Setahun Menikmati Slow Living di Tanjung Selor, Kalimantan Utara
Sebelum membaca lebih jauh, untuk memahami konteks tulisan kali ini, saya sarankan Anda membaca terlebih dahulu tulisan saya sebelumnya berjudul "Dunia Terbalik dan Panas di Bulan Agustus yang Hectic" dan "Takdirmu Tidak Akan Melewatkanmu".
28 Maret 2024, Gedung Dwi Warna, Kota Bandung
Saya segera mengunduh surat keputusan mutasi yang dikirimkan seorang rekan kerja melalui Whatsapp, menggulir halaman demi halamannya hingga menemukan nama saya sendiri. Dan di situlah, tepat di halaman 37, bagian Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) Provinsi Kalimantan Utara, Kepala Seksi Pembinaan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat.
Setelah sekian detik mencerna informasi itu, saya segera mengabarkan ke istri melalui aplikasi perpesanan yang sama. Selanjutnya saya segera mencari di Google tentang lokasi kantor baru saya tersebut. Bersamaan dengan itu, satu per satu notifikasi pesan pribadi masuk melalui Whatsapp yang berasal dari rekan-rekan kerja di DJPb untuk mengucapkan selamat atas promosi jabatan saya. Saya menangguhkannya seraya memusatkan perhatian pada sebuah nama kota yang muncul di layar smartphone: Tanjung Selor. "Di mana itu?" tanya saya dalam hati. Kenapa saya belum pernah mendengar ibu kota provinsi bernama Tanjung Selor?
Ternyata promosi saya ke Tanjung Selor tidak sendirian, melainkan ada beberapa nama rekan yang sudah saya kenal sebelumnya, dan kebetulan atau tidak, semuanya pernah bertugas bersama saya saat masih di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Banda Aceh. Saya bersyukur karena tidak harus melewatinya sendirian. Ditambah lagi, di kantor baru juga sudah ada beberapa rekan yang sudah saya kenal, lagi-lagi saat masih bertugas di ibu kota 'Serambi Mekkah'.
Tanjung Selor
Minggu 28 April 2024, dini hari sekitar pukul 00.20 WIB saya berpamitan dengan keluarga untuk menuju ke pul Bus Primajasa yang akan mengantarkan saya menuju ke Bandara Soekarno-Hatta pukul 1. Pesawat yang akan saya tumpangi dijadwalkan berangkat ke Balikpapan pukul 6 pagi. Saya dilantik secara virtual pada tanggal 23 April 2024 dan harus sudah hadir secara fisik di tempat bekerja yang baru pada tanggal 29 April 2024. Kepergian saya dari Kota Bandung disambut dengan gempa 6,2M yang sempat membuat panik malam itu.
Kanwil DJPb Provinsi Kalimantan Utara berlokasi di ibu kota Provinsi Kalimantan Utara, yaitu Tanjung Selor. Wajar saja seandainya nama kota ini terdengar asing karena selain provinsi yang masih relatif baru karena terbentuk di tahun 2012, unit kerja baru saya sendiri juga baru terbentuk di tahun 2016. Ditambah lagi nama Tanjung Selor sebenarnya adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Bulungan. Jadi sebenarnya secara administratif, Tanjung Selor adalah sebuah kecamatan yang dijadikan kota. Bahkan sampai dengan saat ini secara administratif belum ada pemerintah kota Tanjung Selor karena seluruh pengelolaan wilayah kota masih berada di bawah wewenang Pemerintah Kabupaten Bulungan.
Dari Jakarta untuk menuju ke Tanjung Selor, saya harus transit di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Balikpapan, Kalimantan Timur. Setelah itu barulah saya menuju ke Bandara Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara. Namun perjalanan belum selesai, karena saya harus menyeberang lagi ke Tanjung Selor menggunakan speed boat. Dari Pelabuhan Tengkayu I di Tarakan, perjalanan menggunakan speed boat memakan waktu sekitar 1,5 jam menuju ke Pelabuhan Kayan II di Tanjung Selor. Perjalanan melewati laut lalu masuk ke dalam area Sungai Kayan yang sangat luas. Perairan ini merupakan sebagian kecil dari Laut Sulawesi dan bukan benar-benar merupakan lautan lepas sehingga gelombang masih relatif jinak.
Saya sendiri sudah terbiasa melakukan perjalanan dengan speed boat saat masih bertugas di Banda Aceh. Saat itu beberapa kali kami mendapatkan giliran tugas ke kantor filial di Pulau Sabang yang juga diakses menggunakan speed boat. Bahkan perairan di Banda Aceh cenderung lebih ganas karena merupakan perairan lepas di Laut Andaman yang merupakan bagian Samudera Hindia. Saya dan keluarga pernah punya pengalaman terjebak di badai saat berlayar dari Sabang menuju Banda Aceh. Namun setiap daerah memang memiliki tantangannya sendiri. Menurut saya tantangan di Tarakan menuju Tanjung Selor dan sebaliknya adalah kondisi kapal yang sebagian memerlukan peremajaan, dan di musim hujan banyak bongkahan kayu dan batang pohon terhanyut di sungai yang bisa membahayakan perjalanan kapal.
Tulisan terkait: Layanan Filial KPPN Banda Aceh di Kota Sabang
Begitu saya menginjakkan kaki di Tanjung Selor, kesan pertama saya kota ini sangat sunyi dan tenang. Meskipun berstatus ibu kota, namun jangan membayangkan ada pusat perbelanjaan dan bioskop di sini. Justru jika dilihat dari sisi kelengkapan fasilitas, Kota Tarakan yang berada di pulau sendiri justru lebih maju dibandingkan Tanjung Selor. Wajar saja jika Kalimantan Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk paling sedikit.
Cuaca di Tanjung Selor unik menurut saya. Jika sedang panas, maka sangat menyengat dan disertai kelembaban yang tinggi. Berbeda dengan di Banda Aceh yang sangat menyengat namun jika masuk ke dalam ruangan maka kita akan merasakan kesejukan. Di Tanjung Selor, jika cuaca di luar sedang terik, maka jika masuk ke dalam ruangan, kita malah merasakan kegerahan. Maka maklum saja jika Tanjung Selor tahun lalu termasuk dalam salah satu wilayah paling panas se-Indonesia. Tak hanya itu, jika cuaca sedang dingin, maka bisa lebih dingin dari Kota Bandung, meskipun tidak disertai dengan suhu air yang sedingin es seperti di kota kembang. Yang paling saya suka adalah kondisi udaranya. Tanjung Selor memiliki reputasi sebagai salah satu kota dengan udara paling bersih di Indonesia.
Salah satu daerah dengan jumlah penduduk paling sedikit, suhu terpanas, namun juga udara terbersih. Jadi saat ini Anda punya sedikit gambaran mengenai Tanjung Selor di Kalimantan Utara. Sekarang mari kita bahas kenapa wilayah ini juga dinobatkan sebagai peringkat ke-2 dengan penduduk paling bahagia.
Slow Living
Keluarga tiba di Tanjung Selor pada tanggal 28 Juni 2024 setelah saya jemput ke Bandung. Di Tanjung Selor, kami menempati sebuah rumah dinas. Jarak rumah dinas dengan kantor sekitar 4 kilometer. Dengan menggunakan motor, saya biasa menempuh perjalanan dalam waktu sekitar 10 menit melalui perbukitan dan hutan. Sambil berkendara, saya biasa menikmati pemandangan dan sejuknya udara pagi. Tak perlu buru-buru seperti di tiga kota besar tempat saya bertugas sebelumnya—Medan, Surabaya dan Bandung. Saya bisa menikmati setiap momen di sini. Bebas macet namun tetap harus berhati-hati karena terkadang masyarakat setempat kurang aware terhadap lalu lintas di jalanan.
Seharusnya kita bisa memaklumi karena memang sebagian besar masyarakat di sini ditempa berkendara di kondisi jalanan Bulungan yang sunyi. Mungkin mereka belum pernah merasakan berkendara sambil terjebak kemacetan di kota-kota besar. Namun memang pengalaman berkendara di kemacetan itulah yang membuat indera kita jadi lebih tajam, asalkan kita selalu waspada. Jam riding saya yang tinggi berkali-kali menyelamatkan saya dari kesembronoan masyarakat di Tanjung Selor yang sepertinya masih belum dapat memahami bahwa kota ini berstatus ibu kota yang pasti akan terus berkembang dan maju. Mereka masih tinggal di pemikiran lama bahwa jalanan di Tanjung Selor begitu sunyi sehingga menyeberang atau saat memasuki jalur utama, mereka tidak berhenti atau sekadar mengurangi kecepatan dan melihat situasi. Beberapa kali saya hampir menabrak pengendara begini, baik motor maupun mobil.
