Anak-anak Indonesia, Investasi Masa Depan Bangsa yang Tidak Menguntungkan?
"Saya menulis blog ini karena terinspirasi oleh anak-anak Indonesia, mereka tetap berusaha tersenyum saat hak-hak mereka untuk hidup nyaman dan menjadi pribadi berkarakter, terampas, disadari atau tidak."
Suatu hari saya membaca sebuah kutipan menarik dari John F. Kennedy—mantan Presiden Amerika Serikat—yang ditautkan melalui sebuah foto oleh laman Facebook UNICEF Indonesia—sebuah organisasi nirlaba di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi dan menjaga hak-hak anak-anak dan kaum muda—yang berbunyi:
"Anak-anak adalah sumber daya yang paling berharga di dunia dan harapan terbaik untuk masa depan."
Sumber: Facebook UNICEF Indonesia |
Sesuai dengan tujuannya, organisasi ini menitikberatkan kepada pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan anak. Sebegitu pentingkah anak-anak dan generasi muda hingga mereka dipercaya sebagai pembawa harapan terbaik untuk masa depan?
Jadi teringat sebuah kutipan menarik lainnya yang diucapkan oleh Soekarno—Presiden R.I. pertama:
"Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."
Sumber: Facebook UNICEF Indonesia |
Masalahnya, bagaimana definisi pasti dari 'mengguncangkan dunia?' Ini bisa berarti positif, namun juga negatif. Tergantung juga kepada pimpinan dengan karakter seperti apa yang bisa membangkitkan potensi mereka dan memimpin mereka untuk mengguncangkan dunia. Namun dari sini, kita bisa menilai bahwa anak-anak dan pemuda adalah sebuah aset tak ternilai. Peran mereka bisa menentukan masa depan setiap bangsa. Peran seperti apa dan masa depan yang bagaimana, semuanya kita—generasi sebelumnya—yang menentukan. Di Indonesia, dengan budaya amburadul, tentunya jangan berharap terlalu banyak untuk mengangkat bangsa. Bagaimana moral anak-anak dan pemuda bangsa bisa terangkat jika para pemimpin bangsa masih bermental korup dan egois?!
Lalu ada satu lagi kutipan menarik:
"Alam semesta bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan warisan untuk anak-cucu dan generasi muda penerus lainnya."
Nah, alam semesta seperti apa yang mau kita wariskan? Lebih penting lagi, pendidikan dan karakter seperti apa yang mau kita tanamkan agar mereka bisa menjadi harapan terbaik untuk masa depan? Inilah pekerjaan penting kita untuk mendidik anak sejak dini mengenai kekuatan karakter dan mengenali potensi diri. Caranya? Metode paling baik adalah dengan memberikan contoh nyata kepada mereka, atau dengan kata lain menjadi teladan.
Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan di awal tahun 2015 oleh UNICEF Indonesia, disebutkan bahwa dari sekitar 250 juta orang penduduk Indonesia, kira-kira 84 juta diantaranya—atau sepertiganya—adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dengan tingkat kesuburan sebesar 2,6 dan harapan hidup saat lahir, yaitu 69 tahun untuk anak laki-laki dan 73 tahun untuk perempuan, Indonesia akan terus memiliki penduduk anak-anak dan remaja yang bertambah dengan pesat.
Menyadur dari perkataan Soekarno di atas, ini jelas merupakan sebuah potensi yang lebih dari cukup untuk sekadar 'mengguncangkan dunia'. Masalahnya di balik potensi besar tersebut juga terdapat permasalahan yang harus segera diatasi oleh berbagai elemen dan lapisan masyarakat, seperti kemiskinan, tingkat pendidikan—termasuk kualitas pendidikan, kesehatan, dan pola didik yang diterapkan oleh orang tua dengan 'mental zaman dulu'-nya yang kini jelas-jelas sudah outdated dan kurang bisa diterima oleh akal anak-anak muda zaman sekarang.
