Semakin Mengagumi Sri Mulyani Melalui Kuliah Umum di Unsyiah
Kamis (5/1) menjadi satu hari yang berkesan bagi saya karena bisa menyaksikan dan mengikuti kuliah umum yang langsung dibawakan oleh salah satu Srikandi Indonesia idola saya: Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati (SMI). Terus terang, saya mengidolakan SMI sejak beliau menjabat sebagai Menkeu periode sebelumnya, saat itu masih sebagai anggota Kabinet Indonesia Bersatu di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SMI menjadi sosok menkeu yang menurut saya berhasil merombak besar-besaran instansi yang dipimpinnya, tempat di mana saya juga bekerja. Perombakan besar ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi di jajaran Departemen Keuangan (kini bernama Kementerian Keuangan) menjadi salah satu pionir dan titik tolak terhadap reformasi birokrasi di kementerian lain, bahkan hingga luar negeri. Salah satu polanya adalah penerapan rewards and punishments yang signifikan dan sama sekali berbeda.
Sepertinya kepergian SMI dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melaksanakan tugas barunya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia tahun 2010 lalu, tak hanya berat untuk saya, namun juga untuk rekan-rekan sesama pegawai Kemenkeu lainnya. Terbukti saat beliau hendak meninggalkan kantor, para pegawai Kemenkeu bersama-sama melepas kepergiannya dengan iringan isak tangis dan kesan mendalam. Saat kepergiannya juga, para alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN, kini bernama PKN-STAN) saat itu berinisiatif untuk membuat kaos bertema SMI. Kaos berwarna hitam dengan tagline "Stand Up For Change" disebar ke seluruh Indonesia, sebagai bentuk dukungan terhadap SMI dan sekaligus memelihara warisan beliau tentang pentingnya perubahan/reformasi di tubuh birokrasi, khususnya Kemenkeu. Hingga kini, isu 'Perubahan' masih juga diusung untuk mendukung lima Nilai Kemenkeu: Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan.
Kembali ke tema tulisan, kedatangan SMI ke Banda Aceh sangat saya nantikan karena saya belum pernah berjumpa langsung dengan beliau. Meskipun sebenarnya ironis karena kedatangan beliau adalah untuk melihat langsung kondisi setelah gempa bumi di Pidie Jaya dan sekaligus menyampaikan bantuan kemanusiaan atas nama Kemenkeu. Sebelum berangkat ke lokasi bencana, SMI dijadwalkan memberikan kuliah umum di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Kuliah umum dengan tema Peran Fiskal Dalam Membangun Perekonomian Inklusif dihadiri oleh ratusan mahasiswa Unsyiah yang merupakan tamu undangan, juga dosen, dan rombongan Menkeu sendiri yang meliputi pejabat daerah, dan pejabat serta pegawai Kemenkeu. Saya sendiri sebenarnya tidak termasuk dalam rombongan maupun tamu undangan, namun rasa keingintahuan dan sebagai penggemar berat, dijamin saya tak akan bisa tidur sebelum berjumpa langsung. Ajakan atasan saya untuk menyaksikan kuliah umum pun saya terima tanpa pikir panjang. Saya pun 'menyelinap' di antara ratusan mahasiswa yang hadir.
Tulisan saya ini tidak akan membahas mengenai materi yang disampaikan oleh SMI dalam kuliah umum tersebut, melainkan bagaimana sosok keibuan satu ini menjadi narasumber yang bukan hanya kompeten di bidangnya, melainkan juga dibekali dengan kemampuan public speaking yang baik. Dalam kuliah itu, SMI menyampaikan beberapa hal terkait kondisi perekonomian Indonesia, termasuk perbandingannya dengan beberapa tahun lalu. SMI menyampaikannya dengan sangat baik, lugas, dan sederhana. Bahkan sebelum menjelaskan tentang perekonomian, baik secara mikro maupun makro, SMI terlebih dahulu meminta izin dan permisi kepada para dosen ekonomi dan pejabat Kemenkeu yang hadir, untuk menggunakan perumpamaan dan bahasa yang sederhana agar bisa dengan mudah dipahami oleh para mahasiswa.