Begitu juga saat berkendara, mereka juga sepertinya terbiasa berkendara pelan di tengah jalan sambil bermain smartphone sehingga menyulitkan kita mendahuluinya. Ada juga yang tiba-tiba berbelok tanpa menyalakan sein atau melihat kaca spion. Demikian juga mobil yang sedang parkir. Seringkali saya lihat mereka memarkirkan mobilnya kurang ke pinggir sehingga lebih banyak memakan badan jalan. Dan saat peralihan dari kondisi berhenti untuk jalan juga tanpa menggunakan sein sehingga mengagetkan kita yang mengira mobil itu terparkir di sisi jalan dalam kondisi kosong, tiba-tiba dia bergerak masuk ke jalan saat kita hendak lewat.
Masyarakat di Tanjung Selor perlu menyadari bahwa dengan status ibu kota, penambahan jumlah penduduk, fasilitas, dan kemajuan adalah sebuah keniscayaan, sehingga mereka perlu mengubah pola pikir dan cara pandang menjadi lebih terbuka, tak lagi konservatif. Tanjung Selor akan semakin maju dan berkembang disertai jumlah penduduk yang semakin bertambah.
Namun demikian, masyarakat di Tanjung Selor dan sekitarnya mayoritas baik dan ramah. Mereka tak segan menolong apabila melihat warga yang lain mengalami kesulitan. Terlepas dari berbagai kecerobohan yang saya tuliskan sebelumnya, masyarakat juga cukup tertib dalam berkendara, mereka mematuhi rambu dan marka jalan. Hampir tak terdengar bunyi klakson di jalanan. Bahkan jika ada beberapa pengendara yang cenderung sembrono, biasanya berasal dari luar daerah, pelat nomor KT—Kalimantan Timur, misalnya.
Tentang keamanan, tak perlu khawatir. Hampir tak ada tindak kriminal di Tanjung Selor, ada pun skalanya sangat kecil dan tidak membahayakan. Salah satu contohnya misalnya masyarakat sudah terbiasa memarkirkan motornya tanpa dikunci setang, dan para pedagang meninggalkan barang dagangannya di luar kedai atau toko saat tutup di malam hari. Saya pernah mendengar dari seorang teman bahwa di beberapa desa tertentu berlaku hukum adat, apabila warga tertangkap mencuri, maka ia harus diasingkan dan dilarang menginjakkan kakinya lagi di Tanjung Selor.
Dari sisi pekerjaan, sekarang saya bisa beristirahat di rumah saat siang hari. Tengah hari saya akan menjemput putri saya dari sekolah kemudian beristirahat di rumah. Terakhir kali saya bisa beristirahat siang di rumah adalah saat saya masih bertugas di Banda Aceh tahun 2013–2017 lalu. Posisi saya saat ini juga tidak terlalu menuntut keterlibatan saya untuk mendalami di bagian teknis. Awalnya canggung juga mengingat selama ini saya selalu melakukan pekerjaan saya dengan mendetail dan tingkat akurasi yang tinggi, namun kini saya biasanya hanya menerima konsep laporan saja. Benar, saya harus belajar mempercayai anggota tim dan staf saya. Bagaimanapun, ini adalah proses pembelajaran bagi kami.
Di posisi saat ini, saya memang harus bergelut di bidang akuntansi yang sebenarnya bukan merupakan kekuatan saya. Namun saya menganggap ini sebagai tantangan. Dan saya yakin dengan mental pemelajar yang saya miliki disertai dengan dukungan dari rekan-rekan kerja dan keluarga, saya bisa memahami sedikit demi sedikit tugas-tugas saya. Saya selalu percaya pada proses, dan dengan pengalaman bekerja di Kementerian Keuangan selama lebih dari 20 tahun, pastinya ini bukan hal baru bagi saya.