Smartphone tidak ada di era 90-an, anak-anak di era millenium juga tidak akrab dengan permainan tradisional. Lalu apakah orang tua harus memaksakan hal yang sama untuk anak-anak mereka? Sudah pasti tidak. Saya bukan bermaksud sok pintar, tetapi seringkali kita lihat di tempat umum—saat bersama dengan keluarga—si anak malah asyik bermain smartphone, sementara orang tua sibuk sendiri dengan urusannya, padahal di saat-saat seperti ini, kebersamaan bisa terjalin lebih akrab, komunikasi antar anggota keluarga seharusnya bisa mencapai tahap maksimal. Apakah smartphone sebaiknya dilarang? Tidak juga. Tergantung bagaimana, kapan, serta berapa lama anak bermain dengan smartphone. Di atas semua itu, komunikasi dan interaksi verbal dan personal adalah segalanya.
Jalanan juga tak luput dari anak-anak yang belum cukup umur untuk berkendara dengan bebas, terkadang tanpa helm dan ugal-ugalan. Dimana peran orang tua yang seharusnya mengawasi dan mengontrol mereka? Seharusnya anak-anak yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) tidak diperbolehkan berkendara di jalanan umum.
Secara tidak langsung, kesalahan-kesalahan didik semacam ini akan membentuk karakter anak yang egois, tidak percaya diri, introvert, dan bahkan rentan depresi. Ayolah, Ayah dan Ibu, saatnya membangun kembali keakraban dan komunikasi, meski hanya sederhana! Singkirkan sejenak gawai (gadget) Anda, orang tualah yang seharusnya membuat anak tersenyum kegirangan, bukan rangkaian aplikasi atau permainan video.
Selain keluarga, pola pikir dan karakter anak juga terbentuk di lingkungan sekitarnya, khususnya di sekolah. Para guru dan pengajar diharapkan menjadi mentor yang bukan hanya memaksakan anak-anak menjadi pintar secara instan, namun juga menjadi orang tua kedua dengan mengajarkan apa yang lebih penting dari kecerdasan: Jiwa sosial, empati, kejujuran, kedisiplinan, dan kelapangan hati untuk berbagi. Saya tidak habis pikir dengan aturan Ujian Nasional (UN) yang dijadikan standar kelulusan siswa. Bagaimana mungkin proses belajar bertahun-tahun di sekolah ditentukan sukses atau tidaknya melalui tes selama tak lebih dari seminggu? Sedangkan proses belajar itu sendiri lebih dari sekadar buku pelajaran, papan tulis, lembar kerja, dan serangkaian barang lain yang apabila dibakar maka tak akan bernilai sama sekali. Proses belajar ada di dalam otak, dan yang terpenting proses belajar ada di dalam hati. Anak-anak belajar bergaul dengan kawan-kawannya, mereka belajar berbagi dengan sesama, mereka belajar menghormati gurunya, dan mereka belajar bagaimana menggunakan waktu-waktu di sekolah untuk membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik.
Saya sangat mengutuk para guru yang menggunakan kekuasaannya untuk menghukum murid-muridnya dengan hukuman fisik. Para guru menuntut para siswanya untuk terus belajar, sedangkan mereka sendiri tak pernah belajar menjadi 'orang tua' yang baik. Oknum guru seperti ini biasanya lebih memprioritaskan kualitas intelegensia di atas kertas. Mereka lupa bahwasanya apa yang tertulis di atas kertas bisa dihapus, mereka lupa bahwasanya apa yang tertulis di atas lembar kerja bisa jadi hasil dari kecurangan yang diakibatkan ketakutan siswa terhadap doktrin guru dan orang tua sendiri bahwasanya tujuan bersekolah adalah untuk pintar secara akademis.
Kembali ke kasus lain, suatu hari saya pernah mengajak keluarga untuk berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Medan. Kami menjumpai orang tua yang membentak anaknya habis-habisan karena si anak masih ingin menghabiskan waktunya di sebuah pusat permainan. Tak cukup dengan membentak, bahkan si orang tua ini sampai menyeret lalu menggendong paksa anaknya. Perlukah seperti itu? Ingatlah, rata-rata otak anak aktif sepenuhnya setelah menginjak usia 2 tahun. Mereka memahami rasa malu dan otak mereka akan merekam bagaimana rasanya dipermalukan dan mungkin mereka juga akan belajar bahwa membentak di depan umum adalah hal biasa, sehingga mereka boleh menirunya. Lagipula, anak-anak yang merengek seperti ini pasti merasakan sesuatu yang gagal disadari oleh orang tua. Dalam kasus ini, mungkin si anak begitu senang karena jarang diberikan waktu bermain bersama-sama di rumah, atau mungkin begitu senang karena di tempat inilah dia bisa menghabiskan waktu bersama orang tuanya, atau bahkan si anak sama sekali tak tertarik dengan wahana permainan, dia hanya ingin mendapatkan perhatian orang tua.
