Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi
Tak seperti biasanya, kali ini saya ingin membahas sesuatu yang berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya: Tentang resensi sebuah film yang memberikan visi baru kepada saya mengenai peran seorang kepala keluarga, khususnya sebagai ayah yang harus rela mengorbankan apapun demi anak-anaknya, berjudul Hours, dibintangi oleh (almarhum) Paul Walker yang berperan sebagai Nolan Hayes.
Film bergenre thriller-drama ini adalah film terakhir Paul Walker yang dirilis secara umum tanggal 13 Desember 2013, sekitar dua pekan setelah kematian tragisnya akibat kecelakaan mobil. Berlatar belakang di Kota New Orleans saat terjangan Badai Katrina yang nyata terjadi tahun 2005 di Amerika Serikat. Badai topan ini termasuk salah satu badai terburuk dalam sejarah Amerika Serikat yang dampak dari kerusakannya—menurut PBB—bahkan lebih luas dan lebih parah dari musibah tsunami yang menerjang Aceh akhir tahun 2004 silam.
Film bergenre thriller-drama ini adalah film terakhir Paul Walker yang dirilis secara umum tanggal 13 Desember 2013, sekitar dua pekan setelah kematian tragisnya akibat kecelakaan mobil. Berlatar belakang di Kota New Orleans saat terjangan Badai Katrina yang nyata terjadi tahun 2005 di Amerika Serikat. Badai topan ini termasuk salah satu badai terburuk dalam sejarah Amerika Serikat yang dampak dari kerusakannya—menurut PBB—bahkan lebih luas dan lebih parah dari musibah tsunami yang menerjang Aceh akhir tahun 2004 silam.
Theatrical release poster. Sumber: Wikipedia |
Sinopsis
Diceritakan di awal film, Nolan Hayes sedang mendampingi istrinya yang akan melahirkan anak pertama mereka di sebuah rumah sakit di Kota New Orleans, saat Badai Katrina mulai menerjang. Setelah menunggu dengan kecemasan, Hayes malah mendapatkan kabar dari dokter bahwa istrinya meninggal akibat kehabisan darah saat melahirkan putri mereka. Ditambah lagi dengan bayi kecilnya terlahir dengan kondisi lemah dan memerlukan perawatan medis lebih lanjut dalam sebuah inkubator NICU (Neonatal Intensive-Care Unit—di film ini disebut Ventilator) untuk membantunya bernafas. Perawatan ini menurut prediksi dokter memerlukan waktu sekitar 48 jam sebelum bayi mulai menangis yang berarti menandakan kondisi kesehatannya telah pulih.
Di tengah kedukaan dan dilema akibat istrinya meninggal akibat melahirkan anak yang sebenarnya tidak diinginkan, Hayes "terpaksa" berkomitmen untuk menjaga bayi perempuannya hingga pulih. Bagaimanapun, bayi ini adalah buah hatinya, dan untuk mengenang istri yang sangat dicintainya, Hayes-pun memberinya nama Abigail—seperti nama istrinya, dengan harapan Abby—panggilan sayangnya—akan mewarisi sifat dan kekuatan seperti sang ibu.
Alur cerita mulai berkembang rumit saat Badai Katrina mulai mengganas dan memporak-porandakan Kota New Orleans dan memaksa warganya harus dievakuasi, termasuk para perawat, dokter, dan pasien di rumah sakit tempat Hayes dan bayinya berada. Semula dokter meyakinkan tidak akan meninggalkan rumah sakit dan mendampingi pasien yang masih dirawat, Hayes-pun merasa lega. Namun seakan seperti sebuah satir yang ditujukan kepada mayoritas orang bahwa dalam kondisi gawat yang mempertaruhkan nyawa, mayoritas orang akan kehilangan nurani, akal sehat, dan melupakan sumpah profesionalnya, ternyata dokter juga akhirnya meninggalkan rumah sakit tanpa sepengetahuan Hayes dan (mungkin tak sengaja) meninggalkannya sendirian bersama putrinya.
Kondisi semakin gawat ketika Badai Katrina merusak tanggul dan mengakibatkan Kota New Orleans terendam banjir—tanggul jebol ini juga merupakan kejadian sebenarnya, mengakibatkan listrik padam dan merusak generator utama di rumah sakit. Hayes menemukan sebuah generator manual untuk memberi tenaga pada baterai inkubator NICU tempat bayinya dirawat. Namun ternyata, usia mesin yang sudah tua membuat baterai lemah dan hanya mampu mensuplai listrik cadangan selama tiga menit. Alhasil, Hayes harus memutar tuas generator manual tersebut setiap tiga menit. Lebih parah lagi, karena daya tahan baterai terus menerus melemah, bahkan hingga tak lebih dari dua menit.
