Selamat Hari Jadi Kota Medan ke-430: Sekelumit Cerita Lama Tentang Kenakalan

Artikel ini ditulis tepat di hari ulang tahun Kota Medan ke-430.

Perasaan saya bercampur aduk saat membaca isi surat keputusan penempatan tugas yang menempatkan saya di Kota Medan tahun 2003 silam. Senang karena Medan merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa; sedih karena terbayang akan meninggalkan kedua orang tua dan saudara serta keluarga besar di Jawa Timur; sekaligus ngeri karena citra Kota Medan yang terkesan sangar dan keras. Bagaimanapun, tugas adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Saya pun berangkat bersama dengan keempat kawan seangkatan yang lain.

Tapi kali ini saya tidak akan bercerita tentang pekerjaan, hanya sedikit nostalgia. Bagi saya, Kota Medan itu seperti kampung halaman sendiri. Bahkan saya mengenal Kota Medan lebih baik ketimbang kota kelahiran dan tempat saya dibesarkan: Mojokerto. Banyak prestasi dan anugerah yang saya dapatkan selama tinggal di sana sekitar satu dekade: keluarga, gelar sarjana, jabatan di komunitas, nama baik, dan sebagainya. Sedikit-banyak, Kota Medan telah turut membangun karakter diri saya.

Mari mulai dari pendidikan. Saya meraih gelar sarjana melalui kuliah strata 1 jurusan Ekonomi Manajemen di salah satu kampus swasta terpopuler di Kota Medan. Tapi alasan saya kuliah di sana bukan karena reputasinya, melainkan karena jaraknya yang dekat dari kantor, dan jadwal perkuliahan reguler selepas jam kerja sangat mendukung bagi saya yang sejak pagi hingga sore hari harus bekerja. Awalnya saya mengambil Fakultas Bahasa Inggris dan sempat mengikuti perkuliahan beberapa lama, sampai kemudian salah seorang kawan lama di Kantor Pusat mengatakan bahwa jurusan Bahasa Inggris tidak relevan dengan bidang tugas saya yang saat itu banyak mencakup akuntansi dan pengelolaan keuangan negara. Berikutnya, saya pun pindah ke Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen, masih di kampus yang sama.

Saya baru sadar kenapa kampus tersebut jadi salah satu yang populer di Medan setelah menempuh kuliah di sana. Ternyata ada alasan kenapa biayanya relatif lebih mahal dari kampus 'biasa-biasa saja'. Selain orientasinya yang memang sangat mendukung bagi para profesional atau mereka yang sudah bekerja, boleh dibilang para mahasiswa di sana adalah sebuah etalase berjalan—khususnya para mahasiswi. Kebanyakan mereka bergaya dan berpakaian bak model atau artis, meskipun sebenarnya banyak juga yang justru terkesan norak dan berlebihan. Nyatanya, saat ini yang benar-benar menjadi model atau artis hanya beberapa saja, itupun hanya sekelas sinetron, FTV, model klip video musik, pembawa kuis selingan di acara olahraga, atau jika kamu beruntung maka bisa melihat mereka berpose untuk majalah pria dewasa. Bagi para pria, kampus itu seperti surga dunia dan tempat 'cuci mata'—setidaknya itu hal yang sering saya dengar dari teman-teman.

Lingkungan dan cara pergaulan di kampus, khususnya di masa awal perkuliahan, membuat saya lupa diri. Saya lebih banyak menghabiskan waktu nongkrong di warung kopi (warkop) atau kafe di sekitar kampus saat jam kuliah. Selain letaknya di pusat kota, kebetulan kampus itu terkenal dengan deretan warkop dan kafe di sekitarnya. Tempat anak muda Medan nongkrong ini mayoritas buka 24 jam. Untuk urusan presensi di kelas, saya seringkali titipkan ke teman yang rajin saat itu. Istilah Medannya: TA 'Titip Absen'. Jadi walaupun bolos, nama saya tetap tercatat di daftar hadir. Di masa inipun saya mengenal kehidupan malam Kota Medan yang gemerlap dan menjanjikan kesenangan sesaat, khususnya di saat akhir pekan. Bagian ini tak perlu dijelaskan lebih lanjut. Yang jelas, deretan warkop di sekitar kampus tadi kerap jadi tempat 'menenangkan pikiran dan mendinginkan badan' bagi para remaja sepulang clubbing saat dini hari.