Bahaya lain yang mengancam anak-anak sebagai investasi terbesar bangsa adalah masalah kesehatan dan kebersihan. Berdasarkan jurnal UNICEF Indonesia tahun 2015, Indonesia memiliki jumlah penduduk kedua terbesar di dunia yang tidak memiliki akses terhadap jamban, sehingga mereka harus buang air besar di tempat terbuka yang meningkatkan risiko diare: pembunuh anak yang utama. Angka kematian anak yang tinggi biasanya berkolerasi dengan kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, gizi buruk, dan rendahnya tingkat pendidikan ibu.
Masalah anak begitu kompleks, sehingga tak akan tuntas saya bahas satu persatu melalui tulisan ini. Namun demikian, tak perlu kita memaksakan diri untuk membenahi total semua masalah. Saya menginginkan adanya perubahan dalam pola pikir kita dan pola didik terhadap anak. Tak peduli orang seperti apa Anda, apapun profesi Anda, secuek apapun Anda, perbaikilah cara pandang kita terhadap anak. Anda menganggap sinis orang lain, bagi saya tak masalah, selama Anda masih memiliki kepedulian terhadap anak-anak.
Smartphone tidak ada di era 90-an, anak-anak di era millenium juga tidak akrab dengan permainan tradisional. Lalu apakah orang tua harus memaksakan hal yang sama untuk anak-anak mereka? Sudah pasti tidak. Saya bukan bermaksud sok pintar, tetapi seringkali kita lihat di tempat umum—saat bersama dengan keluarga—si anak malah asyik bermain smartphone, sementara orang tua sibuk sendiri dengan urusannya, padahal di saat-saat seperti ini, kebersamaan bisa terjalin lebih akrab, komunikasi antar anggota keluarga seharusnya bisa mencapai tahap maksimal. Apakah smartphone sebaiknya dilarang? Tidak juga. Tergantung bagaimana, kapan, serta berapa lama anak bermain dengan smartphone. Di atas semua itu, komunikasi dan interaksi verbal dan personal adalah segalanya.
Jalanan juga tak luput dari anak-anak yang belum cukup umur untuk berkendara dengan bebas, terkadang tanpa helm dan ugal-ugalan. Dimana peran orang tua yang seharusnya mengawasi dan mengontrol mereka? Seharusnya anak-anak yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) tidak diperbolehkan berkendara di jalanan umum.
Secara tidak langsung, kesalahan-kesalahan didik semacam ini akan membentuk karakter anak yang egois, tidak percaya diri, introvert, dan bahkan rentan depresi. Ayolah, Ayah dan Ibu, saatnya membangun kembali keakraban dan komunikasi, meski hanya sederhana! Singkirkan sejenak gawai (gadget) Anda, orang tualah yang seharusnya membuat anak tersenyum kegirangan, bukan rangkaian aplikasi atau permainan video.
"Semua anak Indonesia memiliki hak atas kesehatan, pendidikan yang berkualitas, martabat, dan kesempatan untuk memenuhi potensi mereka."