Dalam kurun waktu sesingkat itu, Hayes bukan hanya harus mengisi ulang daya baterai, namun juga berusaha mencari bantuan dengan segala cara tanpa harus melupakan bayinya. Ia juga harus mengganti popok dan mengganti cairan infus bayinya, semua ia lakukan dalam kondisi gelap gulita dan keterbatasan waktu. Dan ia harus melakukan semua rutinitas itu dalam waktu 48 jam tanpa istirahat.
Ancaman bukan hanya datang dari keterbatasan listrik, ketiadaan makanan, dan kelelahan yang dirasakan, namun juga sifat manusia yang dalam kondisi bencana bisa berubah menjadi tak bernurani dan egois. Beberapa orang datang untuk menjarah apapun yang tersedia demi mempertahankan hidup, termasuk "menyingkirkan" Nolan Hayes—bila perlu. Insting Hayes sebagai seorang ayah adalah menyelamatkan nyawa putrinya dengan segala cara, dan ia sadar ia harus mempertahankan hidup.
Dengan segala keterbatasan dan ancaman, serta frustrasi, Hayes memberikan segala macam upaya yang ia bisa demi menyelamatkan bayinya. Namun dengan tagline "Tak ada yang lebih berbahaya dari seorang pria yang berjuang demi keluarganya" di trailer film ini, saya rasa jawabannya cukup jelas: Nolan Hayes mengabaikan rasa takut, kelelahan, dan bahkan etika, serta sisi kemanusiaannya terhadap siapapun yang mencoba menghalanginya menyelamatkan nyawa sang bayi putri.
Hikmah
Film Hours seakan menegaskan bahwa sosok kepala keluarga (suami/ayah) memiliki tanggung jawab utama terhadap keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan keluarga. Ayah harus rela melakukan apapun demi anak-anaknya, bahkan jika tindakan yang diambilnya mengancam keselamatan dirinya sendiri. Nolan Hayes merupakan sosok teladan nan inspiratif—dari segi positif; tanggung jawab, kegigihan, dan keberanian—bagi saya dan mungkin banyak pria lain di luar sana yang menjadi pemimpin keluarga. Nilai lebih bagi saya karena saya juga tengah menanti kehadiran anak pertama yang diprediksi seorang perempuan. Film ini membuat mata hati saya semakin terbuka dan tetap semangat untuk berjuang demi keluarga, khususnya untuk putri saya nantinya, dengan segala keterbatasan yang saya miliki.
Pun demikian dengan lagu tema film ini berjudul All I Feel Is You yang dibawakan dengan cantik oleh Natalia Safran—penyanyi kelahiran Polandia yang juga berperan singkat di film ini; liriknya yang penuh makna seakan menegaskan bahwa dalam keadaan tersulit dan tergelap sekalipun, rasa cinta dan kasih sayang terhadap seseorang bisa memberikan suntikan semangat terbesar. Lagu tema dan film benar-benar menyatu dan membuat saya semakin larut dalam menjiwai makna sebenarnya yang ingin disampaikan melalui film ini.
Saya sangat merekomendasikan film ini bagi semua pria yang menjadi kepala keluarga, atau pria yang akan menikah, baru menjadi suami, atau seorang ayah yang bermasalah dengan keluarga. Selalu ingat bahwa keluarga adalah harta yang tak ternilai, anak adalah buah hati paling mulia, yang mungkin tanpa Anda sadari, Anda adalah Nolan Hayes bagi keluarga Anda. Tetaplah berjuang!
Lirik lagu All I Feel Is You oleh Natalia Safran:
when faced with the darkest day
with an endless night when I lay awake
only thought of you can pull me through
when shadowed by greyest cloud
weighed down by darkest self doubt
memory of your smile
can pull me out
all I feel is you
all I feel is you
how can it be that?
all I feel is you
and when I close my eyes
world drifts away
all is far behind
where do my thought rush to
they race 'till they find you
in the deepest sleep
in the middle of my most secret dream
it's your face I see
your eyes following me
all I feel is you
all I feel is you
how can it be that?
all I feel is you.
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.