada media sosial. Blog bisa seutuhnya menjadi media bagi saya untuk menginspirasi. Selain itu, dengan menulis di blog, bisa merefeleksikan intelektualitas saya dalam berpikir runtut. Intinya, tulisan-tulisan saya di blog ini adalah warisan sekaligus portofolio; sebuah peninggalan jejak yang sampai kapanpun bisa dinikmati oleh lintas generasi, khususnya keturunan saya.

baca juga: Apa Tujuanmu Menulis? (Menyambut Hari Blogger Nasional)

Saya tak menyebut rumah tangga saya masterpiece, setidaknya tidak untuk publik. Rumah tangga saya adalah kanvas saya. Teknik saya melukisnya tak perlu diekspos ke masyarakat. Cukuplah lukisan ini saya dan keluarga yang menikmatinya. Jangan sesekali Anda menirukan cara saya, bisa-bisa keluarga Anda bubar betulan!

Setidaknya dengan cara ini, kami bisa terus terhibur melewati fase pertama berumahtangga tanpa harus saling membunuh... Setidaknya belum. 😅

Catatan: Saat ini istri sedang membuka dan menjalankan bisnis kuliner 'terbatas' (hanya melayani sistem preorder dengan kuota). Silakan kunjungi Gomak Food di Google Bisnis atau Instagram.

Komentar

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)