Dari Abang Kembali Menjadi Mas



Bagian I: Merantau

Hari itu, medio Januari 2018…
Seperti biasa, saya sedang duduk di meja kerja Seksi Verifikasi dan Akuntansi Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Banda Aceh, mengerjakan tugas, ketika tiba-tiba saya mendengar sorak-sorai rekan-rekan dari ruang Seksi Pencairan Dana yang letaknya bersebelahan dengan ruangan saya. Tak berapa lama, anak-anak muda itu menghampiri saya seraya mengucapkan, “Selamat ya, Bang!

Beberapa diantaranya berwajah riang, namun ada juga yang memendam semacam kesedihan. Mereka adalah para pegawai junior saya yang juga ditugaskan di KPPN Banda Aceh.

Abang akhirnya pulang kampung juga ke Surabaya. Pasti senanglah Abang,” ujar salah seorang anak muda. Ekspresinya memancarkan keceriaan.

Mendengar kata-katanya, saya seperti tersengat semacam energi, entah apa. Saya hanya terpaku menerima jabat tangannya. Sepersekian detik, pikiran saya seperti kesusahan mencerna informasi itu. Kata-kata sederhana, tapi akibatnya begitu dahsyat. Dalam waktu sepersekian detik itu, perasaan saya bercampur aduk—sedih, terkejut, namun kebanyakan senang. Seketika otak saya juga memproses begitu banyak kenangan selama lima tahun masa penempatan saya di ibu kota Provinsi Aceh. Begitu juga, kenangan selama 15 tahun bertugas di pulau Sumatera. 

Kemana abang pindah?,” tanya saya.

KPPN Surabaya II, Bang.

Akhirnya saya pulang kampung.

Lima belas tahun. Selama itulah waktu yang saya butuhkan untuk kembali ke kampung halaman. Saya dilahirkan di Kota Mojokerto 35 tahun lalu. Selepas lulus SMU tahun 2001, saya mulai merantau ke beberapa kota. Awalnya, saya melanjutkan pendidikan Program Diploma I Spesialisasi Kebendaharaan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat. Lalu setahun kemudian, setelah lulus, saya magang di Jakarta, tepatnya di Pusat Akuntansi dan Pembiayaan, Badan Akuntansi Keuangan Negara (AKBIA, BAKUN). Beberapa bulan kemudian, saya menerima Surat Keputusan (SK) Penempatan kerja pertama kali ke Kota Medan. Di ibu kota Sumatera Utara, saya mendapatkan banyak pelajaran hidup yang sangat berharga. Saya berkenalan dengan istri yang juga warga Medan, tepatnya bersuku Batak-Mandailing. Di tahun 2004 saya juga menjadi saksi reorganisasi beberapa unit eselon I Kementerian Keuangan—saat itu masih bernama Departemen Keuangan—termasuk BAKUN, menjadi unit eselon I baru dengan nama Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb).

Arisandy Joan Hardiputra & Epi Friesta Dewi Hasibuan - Sushi Tei Sun Plaza Medan
Saya dan pasangan di Sushi Tei, Medan. 12 Oktober 2011

Satu dekade, masa bekerja saya di Kota Medan. Bayangkan, dalam waktu selama itu, apa yang saya dapatkan? Sangat banyak. Bahkan bisa dibilang Medan adalah kampung halaman kedua bagi saya. Saya telah berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan setempat. Hal paling kentara tentunya dialek saya yang berubah menjadi “Medan kali” (sangat Medan). Banyak perbedaan budaya antara masyarakat Jawa, Sunda, dan Medan yang multikultur. Namun yang paling nyata terlihat adalah kebiasaan orang Medan yang cenderung grusak-grusuk (terburu-buru; sembarangan) dan mentiko (Bahasa Batak = keras kepala/ngeyel). Dan jika Anda terheran-heran melihat polah orang Medan, dengan enteng mereka akan menjawab, “Ini Medan, Bung!”—sebuah moto yang merefleksikan kebanggaan, di sisi lain juga merupakan sikap pasrah dan tolerir terhadap kekacauan (tolerance for chaos).