Selain keluarga, pola pikir dan karakter anak juga terbentuk di lingkungan sekitarnya, khususnya di sekolah. Para guru dan pengajar diharapkan menjadi mentor yang bukan hanya memaksakan anak-anak menjadi pintar secara instan, namun juga menjadi orang tua kedua dengan mengajarkan apa yang lebih penting dari kecerdasan: Jiwa sosial, empati, kejujuran, kedisiplinan, dan kelapangan hati untuk berbagi. Saya tidak habis pikir dengan aturan Ujian Nasional (UN) yang dijadikan standar kelulusan siswa. Bagaimana mungkin proses belajar bertahun-tahun di sekolah ditentukan sukses atau tidaknya melalui tes selama tak lebih dari seminggu? Sedangkan proses belajar itu sendiri lebih dari sekadar buku pelajaran, papan tulis, lembar kerja, dan serangkaian barang lain yang apabila dibakar maka tak akan bernilai sama sekali. Proses belajar ada di dalam otak, dan yang terpenting proses belajar ada di dalam hati. Anak-anak belajar bergaul dengan kawan-kawannya, mereka belajar berbagi dengan sesama, mereka belajar menghormati gurunya, dan mereka belajar bagaimana menggunakan waktu-waktu di sekolah untuk membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik.
Saya sangat mengutuk para guru yang menggunakan kekuasaannya untuk menghukum murid-muridnya dengan hukuman fisik. Para guru menuntut para siswanya untuk terus belajar, sedangkan mereka sendiri tak pernah belajar menjadi 'orang tua' yang baik. Oknum guru seperti ini biasanya lebih memprioritaskan kualitas intelegensia di atas kertas. Mereka lupa bahwasanya apa yang tertulis di atas kertas bisa dihapus, mereka lupa bahwasanya apa yang tertulis di atas lembar kerja bisa jadi hasil dari kecurangan yang diakibatkan ketakutan siswa terhadap doktrin guru dan orang tua sendiri bahwasanya tujuan bersekolah adalah untuk pintar secara akademis.
Kembali ke kasus lain, suatu hari saya pernah mengajak keluarga untuk berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Medan. Kami menjumpai orang tua yang membentak anaknya habis-habisan karena si anak masih ingin menghabiskan waktunya di sebuah pusat permainan. Tak cukup dengan membentak, bahkan si orang tua ini sampai menyeret lalu menggendong paksa anaknya. Perlukah seperti itu? Ingatlah, rata-rata otak anak aktif sepenuhnya setelah menginjak usia 2 tahun. Mereka memahami rasa malu dan otak mereka akan merekam bagaimana rasanya dipermalukan dan mungkin mereka juga akan belajar bahwa membentak di depan umum adalah hal biasa, sehingga mereka boleh menirunya. Lagipula, anak-anak yang merengek seperti ini pasti merasakan sesuatu yang gagal disadari oleh orang tua. Dalam kasus ini, mungkin si anak begitu senang karena jarang diberikan waktu bermain bersama-sama di rumah, atau mungkin begitu senang karena di tempat inilah dia bisa menghabiskan waktu bersama orang tuanya, atau bahkan si anak sama sekali tak tertarik dengan wahana permainan, dia hanya ingin mendapatkan perhatian orang tua.
sumber: Facebook UNICEF Indonesia |
Bahaya lain yang mengancam anak-anak sebagai investasi terbesar bangsa adalah masalah kesehatan dan kebersihan. Berdasarkan jurnal UNICEF Indonesia tahun 2015, Indonesia memiliki jumlah penduduk kedua terbesar di dunia yang tidak memiliki akses terhadap jamban, sehingga mereka harus buang air besar di tempat terbuka yang meningkatkan risiko diare: pembunuh anak yang utama. Angka kematian anak yang tinggi biasanya berkolerasi dengan kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, gizi buruk, dan rendahnya tingkat pendidikan ibu.
"Jelas bahwa anak-anak yang paling terkena dampak positif dan negatif proses tata kelola dan pengambilan keputusan, namun kepentingan mereka seringkali tidak dibela."
Masalah anak begitu kompleks, sehingga tak akan tuntas saya bahas satu persatu melalui tulisan ini. Namun demikian, tak perlu kita memaksakan diri untuk membenahi total semua masalah. Saya menginginkan adanya perubahan dalam pola pikir kita dan pola didik terhadap anak. Tak peduli orang seperti apa Anda, apapun profesi Anda, secuek apapun Anda, perbaikilah cara pandang kita terhadap anak. Anda menganggap sinis orang lain, bagi saya tak masalah, selama Anda masih memiliki kepedulian terhadap anak-anak.
