Pentingnya Literasi Digital di Era Kekinian

Tulisan ini saya khususkan untuk memperingati sedekade Hari Blogger Nasional, Hari Sumpah Pemuda ke-89, dan Hari Oeang ke-71 tahun 2017.

Ada sesuatu yang menurut saya sangat menarik dalam sambutan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, pada upacara peringatan Hari Oeang ke-71 tanggal 30 Oktober 2017. Dalam sambutan yang juga dibacakan oleh para pembina upacara peringatan Hari Oeang ke-71 secara serentak di seluruh Indonesia, Sri Mulyani mengatakan, "Dengan kemajuan pembangunan, dengan infrastruktur yang makin menghubungkan seluruh daerah di Indonesia dan dengan teknologi serta kemajuan komunikasi antar sesama anak bangsa, sudah seharusnyalah kita makin memperkuat tekad persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Kita harus melawan perpecahan, karena kita adalah satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah tumpah darah, tanah air Indonesia."


Sri Mulyani Indrawati Hari Oeang ke-71 Tahun 2017
Sri Mulyani Indrawati (memakai kebaya) saat menjadi pembina upacara peringatan Hari Oeang ke-71 di Kantor Pusat Kemenkeu. Sumber: finance.detik.com


Bagian yang menurut saya menarik adalah mengenai kemajuan teknologi dan komunikasi, serta perpecahan. Tentunya mayoritas kita masyarakat urban sudah tentu terkena dampak kemajuan teknologi, khususnya dalam hal komunikasi; baik itu komunikasi secara langsung maupun komunikasi melalui media massa. Nah, yang perlu disorot adalah media massa, terutama dalam bentuk digital. Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan media massa secara harfiah, namun dalam masyarakat kita saat ini—yang malas melakukan literasi digital, nanti akan saya bahas kemudian—terjadi pergeseran makna atau lebih tepatnya kesalahan dalam memahami makna 'media massa' itu sendiri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), media massa diartikan sebagai sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas.

Perhatikan penggunaan kata resmi. Di Indonesia, media komunikasi seharusnya mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pers sehingga layak disebut sebagai media massa. Dilansir dari kompas.com, terdapat sekitar 43.000 media daring di Indonesia, namun hanya sekitar 234 yang terdaftar resmi di Dewan Pers. Terkait pergeseran makna atau lebih tepatnya kesalahan dalam memahami makna media massa, terlihat dengan maraknya tulisan-tulisan dalam platform digital yang dijadikan acuan oleh masyarakat Indonesia, khususnya generasi milenial; seperti blog, unggahan-unggahan di media sosial, maupun situs-situs web yang bukan merupakan laman media massa resmi.

Literasi digital adalah pengetahuan atau keterampilan seseorang dalam memahami, menganalisis, mengevaluasi, mengelola, menggunakan, dan memanfaatkan berbagai informasi dari media berbentuk digital (termasuk daring), termasuk bagaimana mengkomunikasikan ulang informasi tersebut kepada seseorang, kelompok, maupun masyarakat luas. Literasi digital juga biasa disebut dengan 'melek digital'.

Penggunaan media digital sebagai sarana komunikasi massal mulai marak saat era kampanye Barrack Obama sebagai calon Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Pemilu tahun 2008. Tim kampanye Obama saat itu sangat jeli membaca peluang dan perkembangan tren komunikasi masyarakat AS, khususnya kaum muda, mereka membentuk tim khusus yang menangani bidang kampanye melalui kanal digital. Adalah Joe Rospars yang merupakan otak di balik suksesnya kampanye digital Obama. Ia memiliki konsep pemikiran bahwa kanal media sosial adalah sarana untuk pencitraan diri yang bisa kontinu menampilkan apa yang ingin ditunjukkan oleh Obama kepada masyarakat. Selain itu, baginya kanal digital bukanlah sebuah pelengkap dari media konvensional melainkan 'senjata utama' untuk menyampaikan pesan secara langsung (real time) dan tepat waktu (on time). Rospars jugalah yang jeli membaca tren generasi muda yang lebih memprioritaskan media sosial dan media daring sebagai media preferensi dan referensi informasi. 

Puncak keriuhan media digital di Indonesia mencapai puncaknya saat kampanye Presiden di Pilpres tahun 2014. Sayangnya, momen ini juga menjadi pintu pembuka untuk penyebaran konten negatif dan hoaks (KBBI daring versi 5: berita bohong). Seperti pemikiran Rospars, media sosial, termasuk blog, menjadi rujukan bagi para generasi muda untuk mendapatkan berita dan menyebarkannya, tanpa melalui proses literasi digital. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, generasi milenial ini cenderung malas melakukan analisis mendalam mengenai konten media atau informasi, mereka menelannya bulat-bulat, dan lebih parah lagi dengan gampangnya membagikan konten-konten berekses negatif tersebut, meskipun sumber informasi belum tentu kredibel dan tidak terdaftar secara resmi di Dewan Pers Indonesia. Akibatnya, terjadi perpecahan antar anak bangsa sebagaimana disebutkan Sri Mulyani.

Sebagaimana dilansir dari laman web nationalgeographic.co.id, Indonesia merupakan ibu kota media sosial di dunia, karena pengguna akun media sosial yang sangat aktif dan masif, menjadikannya rentan terhadap ekses negatif dari lemahnya literasi digital. Untuk hal terakhir ini sepertinya pihak Saracen memahami benar kelemahan generasi muda kita, mereka dengan masif dan terstruktur menyebarkan konten-konten negatif, provokatif, radikalis, dan hoaks.

Saya tak akan mencontohkan perpecahan seperti apa yang dimaksud Sri Mulyani, saya hanya akan mengajak Anda untuk lebih bijaksana dalam menggunakan media digital, juga mengajak Anda melakukan literasi digital. Saya tak akan menjabarkan konten-konten negatif dan daftar website serta blog hoaks. Literasi digital pun tak perlu Anda lakukan secara menyeluruh jika Anda malas (tipikal generasi milenial). Saya hanya minta Anda sedikit bersikap bijaksana. Jika konten yang akan Anda tulis atau sebarkan bisa menimbulkan keresahan, berpotensi menciptakan konflik, atau membahayakan, maka tak perlu dibagikan. Cukup Anda saja yang membaca (atau mungkin lebih baik lagi tak perlu dibaca). Biasakan Anda memperoleh informasi hanya melalui media massa resmi, baik dalam bentuk konvensional, digital, maupun daring. Saya juga konsisten melakukan literasi digital, karenanya saya tak akan pernah menulis hoaks di blog saya, karena dari awal tujuan saya menulis blog adalah untuk menginspirasi, bukan memprovokasi (baca blog saya berjudul: Apa Tujuanmu Menulis? (Menyambut Hari Blogger Nasional)).

Jadi, bijaksanalah dalam menggunakan media sosial, jangan menjadi bagian dari one click killer!

One Click Killer

Komentar

  1. Setuju... Semoga makin banyak warga net yg tercerahkan tentang pentingya berfikir matang sebelum mengklik dan membagikan suatu info di sosmed

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk itu, sudah jadi tanggung jawab & kewajiban kita sebagai blogger untuk tidak menulis hoaks, menyebarkan hoaks, dan mengajarkan pada masyarakat tentang literasi digital.

      Terima kasih.

      Hapus

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

27 Oktober: Hari Blogger Nasional

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Seandainya Dahulu Saya ... (Sebuah Penyesalan)