Awal tahun 2013, saya pindah ke Kota Banda Aceh setelah menerima SK mutasi. Selama kurun waktu lima tahun, saya menjalani banyak hal, termasuk pernikahan saya dan momen-momen kelahiran sepasang buah hati saya di Kota Medan. Jarak Banda Aceh-Medan bisa ditempuh selama kurang lebih satu jam menggunakan pesawat, atau sekitar 12 jam melewati jalur darat di malam hari. Saya biasa pulang ke Medan saat akhir pekan selama masa kehamilan kedua buah hati saya, karena istri ingin dekat dengan kedua orang tuanya.


KPPN Banda Aceh merupakan KPPN dengan jumlah satuan kerja (satker) terbanyak se-Indonesia; jumlahnya mencapai hampir 500 satker di tahun 2017. Di tahun-tahun sebelumnya malah melebihi jumlah sekian. Dengan jumlah satker sebegitu, dan wilayah kerja mencapai lima daerah—termasuk Kota Sabang yang harus dilalui menggunakan kapal laut, serta memiliki dua unit layanan filial—dibandingkan dengan jumlah pegawai tidak mencapai 40 orang, praktis aktivitas pekerjaan hampir tidak pernah berhenti.


Warga Banda Aceh sudah akrab dengan gempa. Saya juga beberapa kali merasakan gempa, baik yang berskala kecil, maupun yang menghancurkan—seperti gempa Takengon tahun 2013 dan gempa Pidie Jaya di akhir tahun 2016. Bahkan saat gempa Pidie Jaya, saya sedang bertugas di Unit Layanan Filial di Sigli, Kabupaten Pidie, yang lokasinya hanya berjarak 18 kilometer dari pusat gempa. Saat itu saya harus ikut mengungsi dengan warga untuk menghindari kemungkinan terjadinya tsunami. Itu adalah momen-momen yang tak mungkin terlupakan.


Setelah terjadi gempa, saya dan seorang rekan yang mendapat giliran bertugas di Unit Layanan Filial di Sigli tetap menjalankan tugas demi mengawal keuangan negara dan menjaga proses realisasi/belanja negara tidak terhambat. DJPb melalui KPPN Banda Aceh turut berperan dalam rangka pemulihan kondisi infrastruktur di daerah gempa, menggerakkan kembali roda perekonomian, meningkatkan kesejahteraan, dan membangun kembali tatanan sosial melalui proses verifikasi dan validasi belanja negara untuk keperluan-keperluan tersebut. KPPN Banda Aceh juga turut serta menyalurkan sumbangan untuk para korban gempa. Bahkan, seorang rekan kerja saya yang saat itu juga bertugas di Unit Layanan Filial di Sigli turut menjadi relawan; setiap jam layanan berakhir, dia akan menuju ke Pidie Jaya untuk turut membantu korban gempa dan kembali pada malam atau dini hari sebelum melanjutkan aktivitas bekerja di pagi harinya. Meskipun dilanda beberapa kali bencana alam dan masih menyembuhkan traumanya akibat konflik yang berkepanjangan, masyarakat Aceh tetap akan mengucap “Aceh Loen Sayang” (Acehku Sayang).

Arisandy Joan Hardiputra Epi Friesta Dewi Hasibuan Masjid Baiturrahman Banda Aceh
Saya dan keluarga di salah satu sudut Masjid Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh. 26 Januari 2018






Bagian II: Arek Suroboyo

Kakak mau pesen teh manis dingin,” begitu kata putri saya (usia 4 tahun) kepada seorang pelayan ketika suatu waktu saya mengajak keluarga makan di sebuah tempat makan di Surabaya. Pelayan terlihat sedikit bingung, hingga saya membisikkan kalimat yang membuatnya lega, “es teh.”

Di lain waktu, ketika istri membeli mi ayam, ia bertanya kepada penjual, “berapa, Bu?

sedoso,” jawab si ibu.

Istri hanya bisa meringis sambil melihat ke arah saya.