Meskipun sedikit bandel dan malas, tapi bisa dibilang saya merupakan mahasiswa yang cerdas dalam mata kuliah tertentu. Apalagi dengan label sebagai alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang melekat pada diri, saya punya "keistimewaan" di mata beberapa dosen dan teman-teman. Tentunya kecerdasan ini tak berlaku dalam mata kuliah Bahasa Mandarin. Setiap kali belajar Bahasa Mandarin, saya selalu absen atau tidur di kelas karena saya sama sekali tidak bisa memahami. Bagaimana mau paham, saya hampir tak bisa membedakan antara aksara Han, Hangeul, dan Romaji. Bahkan saat ujian Bahasa Mandarin, saya terang-terangan mencontek teman-teman yang beretnis Tionghoa. Saat pengawas ujian tahu, alasan saya sederhana saja, "Kan saya bukan orang Tionghoa, Pak!" Meskipun sebenarnya saya masih ada darah Tionghoa dari Oma (Nenek) saya dari ibu.

Saya membuktikan sendiri betapa kuatnya toleransi di Kota Medan. Etnis pribumi yang didominasi oleh Suku Jawa, Batak, Melayu, dan Minang bisa hidup rukun dan berdampingan dengan Etnis Tionghoa dan Tamil. Tak pernah ada keributan rasial selama saya tinggal di sana. Dengan statusnya sebagai kota metropolitan yang terdiri dari masyarakat multietnis, saya mengacungkan jempol untuk hal ini.

Kembali lagi ke cerita kuliah. Buntut dari tabiat malas kuliah, saya terlambat lulus setahun dengan nilai IPK biasa saja, tak terlalu tinggi. Meskipun begitu, dengan kerja keras, saya berhasil menyusun skripsi yang kemudian menjadi salah satu skripsi terbaik, dan digunakan pihak kampus sebagai salah satu koleksi bahan referensi di perpustakaan. Boleh dibilang, skripsi saya sudah mirip dengan tesis untuk pascasarjana.

Cerita kenakalan saya berlanjut hingga saat momen seremonial kelulusan. Saat diwisuda saya tidak mengenakan dasi padahal instruksinya sudah tertulis di buku panduan. Alhasil saat prosesi seremonial oleh Ketua Jurusan yang sekaligus dosen pembimbing, saya sempat mendapatkan jeweran kecil di telinga. Saya ingat sebutannya pada saya saat itu: Pintar tapi malas. 'Reputasi' yang sama pernah saya dapatkan juga dari seorang guru semasa SMA.

Tak sampai di situ, saat di perjalanan pulang dari acara wisuda, saya masih sempat berkelahi di jalanan. Saya ingat saat itu di dekat persimpangan jalan Iskandar Muda—Jamin Ginting, laju saya dipotong dan hampir terserempet oleh salah seorang pengendara motor yang melanggar lampu lalu lintas. Saat saya peringatkan, anak muda itu malah memberi saya isyarat jari tengah. Karena tersinggung dan tersulut emosi, saya mengejarnya. Setelah terkejar, saya tarik ia dari atas motornya saat sedang berkendara. Bagian "terbaiknya": saya melakukan itu di depan mata kedua orang tua yang saat itu datang dari Jawa Timur untuk menghadiri acara wisuda. Bisa Anda bayangkan sendiri bagaimana reaksi syok ibu saya. Ya, sebandel itulah saya dulu. Lagipula, "Ini Medan, Bung!"

