Jika Pandemi COVID-19 Berakhir

Saat blog ini ditulis, entah sudah pekan keberapa sejak saya dan keluarga menjalani imbauan physical distancing dan work from home dari Pemerintah. Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) berhasil membuat saya kembali menulis di blog pribadi, setelah lebih banyak menulis berita dan artikel di website kantor, KPPN Surabaya II. Artinya, momen ini layak untuk dikenang, dan kita yang saat ini merasakan langsung dampak pandemi ini, merupakan bagian dari sejarah bagaimana virus ini bukan hanya memporak-porandakan sektor kesehatan dan ekonomi dunia, tapi juga menguji batas kemanusiaan dan batas normalitas kita sebagai manusia yang bebas.

Seingat saya, di masa usia hidup sampai saat ini, baru kali pertama merasakan bagaimana pandemi virus mampu memaksa kita mengubah drastis tatanan kebijakan dan normalitas. Sekitar tahun 2002-2003 saya turut merasakan bagaimana wabah SARS mengancam, diikuti dengan 'flu burung' sekitar tahun 2005-2006, tetapi dampaknya tidak semasif saat ini. COVID-19 membuat saya pertama kalinya merasakan bekerja di rumah secara harfiah. Pandemi ini juga berhasil membuat saya—dan pastinya banyak orang lain—frustrasi karena penerapan kebijakan physical distancing, lockdown, karantina, hingga penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang entah sampai kapan diberlakukan. Masyarakat dilarang keluar rumah kecuali untuk memenuhi kebutuhan dasar; pusat perbelanjaan tutup; kantor dan sekolah diliburkan; jalanan yang sunyi. PSBB berhasil mengubah suasana Surabaya—kota terbesar kedua di Indonesia—yang hiruk-pikuk menjadi tenang seperti kota-kota kecil. 

Jika dihitung sejak awal pandemi di Indonesia, maka sudah sekitar dua bulan kami mengikuti anjuran pemerintah untuk "mengurung diri" di rumah, dan tidak bepergian, termasuk tidak mudik atau pulang kampung ke rumah orang tua. Dan parahnya, belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Seperti saya tuliskan sebelumnya, banyak orang mulai merasa frustrasi, termasuk kami. Pandemi ini sukses "merusak" beberapa rencana kami, seperti staycation dan liburan yang terpaksa dibatalkan; absen merayakan hari ulang tahun ayah saya; juga perayaan 7th anniversary dengan dinner bersama keluarga di salah satu rooftop restaurant yang sebenarnya sudah saya reservasi dari jauh hari sebelumnya, akhirnya harus dibatalkan juga. Gantinya, kami merayakannya dengan sederhana di rumah.

Friezcen Family Anniversary

"Ayah, nanti kalau virus Corona sudah hilang, Kakak mau main-main lagi di mal," begitu ucapan putri saya. Bukan hanya sekali atau dua kali, dia mengucapkannya berkali-kali pada beberapa kesempatan. Saya tahu dia juga merasa frustrasi karena terkadang dia juga berkata kesal, "Kok virus Corona-nya gak hilang-hilang sih? Kakak bosan di rumah aja!" Ya, sudah sebulan lebih ia libur sekolah, atau lebih tepatnya terpaksa libur karena aktivitas sekolah pun dilarang oleh Pemerintah. Pada dasarnya, setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang secara berkerumun, dianggap sebagai sebuah ancaman dan berbahaya karena potensial untuk semakin menyebarkan infeksi akibat virus.

Saya yakin bukan hanya kami yang merasakan kejenuhan dan frustrasi seperti ini, pasti banyak juga orang lain di luar sana, bahkan mungkin juga Anda merasakan hal yang sama. Pada akhirnya, upaya physical distancing, lockdown, karantina, PSBB, atau apapun namanya, bukan lagi upaya untuk bagaimana menghibur anak-anak di rumah, tapi juga bagaimana kita—sebagai orang tua—juga tidak kehilangan sisi kewarasan. Jadi, upaya "balas dendam" saat ini merupakan opsi yang tampaknya masuk akal ketika pandemi ini berakhir dan Pemerintah mencabut larangan beraktivitas di luar rumah. Berlibur, "menyerbu" mal, restoran, dan bioskop, sudah ada dalam daftar rencana kita setelah pandemi ini berakhir, entah kapan. "Kembali ke Normal", begitu istilahnya.

Dalam pertumbuhan ekonomi/bisnis, bentuk kurva lazim digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kurva ini bisa berbentuk huruf U, V, atau W. Kurva V menggambarkan kondisi ideal atau yang diharapkan karena pertumbuhan ekonomi bisa lekas melejit setelah mengalami perlambatan atau bahkan resesi—pertumbuhan ekonomi negatif dalam periode dua kuartal berturut. Skenario Kurva V bisa terjadi jika upaya "balas dendam" seperti yang saya tuliskan sebelumnya benar-benar terwujud. Kalau boleh jujur, inilah yang diharapkan Pemerintah. Bagi saya, tentu saja saya turut mendukung dan berharap Kurva V benar-benar terjadi nantinya.

Kurva Siklus Ekonomi
Siklus Bisnis dalam Perekonomian.
Sumber: Laporan Akhir Updating Leading Indicators Perekonomian Indonesia; Dr. Ir. Riyanto, M.Si. dan Dr. Ir. Anton Hendranata, M.Si.; Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan R.I.; 2014


Tapi bagi pribadi kita dan keluarga, benarkah "balas dendam" merupakan solusi terbaik? Jika jawabannya 'Ya', berarti upaya dan pengorbanan kita selama menjalankan program physical distancing dan lockdown mungkin menjadi tidak bermakna dan tidak mengajarkan apapun kepada kita.

Selama masa karantina ini, pernahkah Anda merenung dan mengevaluasi diri? Kira-kira bagian mana yang kurang dari kehidupan yang mungkin bisa diperbaiki saat masa lockdown ini berakhir? Inginkah kita kembali pada kebiasaan konsumerisme dan pemborosan? Kembali kepada kesembronoan kita menata keuangan? Apakah sosialisasi dengan keluarga hanya akan menjadi sebuah formalitas belaka seperti sebelumnya? Relakah jika hubungan kita sebagai orang tua dengan anak-anak yang telah terbangun di masa karantina, hanya kembali menjadi 'say hello' saat kita tiba di rumah dari tempat kerja? Apakah "Kembali ke Normal" ini benar-benar yang kita inginkan? Lelah bekerja seharian hanya untuk membayar utang dan memuaskan keinginan. Atau mungkin sebaiknya kita membangun 'New Normal' dengan standar yang lebih baik, lebih berkualitas, lebih bernurani, dan lebih humanis dari sebelumnya. Masa ini memberikan kesempatan pada kita untuk berefleksi, menyusun kembali mindset untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain, khususnya keluarga.

Selama masa karantina dan bekerja dari rumah, saya memperhatikan bagaimana keluarga kami terhubung lebih dekat. Putri saya jadi lebih banyak bermain dengan adiknya, padahal biasanya ia lebih senang bermain dengan teman sekolah atau bermain gadget. Saya juga setiap pagi bisa melihat anak-anak saya yang menunjukkan ekspresi kegirangan saat bangun tidur, mereka melihat ayahnya masih ada di rumah; Biasanya saya tak sempat menyapa saat pergi ke kantor karena mereka masih tidur. Lega rasanya melihat ekspresi tenang mereka saat bertanya, "Ayah enggak kerja ke kantor?" dan saya jawab, "Enggak, Ayah kerjanya di rumah."

Arisandy Joan Hardiputra, Clarissa Astrid Sofia Friezcen, Davian Hardi Putra Friezcen
Masa karantina ini memberikan kesempatan untuk memikirkan dan menyusun ulang strategi manajemen finansial keluarga. Masa pandemi seperti ini, membuat saya kembali rajin mengumpulkan dana darurat setelah sebelumnya sedikit terbengkalai. Kita tak tahu kapan pandemi akan berakhir, jadi menyimpan uang tunai dalam jumlah besar bisa membantu seandainya sewaktu-waktu kami membutuhkannya. Masa ini juga membuka kesempatan untuk lebih agresif di pasar modal, mengingat harga saham-saham blue chips sedang terdiskon, harapannya jika skenario Kurva V nantinya terwujud, maka saya bisa lebih cepat menuai untung. Pun dari segi kebersihan, kami lebih sering mencuci tangan, dan menjaga setiap berkah yang diberikan oleh alam.

Pun demikian dengan pengembangan diri. Masa karantina ini membuat saya makin rajin meningkatkan kompetensi diri dengan banyak membaca buku-buku investasi maupun pengembangan diri. Saya juga mengambil beberapa kursus online bersertifikat untuk menambah pengetahuan sekaligus menunjang karir. Kebetulan di tempat saya bekerja—Kementerian Keuangan (Kemenkeu)—membuka lebar kesempatan bagi pegawainya untuk mengikuti kursus online selama bekerja dari rumah. Saat menulis ini, saya mengikuti sekitar 10 kursus online. Dua diantaranya berhasil saya selesaikan, salah satunya—yang terberat—adalah Public Financial Management (PFM) yang diselenggarakan atas kerjasama Kemenkeu dengan International Monetary Fund (IMF). Saya akan menceritakan kursus PFM di tulisan berikutnya.

Tulisan terkait: Pengalaman Mengikuti Online Course Public Financial Management oleh International Monetary Fund (IMF)

Bagaimanapun, pandemi dan karantina ini mengajarkan pada saya untuk lebih bijak dalam mengatur keuangan, lebih banyak memahami dan menghabiskan waktu bersama keluarga, khususnya anak-anak, dan memberi saya waktu untuk lebih meningkatkan kompetensi ketimbang hanya menghabiskan waktu bermain game dan nonton TV atau Netflix. Karantina ini juga mengajarkan pada saya, bahwa hidup selalu tentang pilihan dan perubahan. Apakah Anda memilih untuk kembali menjadi diri Anda sebelum pandemi ini (Kembali ke 'Normal') atau Anda memilih berubah menjadi pribadi yang lebih baik (New Normal)? Pilihan ada di tangan Anda.

Lalu bagaimana dengan Kurva V? Ah, biarlah orang-orang kaya saja yang melangsungkan aksi 'balas dendam'-nya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention

Takdirmu Tidak Akan Melewatkanmu