Sepuluh (ribu)”, bisik saya.

Pun demikian saat kami membeli es teler di kedai dekat rumah. Selepas berbincang dengan istri, penjual bertanya pada saya, “Bojone wong ngendi, Mas?” Sepertinya dia tahu istri saya bukan orang Jawa dari logatnya.

Medan, Mbak,” jawab saya.

‘Mas’, sapaan ini benar-benar menyegarkan saya, setelah bertahun-tahun dipanggil ‘Bang’ (Abang) di Sumatera. Perbedaan penyebutan ini terkadang masih membingungkan putri saya yang lahir, belajar, dan besar dengan budaya Medan. Pernah kami berdebat tentang sapaan ‘Kakak’. Saat bertemu dengan sepupunya yang laki-laki dan berusia lebih tua darinya, saudara saya memperkenalkannya sebagai ‘Kakak’. Di Medan, sapaan Kakak hanya diperuntukkan untuk perempuan yang lebih tua. Alhasil, putri saya bersikeras, “Ini kan cowok, masa dipanggil Kakak?

Perbedaan istilah dan bahasa ini menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga saya. Namun dengan terus belajar, saya yakin proses asimilasi dan adaptasi akan terjadi dengan sendirinya. Inilah kelebihan para pegawai DJPb, selain profesional, kami dituntut untuk selalu adaptif dan terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sekitar. Bahkan termasuk menyesuaikan diri dengan makanan setempat. Hingga kini, keluarga saya masih berusaha menyesuaikan seleranya dengan masakan Jawa Timur.

Saat masa-masa awal saya tinggal di Surabaya, saya juga sempat merasa ‘lupa waktu’. Beberapa kali di pagi hari, saya menyempatkan diri berolahraga di sekitar rumah sebelum berangkat ke kantor. Ketika matahari mulai menampakkan dirinya, saya kembali ke rumah untuk mandi dan bersiap menuju ke kantor. Saat melihat jam, alangkah terkejutnya saya saat melihat jarum jam dinding masih menunjukkan pukul 06.00 WIB. Padahal saat di Medan dan Banda Aceh, pada pukul 6 pagi, matahari masih enggan menunjukkan dirinya. Pun demikian saat pulang kantor, setibanya saya di rumah, biasanya pas waktu magrib—sekitar pukul 17.30 WIB. Di Medan dan Banda Aceh, azan magrib berkumandang sekitar pukul 7 malam.

Seperti saya tuliskan sebelumnya, sebagai pegawai DJPb, selain profesional dan beretika, juga harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi budaya setempat, termasuk memahami dan menerima kearifan lokal. Selain banyak hal yang bisa kita pelajari, banyak hal pula yang bisa kita berikan kepada masyarakat. Setiap pegawai DJPb merupakan pribadi terpilih yang harus menyadari bahwa ke-bhinneka-an adalah sebuah kekayaan, keunikan, sekaligus kekuatan bangsa. Keberagaman harus diharmonisasikan dalam kehidupan sehari-hari, dimanapun insan DJPb berada. Setiap insan DJPb harus bersedia dan mampu memberikan sumbangsihnya untuk pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan di lain sisi harus mampu menyeimbangkan pembagian tugas dan waktu berkualitasnya bersama keluarga. Sekecil apapun sumbangsih kita, yakinlah jika dilakukan dengan konsisten, akan membawa hasil nyata yang sesuai dengan harapan.

Entah budaya dan tradisi daerah mana lagi yang akan saya serap dan pelajari. Sembari menunggu terbitnya SK mutasi selanjutnya, saya masih ingin bernostalgia kembali dengan budaya dan tradisi Arek Suroboyo yang selalu mengalir dalam darah saya.

Arisandy Joan Hardiputra - Bonek Donor Darah

Catatan: Tulisan ini diikutsertakan sebagai sumbangan artikel dalam rangka penyusunan buku Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jawa Timur bertema "Knowledge Sharing Pengalaman ASN DJPb, wawasan Local Wisdom dan hubungannya dengan dinamika organisasi di daerah." 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)