Di mana pun saya ditugaskan, seperti biasa, saya akan mencoba menantang status quo dan memperbaiki proses bisnis yang ada. Saya tak terlalu suka meneruskan tradisi orang-orang yang saya gantikan. Jadi saya mengidentifikasi area-area yang menurut saya masih bisa dikembangkan dan bila perlu mengubah proses bisnis yang sebelumnya berjalan; juga memperbaiki gaya penulisan dan template dalam surat dan laporan. Mengubah orientasi prioritas dari mengejar target kinerja menjadi lebih berorientasi pada manusia atau lebih humanis juga selalu menjadi prinsip saya. Hasilnya, selama saya menduduki jabatan saat ini, tak sekalipun saya menerbitkan sanksi untuk satuan kerja binaan, dan bahkan saat ini saya sedang mengembangkan sebuah inovasi bernama BENGKEL AKUNTANSI KALTARA yang nantinya diharapkan dapat memudahkan pekerjaan. Bonusnya, saya beruntung memiliki staf yang juga memiliki mental pemelajar dan kami juga sama-sama berjuang karena berasal dari latar belakang pendidikan di luar akuntansi. Sewaktu menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), kami mengambil spesialisasi Kebendaharaan Negara.
Frugal Living
Dari sisi finansial, ketiadaan mal dan bioskop di Tanjung Selor memberikan berkah tersendiri bagi kami dari sisi keuangan. Pengalaman selama tinggal di kota-kota sebelumnya, salah satu pengeluaran terbesar kami adalah pengeluaran untuk belanja dan hiburan yang mayoritas kami dapatkan dari mal dan staycation di hotel-hotel mewah. Benar, untuk sekadar menghabiskan waktu selama akhir pekan, saya dan keluarga biasanya menghabiskan waktu di mal, entah untuk berbelanja, nonton, mengajak anak bermain di wahana permainan modern, atau sekadar nongkrong di resto dan kedai kopi favorit kami. Kini, seakan pikiran kami dibebaskan dari beban dan perilaku konsumtif semacam itu. Hotel termewah di Tanjung Selor hanya bintang 3, dan kami sudah pernah merayakan ulang tahun Adik di sana. Walaupun kini poin membership saya di beberapa bank, maskapai penerbangan, beberapa jaringan hotel mewah, toko buku, kedai kopi dan resto hampir seluruhnya kadaluarsa, saya tetap bersyukur dapat menjalani slow-living dan frugal seperti saat ini.
Jujur terkadang memang ada saat merasa jenuh karena kurangnya fasilitas hiburan di Tanjung Selor. Untuk menyiasati hal ini, biasanya saya menghabiskan waktu membaca buku atau menonton Youtube. Namun bagi anak-anak memang tidak sesederhana itu. Untuk menghibur anak-anak, kami memasang piranti wifi untuk mengakses hiburan streaming televisi dan internet serta aplikasi layanan streaming untuk film dan musik. Tak cukup dengan itu, kami biasanya bermain bersama sekeluarga, seperti kartu remi, bulu tangkis, joging, sepak bola, sepatu roda, dan banyak aktivitas lainnya. Jujur saja, terkadang hidup di kota besar, hal-hal bermakna seperti ini frekuensinya kurang sekali. Seperti saat di Bandung, energi dan waktu saya habis terkuras di kemacetan jalanan Kota Bandung. Dari sekian banyak pengalaman saya tinggal dan bekerja di beberapa kota terbesar di Indonesia, saya rasa Bandung adalah pengisap energi paling parah.
Sisi positif dari terbatasnya akses hiburan konsumtif di Tanjung Selor antara lain dapat dilihat dari porsi investasi saya yang kini jauh lebih banyak, dan itu bukan hanya dikarenakan kenaikan penghasilan saya, namun juga terbatasnya akses ke fasilitas hiburan sehingga kami dapat lebih menghemat pengeluaran dan menaruhnya ke dalam keranjang investasi.
Tentang Keluarga dan Gomak Food
Sejak kepindahan kami ke Tanjung Selor, terjadi beberapa perubahan pola hidup pada keluarga. Selain beberapa yang telah saya tuliskan sebelumnya, anak sulung saya, saat tulisan ini diterbitkan, baru saja naik ke kelas 5 sekolah dasar dengan peringkat IV terbaik di kelasnya. Dari sisi lain, ia juga pernah beberapa kali mewakili sekolah dalam kegiatan akademi, seperti lomba cerdas cermat pendidikan agama islam, dan Pramuka. Salah satu yang paling membuat saya bangga adalah saat baru awal pindah ke sekolah barunya, ia mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris. Ia menjadi peserta pertama yang menyampaikan pidatonya tanpa teks, dan berhasil meraih juara II. Saat ini, ia juga mengikuti kursus modern dance, dan bersama ibunya berlatih tenis, dan terus memperdalam bakatnya di bidang seni dan kreatifitas, apapun bentuknya. Ia sempat merasakan kecewa karena tidak ada lagi ekstrakurikuler menari tradisional Sunda seperti sekolahnya di Bandung, namun seiring berjalannya waktu ia bisa menerima realitas dan perbedaan budaya dan fasilitas.
