Peran Regional Chief Economist dan Financial Advisor, Sebaiknya Jangan Sebatas Pemenuhan Kewajiban Penyampaian Laporan
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) memegang fungsi utama sebagai Treasurer yang memiliki tugas mengelola Kas Negara, melaksanakan anggaran khususnya terkait belanja negara, dan menyusun laporan keuangan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Sebagai Treasurer, instansi vertikal DJPb yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, memiliki basis data yang sangat besar dan beragam yang seharusnya dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan sebagai bahan preferensi dalam memantau kondisi perekonomian dan penyusunan kebijakan dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah. Hal ini memungkinkan bagi insan DJPb untuk dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan keuangan negara yang efektif dan efisien, belanja yang lebih berkualitas (spending better), serta mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang merata di daerah, yang pada akhirnya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional (value for money).
Namun demikian, melalui penerapan Integrated Financial Management Information System (IFMIS) antara lain dalam bentuk Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), dan Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI), serta implementasi kebijakan minus growth pegawai, maka sebagian peran dan fungsi Treasurer pada DJPb sebenarnya sudah terakomodasi secara sistematis dan terautomasi, sehingga diperlukan pengembangan peran dan fungsi (shifting) instansi vertikal DJPb sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah, yaitu sebagai Regional Chief Economist (RCE) yang berfokus pada analisis ekonomi regional, serta sebagai Financial Advisor yang memberikan saran finansial kepada pemangku kepentingan.
Tiga pilar penguatan peran instansi vertikal DJPb yaitu sebagai Treasurer, RCE, dan Financial Advisor terus dikembangkan, salah satunya melalui penerapan standardisasi kegiatan manajemen Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), di mana terdapat pengaturan rangkaian kegiatan yang harus dijalankan oleh KPPN, meliputi tiga klaster, yaitu:
- Penguatan Manajemen Eksternal;
- Penguatan Kapasitas Perbendaharaan; dan
- Penguatan Manajemen Internal.
Selain itu, urgensi terhadap tiga pilar ini menjadi semakin signifikan setelah Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-1/PB/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-24/PB/2019 Tentang Pedoman Pembinaan dan Supervisi Pelaksanaan Tugas Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, serta Surat Keputusan Pembentukan Shadow Organization pada Kanwil DJPb dan KPPN.
Implementasi RCE
Disadur dari Majalah Treasury Indonesia vol. 3/2021, Chief Economist didefinisikan sebagai posisi yang memiliki tanggung jawab utama untuk pengembangan, koordinasi, dengan ruang lingkup tanggung jawab yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan penyebaran informasi, serta koordinasi penelitian ekonomi. Dengan predikat regional, maka RCE merupakan peran Chief Economist yang secara spesifik dilaksanakan dalam lingkup regional tertentu.
Menurut Sri Mulyani (2021), RCE harus menjelaskan fungsi dan kebijakan fiskal, melihat bagaimana dampak APBN di masing-masing daerah, juga memiliki sensitivitas serta kerangka berpikir bahwa uang negara harus mampu menghasilkan manfaat maksimal bagi rakyat dan bagi perekonomian untuk menciptakan kesejahteraan dan kesempatan kerja.
Kanwil DJPb memegang peranan yang sangat penting dalam program penguatan RCE, yaitu sebagai Ketua Tim Implementasi Penguatan RCE Tingkat Daerah yang mengoordinasikan kelompok kerja yang menjadi bagian dari Tim Sekretariat Bersama Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 394/KMK.01/2022 tentang Perwakilan Kementerian Keuangan, untuk melakukan pengumpulan data pengelolaan keuangan pusat dan daerah yang dihimpun melalui seluruh unit vertikal Kementerian Keuangan maupun instansi lain di daerah, data Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM-SPAN), dan melalui database untuk data-data yang tersedia di Sistem Layanan Data Kementerian Keuangan (SLDK).
Walaupun demikian, belum ada payung hukum definitif yang mengatur dan memberikan panduan jelas bagi Kanwil DJPb dan KPPN dalam menjalankan fungsi RCE dan Financial Advisor. Selain itu, belum ada indikator keberhasilan dari Kantor Pusat DJPb, pemerintah daerah, maupun pengambil kebijakan (policy maker) lain terhadap laporan hasil analisis yang disusun dan disampaikan oleh Kanwil DJPb, baik Kajian Fiskal Regional (KFR), Asset Liability Committee (ALCo), Forum Koordinasi Pengelola Keuangan Negara (FKPKN), dan laporan lainnya, terkait apakah analisis dan rekomendasi dalam laporan-laporan tersebut telah menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan terkait kondisi ekonomi regional. Berdasarkan indikator kinerja individu yang ada pada kantor vertikal DJPb, objek penilaian saat ini hanya menilai apakah laporan telah disampaikan tepat waktu, dan apakah telah sesuai dengan standar dan format yang telah ditentukan oleh Kantor Pusat DJPb.
Kompetensi dan kapabilitas sumber daya manusia pada Kanwil DJPb dan KPPN juga terbatas dalam hal data analytics, jurnalistik, statistika, dan makroekonomi, mengingat selama ini DJPb lebih terfokus pada tugas utamanya sebagai Treasurer yang hanya berfokus pada menghasilkan angka sebagai output dari tugas utamanya, dan kini dituntut menggali "cerita" di balik angka tersebut. Dengan demikian, maka tugas ini ibarat menjadikan akuntan sebagai jurnalis sekaligus ekonomis—benar-benar peran yang berbeda.
Meskipun selama ini banyak unsur substansi pada KFR maupun ALCo yang berupa angka, namun hasil tersebut lebih banyak didapatkan dari instansi lain, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Instansi vertikal DJPb hanya dapat mengakses sumber data yang sudah terbentuk dari aplikasi, sehingga angka-angka tersebut tidak memiliki makna bagi SDM di instansi vertikal DJPb selain sebagai pelengkap dan pemenuhan syarat laporan.
Secara pemenuhan kewajiban penyusunan dan penyampaian laporan, memang hal tersebut sudah terakomodasi, namun secara substansi peran sebagai RCE, tentunya hal ini masih "jauh panggang dari api" mengingat latar belakang kompetensi dan skill set yang dimiliki oleh pegawai DJPb masih belum relevan dengan tugas-tugas RCE. Sebagaimana pesan Wakil Menteri Keuangan, Suahazil Nazara, "Ketika Kanwil DJPb menempatkan diri sebagai RCE, nama ini bukan sekadar nama melainkan implikasinya, jadi harus mengerti betul tentang perekonomian daerah."
Ketidakharmonisan antara kebijakan dan implementasi RCE di lapangan salah satunya dapat ditentukan dari nilai hasil pembinaan dan supervisi pelaksanaan tugas KPPN yang setiap semester dilakukan oleh Kanwil DJPb. Untuk kegiatan yang termasuk dalam RCE sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah, termasuk dalam aktivitas penguatan dan pengembangan peran KPPN Klaster Penguatan Kapasitas Perbendaharaan dan Klaster Penguatan Manajemen Eksternal, seluruh KPPN di wilayah kerja Kanwil DJPb Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan kegiatan press release APBN, refreshment cash management, dan refreshment pengelolaan keuangan daerah. Namun sekali lagi, akibat kebijakan minus growth SDM, load pekerjaan rutin yang tinggi, dan duplikasi tugas, administrasi atas pemenuhan dokumentasi kegiatan ini tidak terlaksana dengan maksimal dan mengakibatkan rendahnya nilai kinerja KPPN. Kegiatan yang dilakukan pun banyak bersifat 'refreshment' atau bukanlah sesuatu yang baru.
Kantor Pusat DJPb perlu menyediakan dukungan big-data (data warehouse) terintegrasi melalui sistem yang dapat diakses setiap saat oleh para pegawai Kanwil DJPb dan KPPN agar dapat memantau dinamika dan memahami pergerakan data yang merupakan cerminan pola atau fenomena perekonomian tertentu yang terjadi di masyarakat regional. Akan lebih baik jika data yang disediakan bersifat real-time. Data ini dapat dimanfaatkan sebagai early warning system atas dinamika kondisi perekonomian di daerah.
Di sisi lain, belum adanya petunjuk teknis dan media peningkatan kompetensi/skill set yang terstruktur menjadi penghambat penajaman fungsi RCE bagi pegawai instansi vertikal. Terkait pemahaman dan pembelajaran, saat ini pegawai hanya melakukannya melalui sarana media pembelajaran daring seperti Kemenkeu Learning Center (KLC), webinar, dan sarana daring lain yang bersifat mandiri. Padahal diperlukan upaya peningkatan kompetensi yang sistematis, termasuk pemetaan kompetensi/skill set, passion, dan talent agar pegawai dapat menjalankan tugas dan perannya dengan optimal (job-person match). Pelatihan sistematis berarti adanya action learning sebagai tugas mandatory dan mendapatkan penilaian langsung dari instruktur.
Program secondment dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) juga perlu disempurnakan. Secondee perlu magang/praktik kerja lebih lama di Kanwil DJPb dan bukan hanya bertugas menyediakan data sumber, namun juga mendampingi penuh dalam penyusunan KFR dan/atau ALCo. Dari sisi mutasi pegawai, juga perlu dioptimalkan mutasi antar unit eselon I, khususnya pegawai dari BKF dan DJPK yang lebih banyak dipindahtugaskan ke DJPb. Lebih baik lagi jika terdapat program secondment lintas instansi (misalnya dengan BI, OJK, BPS, pemerintah daerah, dan sebagainya).
Selanjutnya Kanwil DJPb perlu menyusun matriks tindak lanjut terkait laporan FKPKN agar dapat memantau perkembangan atas rekomendasi yang disampaikan. Misalnya terkait adanya pertanyaan dan/atau usulan pemerintah daerah mengenai mekanisme penerbitan obligasi dan/atau sukuk daerah (municipal bond) dalam rangka pembiayaan kegiatan dan proyek pembangunan di daerah. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan dapat menjadi benchmark karena memiliki pengalaman dalam menerbitkan obligasi dan/atau sukuk negara. Kegiatan semacam ini juga dapat dibingkai dalam kerangka Kemenkeu Satu dengan menghadirkan juga Direktorat Jenderal Pengelolan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sebagai secondee pada Kanwil DJPb, atau DJPK yang memahami ketentuan dan mekanisme penerbitan municipal bond. Seperti diketahui, Provinsi Jawa Barat saat ini menjadi pilot project untuk penerbitan municipal bond di Indonesia. Municipal bond—dalam wujud obligasi dan/atau sukuk daerah—merupakan alternatif instrumen pembiayaan utang daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentnag Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Penerbitan municipal bond dalam rangka pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah dilakukan untuk penyediaan sarana dan prasarana daerah. Hasil penjualan municipal bond digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau manfaat bagi masyarakat.
Perlu diterbitkan payung hukum yang jelas antara Kementerian Keuangan dengan pemerintah daerah, instansi/lembaga lain yang terlibat dalam program RCE, dan perguruan tinggi di daerah agar SDM Kementerian Keuangan dapat dilibatkan dalam setiap pembahasan mengenai perekonomian regional maupun APBD, sehingga dapat memperoleh gambaran komprehensif mengenai dinamika perekonomian daerah, termasuk asal muasal angka, formulasi, dan tabulasi data.
Selanjutnya, dasar hukum definitif yang lebih tinggi terkait Shadow Organization di instansi vertikal DJPb perlu segera diterbitkan agar pegawai dapat melaksanakan tugas dengan lebih fokus dan tidak disibukkan dengan pekerjaan lain di luar tugas pokoknya (job-person match).
Implementasi Financial Advisor
Menurut Sarimin dan Ditta (2022), Financial Advisor adalah peran seorang profesional yang memberikan saran (advise) kepada klien dan memberikan solusi untuk perencanaan dan masalah keuangan (financial). Pemberian saran itu dapat berupa konsultasi one on one maupun secara massal dalam bentuk seminar. Terdapat tiga peran advisory yang bisa dijalankan oleh Kanwil DJPb, yaitu dari sisi pelaporan, advisory dari sisi pelaksanaan anggaran, dan advisory dalam menjalankan program pemerintah di daerah. Sedangkan menurut Amdi (2023), pelaksanaan tugas financial advisory oleh Kanwil DJPb antara lain dapat diimplementasikan dalam bentuk analisis terhadap kondisi keuangan pemerintah daerah.
Fungsi Financial Advisor sebenarnya telah diimplementasikan pada Kanwil DJPb dan KPPN sejak tahun 2017 saat pertama kali menerima mandat untuk penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa. Namun peran ini cenderung lebih sesuai dilakukan oleh KPPN yang memiliki akses komunikasi dan interaksi langsung dan intensif dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah pengampu DAK Fisik maupun Dana Desa kerap menyambangi KPPN untuk berkoordinasi maupun berkonsultasi terkait teknis dan mekanisme maupun kendala dalam proses penyaluran DAK Fisik maupun Dana Desa.
Namun dalam perkembangannya, dinamika yang terjadi dan inovasi tiada henti yang terus dilakukan oleh insan DJPb dalam menyempurnakan mekanisme pengelolaan keuangan negara, khususnya dari sisi pengelolaan kas, peran financial advisory ini tidak terbatas pada pemecahan masalah terkait penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) kepada pemerintah daerah, melainkan juga dari sisi digitalisasi pengelolaan keuangan negara, khususnya pembayaran belanja negara, baik melalui Kartu Kredit Pemerintah (KKP) maupun penggunaan Virtual Account (VA), termasuk juga memberikan saran agar belanja daerah menjadi lebih efektif, efisien, tepat sasaran, serta menghasilkan outcome yang berkualitas (value for money). Dari sisi pendapatan, KPPN juga memberikan masukan tentang bagaimana meningkatkan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Saat ini, berdasarkan KEP-3/PB/2023, pada KPPN telah dibentuk Financial Advisor Division yang terdiri atas dua Tim Kerja, yaitu Central Government Advisory Team, dan Local Government Advisory Team yang bertugas sebagai customer service, melakukan penyuluhan/pembinaan dan asistensi kepada pemangku kepentingan/stakeholders, melaksanakan pembinaan, monitoring, dan analisis terkait pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan pusat dan daerah, dan investasi pemerintah.
Namun demikian, peran advise yang dijalankan masih terbatas pada hal-hal yang menjadi kewenangan KPPN sebagai penyalur TKDD. Selebihnya, peran advisory lebih lanjut terkait kebijakan seharusnya masih menjadi ranah DJPK maupun pemerintah daerah. KPPN hanya menjadi fasilitator yang menjadi penyambung suara antara pemerintah daerah dan DJPK mengingat keterbatasan kompetensi/skill set dan histori latar belakang pegawai DJPb sebagai Treasurer.
Terbatasnya peran KPPN sebagai Financial Advisor bagi pemerintah daerah saat ini dapat dilihat pada materi kertas kerja pembinaan dan supervisi pelaksanaan tugas KPPN yang diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-1/PB/2023, yaitu pada komponen Financial Advisor, penilaian hanya didasarkan pada apakah kegiatan telah dilaksanakan oleh KPPN dan berapa kali frekuensi kegiatan tersebut dilaksanakan.
Pada akhirnya, dalam rangka mendukung data-driven organization serta institutional building, maka diperlukan bauran kebijakan dan mekanisme pembelajaran dan pelatihan yang terstruktur, sistematis, dan terintegrasi, serta willingness dari seluruh SDM DJPb untuk senantiasa meningkatkan kompetensi/skill set-nya agar fungsi instansi vertikal DJPb sebagai Regional Chief Economist, dan Financial Advisor dapat dijalankan dengan optimal.
Disclaimer: Tulisan merupakan opini pribadi Penulis dan tidak mewakili organisasi DJPb maupun Kanwil DJPb Provinsi Jawa Barat.
Penulis: Arisandy Joan Hardiputra, S.E. (anggota Division of Standardization of Treasury Capacity pada Kanwil DJPb Provinsi Jawa Barat).
Catatan: Tulisan yang sama telah dipublikasikan pada Buletin PASKAL JABAR (Profil APBN dan Analisis Kinerja Fiskal Jawa Barat) edisi Triwulan IV Tahun 2023, pada website Kanwil DJPb Provinsi Jawa Barat, dan pada Rubrik Opini website Kantor Pusat DJPb. Silakan akses melalui tautan berikut:
- Buletin PASKAL JABAR edisi Triwulan IV Tahun 2023;
- Website Kanwil DJPb Provinsi Jawa Barat;
- Website Kantor Pusat DJPb.
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.