Oh ya, perkara pelanggaran lalu lintas ini, saat Anda sudah lama tinggal di Medan, Anda tak akan kesulitan menemukannya. Kebanyakan kesan pertama bagi para pendatang adalah lalu lintas Kota Medan yang kacau-balau: Angkot yang menaik-turunkan penumpang di atas trotoar atau di badan jalan; pengendara motor tanpa helm dan tanpa piranti pendukung keselamatan lain, cara berkendara layaknya pembalap; atau warna lampu lalu lintas yang hampir tidak ada bedanya (sepertinya ketiganya berwarna hijau). Dari sinilah muncul anekdot, "Jika bisa berkendara di Kota Medan, maka tak akan jadi masalah jika harus berkendara di kota lain."

Cecen Core & Friezcen - Bandara Kualanamu Medan
Kota Medan saat ini banyak berubah dibandingkan saat saya tinggal di sana beberapa tahun lalu. Pembangunan makin pesat. Salah satu yang paling saya ingat adalah bandaranya. Sebelum resmi beralih ke Kualanamu, dulu Kota Medan memiliki Bandara Polonia yang merupakan aset milik TNI AU. Letaknya di tengah kota dan tidak terlalu luas. Terminalnya—tak perlu ditanya—lebih mirip terminal bus antar kota ketimbang bandara (jangan tanya bagaimana rupa terminal busnya).

Polonia benar-benar tidak layak disebut bandara komersial. Saya ingat tahun 2005 saat maskapai Mandala Airlines gagal terbang dan menimpa permukiman warga. Kecelakaan menewaskan Gubernur Sumut saat itu, Tengku Rizal Nurdin, dan sekaligus mantan Gubernur Sumut lainnya, Raja Inal Siregar. Musibah itu jadi salah satu alasan pembangunan Bandara Kualanamu di Deli Serdang, bandara terbaik kedua menurut saya setelah Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.

Selain bandara modern, Kota Medan juga telah banyak memiliki pusat-pusat perbelanjaan modern dan apartemen-apartemen mewah. Meskipun demikian, nuansa adat tradisional tetap bisa tinggal berdampingan dengan perubahan zaman. Istana Maimoon dan Masjid Raya Al-Mashun sebagai ikon budaya Melayu, serta kawasan Kota Tua di Kesawan dengan arsitektur kolonialnya, masih berdiri dengan anggun di antara gedung-gedung pencakar langit. Anda bisa menikmatinya sambil terjebak kemacetan, tapi selalu waspada, bisa jadi angkot atau becak motor di depan Anda tiba-tiba berubah jalur tanpa isyarat (ingat anekdot berkendara tadi)!

Cecen Core - Masjid Raya Al-Mashun Kota Medan
Masjid Raya Al-Mashun Kota Medan. Foto diambil tahun 2011


Terlalu banyak kenangan saya dari Kota Medan untuk dituliskan di sini. Bagaimanapun, Medan akan selalu ada di hati. Ia bukan hanya sekadar kota yang memberikan sarat memori dan pengalaman, tapi juga tempat di mana saya menemukan tambatan hati dalam wujud seorang istri dan dua orang anak. Suatu hari nanti mungkin kami akan kembali lagi ke sana. Gagasan itu akan selalu ada karena saat ini kami juga terpikir untuk mengincar hunian dari salah satu pengembang properti di sana.

Baca Juga: Cerita Sedekade Seorang Insan Ditjen Perbendaharaan di Perantauan Pulau Sumatera

"Selamat Hari Jadi Kota Medan ke-430. Horas! Ucapkan dengan lantang dan bikin harimu tertantang. Sampai jumpa lagilah!"

Selamat Ulang Tahun Kota Medan ke-430 1 Juli 2020


Kumpulan Tulisan Pribadi tentang Kota Medan: silakan klik di sini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga