Kata Teman, Saya Suami yang Takut Istri

Semenjak menikah, beberapa teman saya mengeluhkan betapa susahnya mengajak saya bercengkerama atau berkegiatan di luar rumah, baik itu sekadar nongkrong di warung kopi atau melakukan perjalanan (touring/traveling). Sampai akhirnya saya pun dijuluki suami yang takut istri. Julukan ini merujuk pada acara komedi situasi berjudul Suami-Suami Takut Istri yang pernah tayang di stasiun televisi swasta dalam negeri belasan tahun lalu. Memang, julukan itu hanyalah sebuah candaan. Tetapi, benarkah saya takut pada istri?

Di masa lajang dahulu, saya sudah banyak berpetualang, baik dalam artian harfiah maupun kiasan. Saya sudah menjelajahi berbagai tempat, berkenalan dengan banyak orang, dan melakukan berbagai banyak hal seru dan menarik. Karena saya menikah di usia 30 tahun, berarti saya rasa semua hal yang saya lakukan saat masa lajang dulu sudah lebih dari cukup. Dan satu lagi, saat ini saya bukanlah tipe orang yang sentimental, dan termasuk gampang 'move on'. Artinya, bagi saya, masa lalu cukuplah jadi pembelajaran dan pengalaman. Lagipula, saya merasa masa-masa lajang saya sudah cukup seru dan berwarna, sehingga tak ada alasan untuk bernostalgia secara berlebihan. Misalnya, saya tanpa ragu akan menyumbangkan atau membuang barang-barang di rumah jika tidak bisa dipakai atau dimanfaatkan, meski sebenarnya barang tersebut punya nilai historis dan kenangan.

Sebaliknya, jika barang tersebut masih memiliki nilai guna atau bermanfaat, maka saya akan terus menyimpan dan menggunakannya. Seperti barang pemberian mantan pasangan, misalnya. Saya pikir hanya orang bodoh yang membuang barang-barang peninggalan mantan pasangannya dengan alasan ingin terlepas dari kenangan masa lalu, meskipun sebenarnya masih punya manfaat. Ah, level saya sudah jauh di atas itu! Pun dengan istri, saya mempersilakan ia menyimpan barang-barang dari mantan pasangannya, apalagi jika bisa dimanfaatkan bersama. Masalahnya, jikapun ada barang pemberian mantan pasangannya, kualitasnya biasa saja, gampang rusak, dan tak layak digunakan lagi.

Saya sangat menikmati status saya sekarang sebagai kepala keluarga, meski kadang-kadang dalam beberapa kesempatan, saya juga sangat kesal dan letih untuk sekadar bermain dengan kedua buah hati. Tapi bagi saya, keluarga adalah anugerah, mereka juga solusi untuk meredam segala keburukan dan kekurangan. Menjadi orang tua adalah hal terbaik dalam hidup. Keluarga menjadi inspirasi dan barometer saya untuk selalu mencoba bertindak dengan benar dan tetap berada di 'jalur' moralitas dan etiket.

Arisandy Joan Hardiputra & Keluarga - Jatim Park 2

Saya akan mengingkari komitmen sebagai kepala keluarga jika saya meninggalkan mereka di luar jam kerja, apalagi untuk alasan yang 'tidak penting'. Benar, saat ini tak ada esensinya bagi saya untuk sekadar nongkrong di warung kopi atau kafe sambil membicarakan 'omong kosong'. Karena saya sendiri bukanlah sosok yang gemar berkerumun apalagi sosialita. Saat berkualitas bagi saya adalah menghabiskan waktu-waktu senggang bersama keluarga, menikmati masakan istri, bermain tebak-tebakan dengan putri saya yang saat ini berusia lima tahun, atau menggendong si bungsu jagoan saya yang berusia dua tahun. Hal terbaiknya, saya melakukannya di rumah sendiri atau di tempat lain di mana hanya ada kami,... dan mungkin beberapa keluarga dekat. Sebagai seorang dengan kepribadian Cautious dengan karakter reserved, task-oriented, dan cenderung introvert, berada di tempat umum adalah mimpi buruk saya.