Sedangkan si bungsu, ia baru saja lulus TK. Ia diterima di salah satu sekolah dasar favorit di Tanjung Selor. Ia menjadi salah satu siswa TK paling dikenal, paling aktif, dan paling cerdas. Ia sudah lancar membaca, beberapa kali mengharumkan nama sekolahnya melalui berbagai kegiatan, misalnya juara II lomba salat sunah berjamaah, dan beberapa kali tampil bersama tim marching band sekolahnya. Hal yang menarik adalah. ia menemukan kembali semangatnya bersekolah seperti saat kami tinggal di Surabaya dahulu. Ia sempat bersemangat menjalani kegiatan di sekolah saat kami masih tinggal di Surabaya. Namun setelah kepindahan ke Bandung, ia seperti kehilangan semangatnya. Saya mengira itu disebabkan oleh dinginnya air di Bandung yang setiap hari harus ia rasakan saat mandi pagi, dan kondisi lalu lintas yang macet saat menuju ke sekolah dan pulang dari sekolah. Di Tanjung Selor, ia merasakan semangat yang luar biasa, dan malah merasakan kelesuan saat tiba libur sekolah. Saya yakin ini bukan anomali, melainkan ia telah menemukan sesuatu yang bermakna di usianya saat ini. Memang seharusnya ia sudah bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah dasar tahun lalu, namun pengalaman kurang berkesan yang dirasakannya membuat kami mengambil keputusan untuk menyekolahkannya kembali di taman kanak-kanak. Keputusan itu kami ambil setelah berdiskusi dan menanyakan langsung kepada si bungsu. Saya dan istri setuju, itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah kami ambil bukan saja demi pendidikan anak, namun juga bagi kesehatan mental dan perkembangan psikis anak kami.
Istri saya, ia makin rajin berolah raga karena memang suasana di Tanjung Selor yang sangat mendukung untuk menjalani slow living: udara yang bersih, sunyi, dan kebiasaan sehat warga. Selain joging, ia juga kini mencoba berlatih tenis. Dalam beberapa kesempatan, kami berolah raga bersama. Ia juga aktif mengikuti kegiatan Darma Wanita Persatuan (DWP) di kantor saya. Di lingkungan sekolah, ia menjalani peran sebagai bendahara komite dan sekretaris paguyuban di sekolah si kakak. Hal yang pastinya bukan asing lagi baginya karena saat masih di Bandung pun, ia juga ditunjuk sebagai bendahara kelas, bendahara DWP, dan bahkan membantu peran saya sebagai bendahara RT.
Bisnis kulinernya pun saya rasa tak pernah lebih maju dan berkembang dibandingkan sebelumnya. Frekuensi pesanan di Gomak Food jauh meningkat. Dan kini Gomak Food juga menjadi salah satu UMKM binaan KPPN Tanjung Selor dan resmi menjadi salah satu UMKM yang terdaftar di Digipay (marketplace-nya Pemerintah).
Saya sendiri, selain menjalankan peran penuh saya di kantor, saya juga bergabung dalam salah satu komunitas sepak bola di Tanjung Selor. Hampir setiap pekan, saya akan bermain sepak bola dan/atau mini soccer di Tanjung Selor bersama dengan rekan-rekan saya di luar kantor. Istri tidak pernah memaksa saya ikut berlatih tenis seperti rekan-rekan kerja saya lainnya karena ia memahami saya hanya tertarik dengan olah raga yang kental dengan body-contact dan memacu adrenalin. Sepak bola, bela diri, balap motor, dan HIIT—High Intensity interval Training—adalah beberapa olah raga yang memenuhi kriteria tersebut.
Bagaimanapun penilaian orang lain tentang Tanjung Selor, saya rasa justru di kota ini saya dan keluarga bisa menjalani kehidupan yang penuh makna. Kami banyak merenungkan tentang berbagai makna kehidupan. Anak-anak dapat belajar melihat dan menjalani kehidupan dari sisi yang berbeda yang dapat membuat mereka menjadi lebih empati, lebih bersyukur, dan lebih percaya diri—tiga hal yang saat ini saya rasa sangat kurang dirasakan oleh anak-anak dan remaja zaman sekarang.
Komentar
Posting Komentar
Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.