Perumpamaan itu seperti misalnya demands dan supplies di pasar yang dianalogikan seperti tangan kanan dan kiri yang harus selalu seimbang dan selaras, atau bagaimana kebijakan Pemerintah Amerika Serikat mencetak banyak uang dan "The Fed"—Federal Reserve, bank sentral AS—yang menaikkan tingkat suku bunga untuk keluar dari krisis ekonomi, dianalogikan dengan mengisi air ke dalam kolam: semakin banyak air, maka benda-benda akan semakin tinggi mengapung. Tak lupa juga analogi yang menarik saat beliau kilas balik ke masa lalu saat kuliah dengan hanya bermodal uang kiriman dari ibundanya sebesar Rp15.000,00 setiap bulan. Dengan uang sejumlah itu, SMI muda harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk membiayai keperluan kuliahnya. Kini ia harus mengelola dana APBN dengan jumlah triliunan rupiah untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Satu hal yang menarik perhatian saya adalah, meskipun menyampaikan fakta tentang beberapa kondisi perekonomian yang relatif negatif, tapi SMI membungkusnya masih dengan penuh optimisme, alih-alih menambah kekhawatiran audiens—yang mungkin nantinya akan berbuntut kritik kepada pemerintah. Hal ini mengingatkan saya ketika mengikuti diklat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri dari kantor tempat saya bekerja: dalam sebuah sesi, pengajar saat itu menjabarkan tentang kondisi utang luar negeri Indonesia, dan menjelaskan tentang perbandingan jumlah utang negara kita dengan jumlah rakyat Indonesia. Namun saya lupa jumlah pastinya, hanya saja, utang negara kita tidak akan lunas selama beberapa generasi meskipun setiap orang (dan anak-cucunya) menanggungnya.
Satu hal yang menarik perhatian saya adalah, meskipun menyampaikan fakta tentang beberapa kondisi perekonomian yang relatif negatif, tapi SMI membungkusnya masih dengan penuh optimisme, alih-alih menambah kekhawatiran audiens—yang mungkin nantinya akan berbuntut kritik kepada pemerintah. Hal ini mengingatkan saya ketika mengikuti diklat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri dari kantor tempat saya bekerja: dalam sebuah sesi, pengajar saat itu menjabarkan tentang kondisi utang luar negeri Indonesia, dan menjelaskan tentang perbandingan jumlah utang negara kita dengan jumlah rakyat Indonesia. Namun saya lupa jumlah pastinya, hanya saja, utang negara kita tidak akan lunas selama beberapa generasi meskipun setiap orang (dan anak-cucunya) menanggungnya.
Bedanya dengan SMI adalah, Menkeu menyampaikannya dengan penjelasan bahwa utang kita merupakan investasi. Meskipun setiap orang menanggungnya (termasuk generasi muda), namun utang itu digunakan sebagai investasi pengembangan pendidikan dan kesejahteraan. Artinya, diharapkan masa mendatang, hasil investasi akan bisa menuai lebih banyak hasil positif (keuntungan) melalui program pengembangan skill dan kompetensi pemuda, membuka lebih banyak lapangan kerja, termasuk kesempatan kerja yang lebih luas untuk generasi muda. Kesimpulannya, meskipun dalam kondisi ekonomi yang kurang kondusif, namun optimisme harus ada, apalagi kekuatan ekonomi Indonesia sudah beberapa kali terbukti ketangguhannya, termasuk tidak lagi terjebak dalam kondisi krisis seperti tahun 1998 lalu.
Pada akhirnya, saya masih yakin SMI adalah sosok yang masih tepat untuk memimpin, bukan hanya Kementerian Keuangan, namun juga sosok sentral untuk kembali mengangkat Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang ketangguhannya patut diperhitungkan... selama ia tidak 'disingkirkan' seperti terakhir kali saat menjabat sebagai Menkeu periode sebelumnya. Itu karena ia adalah sosok independen, tak terikat oleh partai politik manapun, namun ia dengan tegas dan berani menggoyang kursi elite politik dan pejabat yang enggan membayar pajak. Pada akhirnya, kata-kata terakhirnya saat meninggalkan jabatannya saat itu akan terus dikenang: "... saya menang. Saya berhasil karena tidak didikte oleh siapapun, termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini.... Selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang."
Pada akhirnya, saya masih yakin SMI adalah sosok yang masih tepat untuk memimpin, bukan hanya Kementerian Keuangan, namun juga sosok sentral untuk kembali mengangkat Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang ketangguhannya patut diperhitungkan... selama ia tidak 'disingkirkan' seperti terakhir kali saat menjabat sebagai Menkeu periode sebelumnya. Itu karena ia adalah sosok independen, tak terikat oleh partai politik manapun, namun ia dengan tegas dan berani menggoyang kursi elite politik dan pejabat yang enggan membayar pajak. Pada akhirnya, kata-kata terakhirnya saat meninggalkan jabatannya saat itu akan terus dikenang: "... saya menang. Saya berhasil karena tidak didikte oleh siapapun, termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini.... Selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang."
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.