Saat saya bertugas di kota sebelumnya, saya sempat bersitegang dengan tetangga yang merupakan warga lokal. Kebetulan ia membuka warung kopi di depan rumahnya. Hanya sayangnya, caranya mengembangkan usahanya tidak patut, ia dan warga lain membongkar portal kompleks rumah dinas yang saya dan rekan-rekan kerja tempati. Saat saya tegur, mereka tersinggung, dan malah ramai-ramai balik menyerang saya dan rekan-rekan dengan mengatakan bahwa kami bukan warga yang baik karena tidak pernah bercengkerama dengan warga setempat, di warung kopi miliknya. Kebetulan mayoritas warga kompleks rumah dinas adalah pendatang dari luar provinsi. Saat itu kami menerima perlakuan yang diskriminatif. Bahkan saat itu, salah seorang warga lokal sempat mengancam membunuh saya dan keluarga. Saya pikir alasan bahwa kami bukan warga yang baik tidak relevan dengan pokok masalahnya, yaitu ia sudah membongkar portal kompleks rumah dinas, dan menyerobot lahan milik negara. Lagipula, penilaian dan kriteria sebagai warga yang baik jelas relatif. Salah satu ciri pengecut, yaitu memanfaatkan 'kelemahan' saya berinteraksi di tempat umum, untuk mengalihkan isu sebenarnya, apalagi tindakan ancaman dilakukan dengan keroyokan. Alih-alih menghabiskan waktu selepas jam kerja dengan nongkrong di warung kopinya sambil bercengkerama dengan para barbar primitif ini, dan makan 'makanan sampah' yang dijual di kedainya, saya lebih memilih langsung pulang ke rumah, makan malam masakan istri, dan bermain dengan anak-anak.

Lalu, apakah saya suami yang takut pada istri? Silakan tanya ke istri saya, atau mungkin ke keluarga saya. Bisa jadi jawabannya malah justru saya adalah sosok yang paling disegani dalam keluarga. Saya mengajarkan anak-anak saya dengan ketegasan, khususnya dalam hal menghormati orang tua. Misalnya, saya pernah mengunci si bungsu di teras pada malam hari, dengan kondisi lampu saya matikan, dan ia tidak memakai baju. Saya menghukumnya karena ia tidak menurut saat saya dan istri hendak memakaikan baju tidur. Di teras, ia sama sekali tidak mengetuk pintu dan meminta masuk, ia hanya terisak di sana, karena ia tahu ia bersalah. Tentu saja, pagar dalam keadaan terkunci, juga masih dalam pengawasan saya. Setelah durasi hukumannya selesai, ia tetap berhak dipakaikan baju tidur dan mendapatkan ciuman selamat malam. Bukan hanya si bungsu, saya juga sudah menetapkan aturan rewards and punishments sejak putri saya berusia dua tahun. Namun begitu, menjadi orang tua adalah proses pembelajaran dan pengembangan diri yang berlangsung selamanya, saya masih terus belajar menjadi ayah yang lebih baik.

Saya tidak takut pada istri, saya menghormatinya, saya melindunginya, saya menghargainya, dan bagi saya, ia dan anak-anak kami jauh lebih berharga dari sekadar waktu untuk nongkrong di warung kopi atau kafe. Jikapun saya harus mengorbankan waktu saya di luar jam kerja, sebaiknya alasannya harus sangat penting, darurat, berharga, dan esensial. Tapi jika ada orang yang berpendapat sebaliknya dan memberikan stereotip pada saya, silakan saja! Saya menjalani hidup bukan berdasarkan pendapat orang lain selain keluarga inti. Moto "Selalu Ada Waktu Untuk Kopi" jelas-jelas tidak berlaku untuk saya.

Jadi, mohon maaf pada teman-teman yang ajakannya di luar jam kerja sering saya tolak, bukan karena saya takut pada istri, tapi bagi saya, keluarga adalah prioritas. Selain itu, porsi dan waktu bercengkerama dengan teman maupun keluarga saya anggap masing-masing sudah seimbang. Saya tidak tahu alasan para pria lain, suami dan ayah di luar sana yang juga malas nongkrong selepas jam kerja, itu bukan urusan saya karena saya pun menghormati mereka dan keluarganya.

Walaupun begitu, memang terkadang saya takut dengan istri saat ia marah karena sosoknya jadi mirip Mak Lampir. Ini serius!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention