Berusaha Melanjutkan Hidup Pasca Mutasi ke Kota Banda Aceh

Sudah sebulan sejak kepindahan saya ke Kota Banda Aceh akibat mutasi dari intansi tempat saya bekerja. Berat rasanya meninggalkan Kota Medan yang sudah menjadi bagian hidup saya selama hampir 10 tahun. Ya, hampir 10 tahun saya menghabiskan masa usia produktif di kota terbesar ketiga di Indonesia itu. Dalam kurun waktu hampir se-dekade itu, banyak kenangan terukir, tempat-tempat yang saya singgahi, hingga orang-orang yang saya kenal. Kini, saya dipaksa meninggalkan mereka. Dipaksa? Ya, karena jelas saya tidak menginginkan untuk meninggalkan Kota Medan (selain ke pulau Jawa), apalagi harus pindah ke Aceh yang dikenal dengan wilayah rawan gempa dan tentunya... konflik.

Penempatan ke Banda Aceh ini sebenarnya di luar prediksi saya dan rekan-rekan kerja yang lain, karena beberapa bulan sebelumnya, saya dan rekan-rekan mengisi semacam angket yang mengharuskan kita memilih ke daerah mana kami ingin dipindahkan. Masing-masing pegawai diberikan dua opsi. Saat itu saya memilih tetap di Kota Medan sebagai opsi pertama, dan Kota Surabaya sebagai opsi kedua. Namun yang terjadi malah mengecewakan saya, pasangan, teman-teman, dan tentunya keluarga; saya malah dimutasikan ke Kota Banda Aceh. Lebih kecewa lagi karena semua rekan-rekan kerja saya dipindahkan ke daerah pilihan mereka masing-masing, termasuk rekan kerja yang se-almamater di Prodip Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Bahkan, salah seorang rekan lama yang bekerja di Surabaya juga 'pulang kampung' ke Kota Medan. Saya merasa terbuang dan merasa semua kerja keras saya selama ini tidak dihargai.

Ternyata, penyiksaan tidak berhenti sampai disitu. Setelah dimutasikan ke Kota Banda Aceh, saya hanya diberikan uang pindah sebesar Rp2,5 juta—jumlah yang sangat kecil, mengingat harga-harga barang dan kebutuhan pokok di Banda Aceh sangat mahal, lebih tinggi dari Kota Medan. Dan jujur saja, nominal sekecil itu tidak cukup bahkan untuk membeli motor bekas layak pakai sekalipun. Apalagi jika harus ditambah dengan ongkos untuk tempat tinggal. Bahkan, untuk mengirim barang-barang pribadi dari rumah saya di Medan ke Kota Banda Aceh, saya harus membayar ongkos kirim dan pengepakannya dengan uang simpanan pribadi. Belum cukup, ternyata di Banda Aceh tidak banyak angkutan umum seperti di Kota Medan, jadi memiliki kendaraan pribadi merupakan suatu keharusan. Bagaimana mungkin saya membeli kendaraan pribadi sekaligus mencari tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan hidup saya dengan uang sebesar Rp2,5 juta? Ah, instansi saya memang pelit dan tidak berorientasi kepada para pegawai yang menjadi ujung tombak organisasi.

Di Banda Aceh, sementara ini saya tinggal di sebuah mes yang sebelumnya menjadi milik Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Fasilitas seadanya, hanya ada sebuah tempat tidur dan televisi kecil di ruang tamu. Televisi pun hanya bisa menangkap lima saluran karena hanya menggunakan antena biasa. Tidak seperti zona nyaman saya di rumah Medan, di mess ini saya merasa sangat bosan dan kekurangan hiburan. Tak ada lagi DVD, konsol PlayStation 3, paket Cinemax televisi digital, maupun dapur pribadi dan kulkas yang penuh dengan makanan dan minuman kesukaan. Semua barang tersebut harus saya paketkan ke Banda Aceh dengan ongkos pribadi. Ya, tak bisa berharap banyak dengan uang Rp2,5 juta.

Siksaan di lingkungan kerja berlanjut ke akhir pekan dan malam hari. Tak ada hiburan lengkap seperti di Kota Medan. Parahnya, hobi nonton saya sepertinya harus lenyap karena di Banda Aceh tak ada gedung bioskop. Ah, saya tak tahu alasannya. Mungkin dianggap tempat maksiat, padahal kalau memang niatnya maksiat, tak perlu di bioskop, di manapun jadi. Banda Aceh memang payah! Untuk menonton film kesayangan, mencari hiburan di mall, dan belanja, saya harus kembali ke Kota Medan. Paling tidak, setiap dua pekan saya kembali ke Kota Medan tiap akhir pekan. Untuk menghibur diri sendiri, seringkali saya menghabiskan waktu di kantor, meski di hari libur sekalipun. Paling tidak, di kantor saya bisa menonton televisi digital dan browsing dengan gratis.

Di Banda Aceh, cuaca panas menyengat. Tak perlu waktu lama untuk menggosongkan kulit. Tapi bagi Anda para penikmat kopi, banyak warung kupi tersebar di Banda Aceh (saya pikir ini adalah pilihan pelarian untuk mencari hiburan). Dan siapa yang meragukan kenikmatan kopi Aceh yang memang terkenal? Satu hal yang saya perhatikan dari masyarakat Aceh, mereka bisa menghabiskan banyak waktu di warung kupi sambil bercerita menggunakan bahasa daerah yang saya tidak mengerti sama sekali.

Salah satu hal yang membuat saya salut dengan masyarakat Aceh adalah niat dan tekad mereka untuk bangkit dari bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2004 lalu yang memporakporandakan infrastruktur kota dan menewaskan ratusan ribu masyarakatnya. Namun demikian, sepertinya rasa traumatik masih tersimpan dalam diri masyarakat. Mereka masih berpikiran buruk dan takut dengan laut. Bahkan sebisa mungkin mereka akan memilih tinggal sejauh mungkin dari laut, kecuali warga yang memang bermata pencaharian sebagai nelayan. Bangunan tempat tinggal yang berada di dekat laut disewakan dengan harga murah, namun sepertinya tak mampu mengalahkan rasa traumatik masyarakatnya maupun warga luar. Sedangkan bangunan yang berada relatif jauh, disewakan dengan harga mahal. Bayangkan saja, saya menyewa rumah di Kota Medan dengan harga 5,5 juta/tahun, kini saya harus merogoh kocek hingga 8 juta/tahun untuk rumah yang belum tentu sama nyaman.

Namun untuk kualitas infrastruktur kota, tak perlu diragukan lagi keindahannya. Pascatsunami, Banda Aceh berbenah menjadi kota yang bagus dengan infrastruktur kota yang modern dan serba baru. Aspal jalanan juga bersih dan mulus. Bagi saya yang memang penghobi riding, ini seperti surga. Tak perlu takut lagi untuk cornering melahap tikungan. Jarang sekali saya temui jalanan yang berlubang, bergelombang, atau rusak seperti di Kota Medan. Sayang sekali, saya tak bisa menikmati jalanan Kota Banda Aceh dengan motor Kawasaki Ninja yang telah saya jual.

Bagaimanapun, Banda Aceh dan Medan adalah dua kota yang berbeda sama sekali. Mau tak mau, saya harus mampu beradaptasi dengan lingkungan baru saya, karena saya adalah pria dewasa yang bertanggungjawab terhadap karir dan keluarga. Jika harus berpikir positif dan optimis, maka selalu ada sisi baik dan hikmah dari kepindahan saya ke Kota Banda Aceh. Minimnya tempat hiburan justru membuat saya bisa menambah porsi tabungan lebih besar daripada saat di Kota Medan—mengingat sifat saya yang hedonis. Selain itu, rekan-rekan kerja saya yang baru di KPPN Banda Aceh mayoritas masih berusia relatif muda, jadi begitu banyak kesempatan untuk belajar bersama dan menemukan berbagai macam kesamaan. Jadi diharapkan, akan tercipta lingkungan kerja yang lebih nyaman dan menyenangkan. Nilai lebihnya, lebih banyak tantangan karena saya harus lebih banyak belajar agar tak tertinggal. Satu hal lagi, di mana pun saya berada, itu tak akan menghentikan saya untuk selalu Mbonek, mendukung tim kesayangan, PERSEBAYA.

Kehidupan terus berjalan, dan apapun yang terjadi nanti, saya berharap mutasi selanjutnya saya akan kembali ke Kota Medan atau kembali ke Jawa Timur, dan membina keluarga dengan tenang di sana. Aamiin!


Salam hangat,
Arisandy Joan Hardiputra
ARISANDY JOAN HARDIPUTRA / CECEN CORE

Komentar

  1. Semoga, tercapai keinginan untuk pindah ke Surabaya ya, mas.

    Dan semoga menemukan pola yang bisa bikin hidup tetap (bahkan lebih) berwarna di Banda Aceh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin!
      Makasih doanya, Om.
      Sukses juga buat Om.

      Hapus
  2. anak MANJA, ngabisin duit NEGARA pun BANGGA

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas komentar yang diberikan. Bagaimanapun juga, Anda telah membantu traffic blog saya.
      Dari komentar Anda, saya bisa tahu kalo Anda bukan hanya salah, tapi juga bego, bodoh, goblok, idiot, & pastinya sok tahu.
      Saya bukan anak manja karena saya ikut membiayai adik2 & keluarga saya. Lalu saya juga tidak bangga dengan kondisi saya sekarang, dan pastinya saya tidak peduli dengan uang negara & omong kosong birokrasi lainnya. Penghasilan yang saya dapatkan adalah hasil kerja & jasa saya, bukan hasil dari mengemis pada Anda.
      Satu hal lagi, lain kali kalo mo komentar, silahkan baca kolom Etika Berkomentar di bawah blog ini, sudah jelas-jelas saya menyebutkan dilarang menggunakan komentar negatif. Ya, satu lagi bukti ke-sontoloyo-an Anda.

      Hapus

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)

Ada Cerita Dibalik Secangkir Kopi Lintong dan Bolu Labu di Omerta Koffie