Selain itu, pola penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap anak juga perlu ditingkatkan. Undang-undang tentang anak-anak harus disosialisasikan secara lebih mendalam kepada setiap lapisan masyarakat, jika perlu direvisi untuk lebih menjamin terlaksananya program-program yang memperkuat terwujudnya hak-hak anak Indonesia, termasuk bentuk hukuman terberat terhadap pelaku kekerasan terhadap anak. Selain itu, sistem hukum dan peradilan terhadap anak-anak sebagai terdakwa juga perlu pengkajian lebih mendalam dan sebisa mungkin tidak merampas hak-hak dasar anak untuk hidup bebas, terlepas dari tekanan sosial, dan pemulihan nama baik.
Begitu banyak anak di sekitar kita, marilah kita lebih peduli dengan mereka dan membantu semampu kita. Melalui tulisan ini juga, saya ingin menggalakkan program #OneDayOneCare for Children yang mengharuskan kita memberikan minimal satu bentuk kepedulian dan kasih sayang terhadap anak. Untuk lebih menginspirasi banyak orang, unggah setiap tindakan yang Anda lakukan ke media sosial menggunakan tanda pagar (#) tersebut. Tak harus anak kandung, cukup dengan anak-anak di sekitar Anda, bahkan mungkin anak-anak yatim di panti asuhan, atau anak-anak lain yang bahkan Anda belum pernah menjumpai mereka melalui yayasan sosial atau lembaga kemanusiaan. Tak harus membantu dengan materi, cukup berikan kasih sayang dan pengetahuan baru. Untuk hal ini, tak ada sarana lain yang lebih dipahami oleh anak selain sarana yang telah disediakan oleh alam: Ajak anak-anak bermain dan belajar di ruangan terbuka, ajarkan mereka kepedulian dan empati dengan berbagi, karena masa depan mereka adalah masa depan bangsa.
Begitu banyak anak di sekitar kita, marilah kita lebih peduli dengan mereka dan membantu semampu kita. Melalui tulisan ini juga, saya ingin menggalakkan program #OneDayOneCare for Children yang mengharuskan kita memberikan minimal satu bentuk kepedulian dan kasih sayang terhadap anak. Untuk lebih menginspirasi banyak orang, unggah setiap tindakan yang Anda lakukan ke media sosial menggunakan tanda pagar (#) tersebut. Tak harus anak kandung, cukup dengan anak-anak di sekitar Anda, bahkan mungkin anak-anak yatim di panti asuhan, atau anak-anak lain yang bahkan Anda belum pernah menjumpai mereka melalui yayasan sosial atau lembaga kemanusiaan. Tak harus membantu dengan materi, cukup berikan kasih sayang dan pengetahuan baru. Untuk hal ini, tak ada sarana lain yang lebih dipahami oleh anak selain sarana yang telah disediakan oleh alam: Ajak anak-anak bermain dan belajar di ruangan terbuka, ajarkan mereka kepedulian dan empati dengan berbagi, karena masa depan mereka adalah masa depan bangsa.
Benar sekali ya bang, memang ada beberapa panduan untuk mengurus dan membentuk anak ...
BalasHapusPanduan terbaik mungkin dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain yang dibagikan langsung. Terpenting, biarkan anak menjalani sendiri hidupnya dan ingin menjadi apa. Dengan bimbingan yang benar, pasti mereka akan tumbuh jadi individu yang positif.
Hapusmasa depan bangsa adalah tv yang bermutu, maka anak anak cukup asupan imajinasi untuk menjadikan negara lebih hebat, halah kahaha
BalasHapusTV atau acara TV-nya yang bermutu? Nanti malah sering melamun pula anak-anak. Haha...!!
Hapusdiindonesia seolah-olah anak-anak menajdi beban negara. padahal justru potensi anak-anak harus di kembangkan untuk membangun negara ini :(
BalasHapusSeluruh elemen di negara ini -termasuk pemerintah- belum maksimal memberikan hak-hak anak. Ini suatu PR besar yang harus segera diatasi. Harus segera ada perubahan pola pikir dari orang dewasa dan pola didik untuk anak-anak.
Hapusiyah masih anak2 atau gk ya? hahahha
Hapus